10 Tahun Lagi, Jakarta Lebih Maju
- Sarie/Viva.co.id
VIVA.co.id – Membangun sebuah kota pintar memang tidak mudah. Namun, Jakarta mempercayakan hal itu ke tangan dingin Setiaji. Pegawai negeri sipil (PNS) yang pernah 16 tahun mengabdi di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) itu, kini menjabat sebagai Head of Jakarta Smart City (JSC) Management Unit dan berkantor di salah satu lantai di komplek Balaikota.
Dari 70 pekerja di JSC, hanya enam orang yang berprofesi sebagai PNS. Pria berperawakan mirip Joko Widodo ini dianggap mampu membangun Smart City di Jakarta, karena selain memiliki background pendidikan IT, dia salah satu yang sempat menyusun konsep Smart City di Indonesia.
Dengan berlatar monitor besar dan panjang, yang menampilkan jumlah pengaduan masyarakat terhadap instansi di Jakarta, geo mapping, kondisi waduk/pintu air, serta tangkapan CCTV di beberapa titik lokasi, Setiaji bercerita kepada VIVA.co.id mengenai apa itu Jakarta Smart City Lounge. Berikut, wawancara kami dengan pria yang akrab dipanggil Aji itu.
Apa tujuan dibentuknya Jakarta Smart City (JSC)?
Seperti daerah lain, Jakarta juga punya Smart City, disesuaikan dengan karakter Jakarta. Mulai dengan transparansi (membuka data di instansi untuk publik), memanfaatkan aplikasi berbasis masyarakat untuk mempercepat respons time dari aparat kita. Tujuannya, mempercepat pelayanan, lebih mengefisienkan dan mengefektifkan kerja pemerintah daerah.
Apa yang krusial di Jakarta sampai harus ada JSC?
Jakarta itu kan pusat. Muncul berbagai problem urbanisasi. Macet, banjir, penanganan sampah, dan lain sebagainya. Butuh solusi untuk membenahi itu dengan mengandalkan teknologi. Dengan harapan, masalah tadi bisa diatasi dengan cepat. Teknologi kami gunakan untuk bisa mengatasinya dengan lebih smart.
Target pembenahannya apa saja?
Transparansi sudah pasti. Pemerintahan ini lebih terbuka, termasuk budget. Mampu merespons segala permasalahan dengan cepat lewat aplikasi Qlue. Sebelum ada Qlue, penyelesaian masalah di Jakarta bisa sampai berhari-hari, berminggu-minggu. Sekarang dengan adanya aplikasi itu penyelesaiannya langsung, bahkan hanya setengah jam.
Ada berapa aplikasi pendukung JSC?
Kita tidak punya banyak, karena ber-partner dengan para startup. Total ada enam aplikasi yang kerja sama dengan kami. Selain Qlue ada juga IJakarta, yakni aplikasi perpustakaan digital. Ada 20 ribu buku digital di situ. Kita kerja sama juga dengan Zomato untuk info kuliner di Jakarta, khususnya pedagang kaki lima. Ada juga aplikasi Ragunan zoo, info lokasi hewan di Ragunan. Kerja sama juga dengan Gojek dan GoFood.
Sejak Desember 2014 sampai sekarang, kendala apa saja yang dihadapi?
Kami memang telah bekerja sama dengan banyak instansi dalam hal transparansi. Salah satunya mempublikasikan harga tanah, bekerja sama dengan Pertanahan Nasional. Kendalanya, pertama adalah keengganan (instansi lain) untuk membuka data dan harus publish data.
Beda gubernur beda kebijakan, apa JSC bisa bertahan jika gubernurnya berganti?
Saya pikir tidak. Masyarakat sudah akan terbiasa dengan JSC, apalagi kita kan terbuka. JSC open for public setiap Sabtu-Minggu, sehingga ini sudah menjadi standar yang seharusnya bisa dijalankan gubernur berikutnya. Bisa jadi, malah akan lebih baik lagi sesuai tuntutan masyarakat. Saya rasa ini akan tetap sustain.
Pak Ahok (Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama) sering berkunjung ke sini?
Sering. Jika ada tamu, tamu asing juga. Kemarin, baru ada dari Singapura, yang mau tahu tentang Jakarta Smart City.
Investasinya sudah berapa, sejak didirikan sampai sekarang?
Di awal investasinya sekitar Rp3 miliar, untuk integrasi data dan mem-publish sistem. Sekarang, untuk men-setup JSC sekitar Rp20 miliar, tidak hanya interior tapi juga sistem dan sebagainya. Total baru Rp23 miliar pengeluarannya sampai dua tahun ini. Sangat kecil dibanding total APBD Jakarta yang Rp70 triliun.
Termasuk perangkat CCTV?
