LIPI: Pembangunan Daerah Idealnya Berbasis Riset Ilmiah

Ketua LIPI, Iskandar Zulkarnain (tengah) dalam Rapat Kerja (Raker) LIPI 2016 di Auditorium LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (2/03/2016)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto

VIVA.co.id - Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain, menyebutkan pembangunan daerah berbasis penelitian ilmiah akan turut mengembangkan wilayah tersebut. Hal itu akan membantu kearifan lokal untuk semakin kuat pondasinya.

Iskandar mengatakan, proses pembangunan daerah bersama masyarakat tentu membutuhkan sumber daya di wilayah tersebut, misalnya keanekaragaman hayati yang berpotensi untuk dikembangkan lagi. Setidaknya ada tiga bidang yang bisa dikembangkan, yakni hayati, biologi, dan juga budaya.

"Ini menjadi kekayaan bangsa kita. Bicara pembangunan di satu wilayah, kita bisa melihat pada keragaman yang dimilikinya untuk memahami budaya tersebut ke arah pembangunan. Kalau tidak, maka akan salah," ucapnya di Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jumat 8 April 2016.

Iskandar mengatakan penelitian untuk mengindentifikasikan masyarakat tidak cukup dilakukan satu kali itu saja. Untuk mendalami sampai bisa disimpulkan, kata dia, perlu dilakukan beberapa kali penelitian.

Demi Potensi Pulau Perbatasan, LIPI Kerahkan 23 Peneliti

"Tetapi, data dasar penelitian tersebut akan menjadi informasi penting bagi pemerintah dan masyarakat dalam mendesain pembangunan," tuturnya.

Diketahui, saat ini, LIPI akan melakukan penelitian ilmiah ke Pulau Sumba dan Sulawesi Barat dengan nama Ekspedisi Widya Nusantara (E-WIN). Ekspedisi tersebut akan menggali segala potensi keanekaragaman hayati yang belum diketahui, baik yang masih hidup maupun spesimen.

Diketahui, dalam Ekspedisi E-WIN ini melibatkan tiga bidang kedeputian LIPI, yakni Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Deputi Bidang Ilmu Kebumian, dan Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH) LIPI, Enny Suarwonowati, mengatakan Sumba memiliki beberapa flora dan fauna endemik, seperti tumbuhan dari spesies Dehaasia sumbaensis (Lauraceae), Amycema polytrias (Rhyticeors everetti), dan Celepuk Sumba (Ninox rudolfi).

"Mikrobiologi di Pulau Sumba belum banyak diketahui jenis-jenisnya, padahal komunitas ini memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi. Untuk itu perlu diidentifikasi lebih lanjut agar bisa dimanfaatkan," ungkapnya.

Deputi Bidang Ilmu Kebumian (IPK) LIPI, Zainal Arifin menjelaskan, kawasan timur Indonesia diyakini unik, karena adanya interaksi antara Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dengan figur geografi dan geologi yang kompleks.

"Fitur oseanografi yang sangat berpengaruh di kawasan ini adalah arus laut yang disebut South Java Current (SJC). Pergerakan arus ini diyakini memicu terjadinya upwelling yang sangat penting bagi sumber daya perikanan," tutur Zainal.

Sementara itu, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, kegiatan ekspedisi LIPI kali ini juga dapat dilihat dari aspek sosial dan lingkungan masyarakat ada setempat.

"Dari segi sosial dan budaya, masyarakat Sumba memiliki keunikan sendiri. Ada, tradisi, dan pengetahuan lokal yang mereka miliki masih belum diungkap secara utuh," kata dia. (ren)