Indonesia Dianggap Tak Cocok untuk Robot Humanoid
- VIVA.co.id/Mitra Angelia
VIVA.co.id – Robot humanoid atau robot menyerupai manusia kini menjadi tren di berbagai negara. Sebab, robot humanoid diproyeksikan akan menggantikan posisi manusia dalam pekerjaan bidang apa pun.
Jika di luar negeri robot humanoid sudah menjadi tren, bagaimana dengan Indonesia?
Ketua Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Sangkot Marzuki mengatakan, sebenarnya Indonesia, jika soal sumber daya tak kalah dengan luar negeri.
“Kalau potensi jelas, kita sebenarnya manusia Indonesia tidak kalah (bisa membuat robot humanoid),” kata Sangkot kepada VIVA.co.id saat ditemui di Erasmus Huis, Jakarta, Kamis, 21 April 2016.
Namun, yang menjadi kendala mengapa Indonesia tidak mengembangkan robot humanoid, kata Sangkot dikarenakan lingkungan Indonesia yang tidak mendukung. Misalnya, problem banyaknya jumlah penduduk di Tanah Air.
“Kalau butuh (robot humanoid) ke depan ya jelas. Itu sudah jelas ke depan demikian. Indonesia juga akan bergerak, kalau sekarang ya jawabnya, mungkin jawaban dari banyak orang, janganlah, banyak orang kehilangan kerja,“ ujarnya menambahkan.
Ia berpandangan, munculnya teknologi baru yang mengancam kondisi yang sudah mapan. Sangkot mencontohkan seperti munculnya transportasi online yang kini mulai hangat. Meski banyak yang menentang, tapi teknologi tentunya terus berkembang. “Kalau saya bisa nyampling, misal Uber, Gojek, itu suatu tidak bisa dicegah,” ucap dia.
Sangkot menambahkan, tidak bisa memastikan kapan Indonesia bisa siap untuk mengembangkan robot humanoid. Namun demikian, ia tak menampik, Indonesia dalam hal ilmu pengetahuan juga terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar negeri. “Kalau melihat ke sana, Indonesia harus siap.”
Dana abadi riset
Dalam kesempatan tersebut, Sangkot mengungkapkan dana yang dikucurkan pemerintah untuk satu proyek penelitian mencapai Rp1,5 miliar. Dana tersebut, diperoleh dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di bawah Kementerian Keuangan.
Dana untuk proyek penelitian tersebut disalurkan oleh Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), yang berada di bawah naungan AIPI. “Belum (dialirkan), kan baru di-launching (programnya), sebulan yang lalu,” ujar Sangkot kepada VIVA.co.id.
Lalu, dana Rp 1,5 miliar per proyek itu, dikatakan memiliki syarat khusus, yakni berstandar internasional dan maksimal pengerjaan penelitiannya selama tiga tahun. “Tahun ini, tidak lebih dari 20 (proyek penelitian),” katanya.
Mengenai fokus jenis penelitian yang diberikan, saat ini dua fokus penelitian adalah terkait kesehatan dan sosial. Sangkot menambahkan, ke depan DIPI akan membangun dana dari non-pemerintahan, sehingga bisa membangun dana abadi yang tidak tergantung pada dana pemerintah.
(mus)