CCTV bukan milik kita, tetapi kita mendapatkan akses dari pemiliknya. Ada Bali Tower dan beberapa penyedia lainnya. Total kita punya 900 unit CCTV. Target sampai akhir tahun harus ada 4.000-6.000 unit. Kendalanya, terkait dengan ketersediaan jaringan/fiber. Ke depan, ada event Asian Games, kami harus mendapatkan akses untuk CCTV di jalan-jalan utama dan lokasi event untuk pengawasan. Selain jalan utama, juga harus ada CCTV di tempat, atau fasilitas yang harus dijaga seperti Kedubes, Pom Bensin, dan lain-lain.
Mengawasi masyarakat, apa tidak melanggar privasi?
Yang pastim ada spot yang tidak kita pasang CCTV. Data yang kami miliki, juga kami jaga dan ada beberapa yang tidak di-publish, seperti fitur tracking petugas.
CCTV bisa menjadi Eagle Eye pemerintah untuk warganya?
Bisa saja. CCTV-nya tidak yang statis, harus bisa zoom, bisa search orang dengan gambaran wajah (facial recognition). Nantinya, CCTV akan terintegrasi dengan sistem analitik canggih. Sedang dibangun di beberapa lokasi. Tahun depan, akan bisa mendeteksi facial recognition, terkoneksi dengan database kependudukan.
Tidak bikin takut masyarakat?
Tergantung cara memandang. Jika tujuannya positif, kenapa tidak. Lagipula, kita tidak men-trace sembarang orang. Hanya untuk terorisme. Ini untuk keamanan dan kenyamanan warga. Penggunaan datanya juga akan dibatasi, hanya untuk kepentingan hukum. Tetapi, secara tidak sadar sistemnya seperti itu semua. Kita pakai handphone juga kan di-tracking sama Google.
Di masa depan, seperti apa hasil dari JSC ini?
Smart City bukan hanya bicara teknologi, tetapi juga infrastruktur. Transportasi, sedang dibangun MRT. 2018, koridor pertama sudah tersedia. Banjir, membersihkan kanal-kanal, memindahkan penduduk sesuai permukimannya. Kita ada enam indikator dalam Smart City. Smart Government, agar pemerintah lebih transparan dan partisipatif responsive. Ada juga Smart Living, menciptakan suasana tempat tinggal yang aman dan nyaman. Smart People, edukasi masyarakat, agar lebih pintar. Lainnya, ada Smart Environment, Smart Mobility, dan Smart Economy.
Beda JSC dengan smart city wilayah lain?
Tergantungm mau dari mana suatu wilayah itu memulai. Seperti Jakarta, dimulai dari transparansi dulu, lalu konten dipenuhi, lalu membangun command center ini. Di negara lain, ada yang memulai dari lingkungan, ada juga transportasi dahulu. Disesuaikan dengan karakteristik wilayahnya.
Bagaimana dengan infrastruktur?
Untuk infrastruktur, ada peran swasta di dalamnya. Seperti untuk broadband, 4G. Harapannya, jika swasta berperan aktif juga bisa mempercepat program ini. Konten kan, semakin lama makin besar dan butuh bandwidth yang besar pula.
Permasalahan Jakarta yang paling rumit?
Banjir, macet, itu masih krusial dan rumit. Masih menjadi problem. Kita benahi dengan membangun transportasi publik seperti TransJakarta, mengajak angkutan umum lain untuk menggunakan basis tarif rupiah per kilometer, tidak ngetem sembarangan. Ada juga ERP.
Dari semua permasalahan Jakarta, yang prioritas untuk dibenahi?
Utamanya soal transparansi. Pemerintah jujur, masyarakat percaya dan mau berpartisipasi untuk melaporkan segala penyimpangan, atau masalah.
Dukungan terhadap transportasi digital?
Itu sangat membantu juga. Kita ke depan, ada aplikasi bernama Trafi, berisi informasi tentang jadwal transportasi, jalur. Itu aplikasi luar untuk melengkapi saja. Untuk lokal kami sudah kerja sama dengan Appaja.
Seluruh wilayah Indonesia sudah Smart City, kapan jadi Smart Nation?
Sekarang Singapura sudah menjadi Smart Nation, karena wilayahnya kecil dan penduduknya tidak banyak. Di Indonesia, terdiri dari banyak pulau, masalah utamanya adalah akses internet, bagaimana bisa menjangkau kawasan pulau terkecil. Itu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Rencana ke depan?
Soft launch Jakarta One Payment Card. Dengan kartu ini bisa bayar Transjakarta, komuter, akses ke Monas dan fasilitas publik lainnya. Terkoneksi juga dengan database kependudukan.
10 tahun ke depan, Jakarta akan seperti apa?
Jakarta akan lebih maju, lebih nyaman untuk ditinggali dan akan ditempati oleh mereka yang high-skilled. (asp)