Antara ICAPP, Panama Papers dan Tax Amnesty
- ANTARA/Puspa Perwitasari
VIVA.co.id – Konferensi partai-partai politik yang berada di kawasan Asia, Afrika dan dan Amerika Latin yang bergabung dalam ICAPP, COPPAL dan CAPP baru saja selesai diadakan di Jakarta. Konferensi tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan bersama yang tertuang dalam Deklarasi Jakarta.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan, salah satu rekomendasi yang sangat penting adalah posisi para partai peserta konferensi terhadap "trans-national crime".
"Globalisasi dan pasar bebas selain melahirkan dampak positif, juga melahirkan problematika global seperti isu terorisme, narkotika, bahkan perdagangan manusia. Bagi saya, hal krusial lainnya yang penting untuk mendapatkan perhatian dari seluruh negara, termasuk partai-partai politik adalah terkait kejahahatan di sektor keuangan. Prakteknya dapaat berupa kejahatan berkedok transaksi perbankan, bisnis offshore, penghindaran dan penggelapan pajak, pencucian uang hasil kejahatan," ujarnya, Senin 25 April 2016.
Ia menambahkan, situasi ini pada titik tertentu memberikan kontribusi signifikan pada pemiskinan di setiap negara, bahkan mengancam kedaulatan politik dan ekonomi.
"Sebuah isu finansial global yang menghentak dunia, yang baru saja terungkap adalah kasus “Panama Papers”. Kita dikejutkan dengan daftar sekian banyak orang (termasuk pejabat- pejabat) dari berbagai negara yang terindikasi “menyembunyikan uangnya”. Saya melihat suatu indikasi kejahatan perbankan yang secara sistematis dan terorganisir menjadi legalitas atas tindakan penggelapan dan penghindaran pajak, serta pencucian uang hasil kejahatan. Artinya, kerahasiaan perbankan menjadi sebuah isapan jempol belaka, saat setiap orang bisa melakukan transfer uang ke negara mana pun, hanya dengan menekan kata “enter” melalui jaringan dunia maya," ujar Anggota Komisi VI ini.
Ia meyakini, kita mampu berpikir dengan jernih dan dengan kedalaman dari apa yang diungkap dalam Panama Papers. Rasanya bahkan masih cukup waktu bagi partai-partai politik yang ada di Indonesia untuk mendorong lahirnya berbagai undang-undang dan produk hukum, baik yang berlaku di dalam sebuah negara, maupun menjadi sebuah kesepakatan bilateral, maupun multilateral untuk mengakhiri “kerahasian negatif perbankan”.
"Saya yakin, kita dapat saling bahu membahu dengan partai-partai di negara lain untuk bersama memerangi penggelapan dan penghindaran pajak. Konferensi yang baru saja usai, bagi saya seperti sebuah penyadaran politik. Ini merupakan momen otokritik bagi kita, untuk tidak menjadi bagian dari berlindungnya para pelaku kejahatan keuangan di bawah istilah “tax haven”, menjadi pihak yang justru mengampuni para pelaku kejahatan keuangan dengan berkelindan, berdalih mengatasnamakan menyelamatkan kas negara, mendorong lahirnya UU Pengampunan Pajak," katanya.
Ia menuturkan, meski memang bukan politisi yang ahli dalam isu keuangan, perpajakan, dan "bagi hasil tambah kurang" dari suatu produk undang-undang yang digolkan oleh DPR dan pemerintah, namun dari hasil analisa, kajian yang ia dan tim ekonomi (yang mensupport saya selama ini di DPR) lakukan, di hampir semua negara (termasuk Indonesia) peredaran uang tak lebih dari 10 persen. Sisanya hanya angka virtual di dunia perbankan.
"Saya hanya mengerti bahwa di tengah para pelaku kejahatan keuangan dan para pemburu rente di berbagai negara, ada juga yang masih berjuang untuk memerangi praktek-praktek haram tersebut. Sebut saja KTT Perpajakan di Berlin 2014 yang menghasilkan komitmen bersama dari sekitar 50 negara untuk memerangi penghindaran dan penggelapan pajak," ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, kita harus memiliki keyakinan teguh dalam memperjuangkan hal-hal tersebut. Saya percaya, jika mulai hari ini kita dapat bekerjasama secara serius, (semoga 2017) terwujud target masing-masing negara akan mendapatkan “full tax rate”, seperti tertuang dalam FATCA, maupun CRS, (tanpa perlu mengampuni siapa pun pelaku kejahatan keuangan).
"Saya sangat berharap konferensi ICAPP ke-26 ditindaklanjuti dengan kerjasama antar partai dan antar parlemen di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin bergerak untuk berjuang bersama menyelamatkan uang rakyat, mengembalikannya kepada kas negara, dan selanjutnya dipergunakan sebagai modal pembangunan yang berwatak kemandirian dan kedaulatan," ujar eks Anggota Komisi IX ini.
Ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk mendukung pemerintah Jokowi-JK agar pro aktif melakukan hubungan antar negara, antar pemerintah (G to G) yang memperkuat pertukaran informasi mengenai transaksi dan rekening keuangan yang mencurigakan, termasuk di negara-negara. Mari kita dorong lahirnya undang-undang, dan aturan hukum yang memiliki standard internasional untuk mendorong setiap institusi keuangan memberikan laporan secara transparan, serta berkontribusi pada pendistribusian keadilan. Bukan sebaliknya, menjadi pelindung para pelaku kejahatan keuangan dan pemburu rente.
"Akhirnya, perkenankan saya mengajukan pertanyaan kepada pemerintah, maupun siapa saja yang saat ini sedang getol mengkampanyekan segera disahkannya UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty): Betulkah UU Pengampunan Pajak untuk menyelamatkan uang negara? Betulkah penyebab tidak stabilnya keuangan negara karena kita tidak memiliki UU Pengampunan Pajak? Betulkah UU ini suatu langkah patriotik untuk menyelamatkan negara? Mari kita tanyakan pada diri kita sendiri," ujarnya.
Rike juga menanyakan kembali betulkah tidak ada "jatah" bagi siapapun yang menjadi bagian dari disahankannya UU Pengampunan Pajak (baik itu pemerintah, DPR, Parpol, maupun NGO) “Semoga kita tidak menjadi bagian dari mereka yang menggadaikan dan atau menjual Republik. Semoga kita menjadi bagian yang berkhidmat melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa. Semoga kita bukan orang-orang yang melukai sejarah," katanya. (webtorial)