Komisi XI Usulkan Revisi UU Perbankan
VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan mengatakan bahwa kehadiran investor asing pada perbankan nasional memiliki dampak positif dan negatif karena implikasi kehadirannya dipengaruhi oleh banyak faktor dan kondisi.
Demikian disampaikan Heri saat menanggapi adanya mayoritas kepemilikan saham asing di sektor perbankan di Indonesia.
Paling tidak, lanjut dia, ada beberapa dampak negatif yang ada dan berpotensi timbul dari besarnya kepemilikan asing di sektor perbankan.
"Pertama, pasokan kredit perbankan kurang dapat berkembang ke sektor-sektor produktif, karena sebagian besar kredit bank-bank yang dimiliki asing lebih menfokuskan pada sektor jasa dan konsumsi yang memiliki return tinggi. Sementara kredit sektor produktif seperti pertanian, manufaktur dan infrastruktur dan sebagainya kurang diminati," ujar eks Wakil Ketua Komisi VI DPR RI ini di Kompleks Parlemen Jakarta, Rabu 6 April 2016.
Selain itu, menurutnya, kehadiran investor asing di sektor perbankan belum mampu menciptakan efisiensi industri, sebaliknya yang terjadi hanya kompetisi antar bank pada segmen-segmen tertentu sehingga secara umum tidak ada peningkatan efisiensi sebelum dan sesudah investor asing masuk.
Lebih lanjut Heri menjelaskan bahwa dalam konteks lalu lintas keuangan global, besarnya kepemilikan asing di sektor perbankan berpotensi meningkatkan resiko di sisi fiskal dan moneter jika terjadi krisis dalam bentuk pembalikan modal, investasi aset berisiko, eksposur di negara-negara dengan resiko tinggi seperti Eropa, Amerika dan lain-lain.
Untuk itu, Heri menyarankan berbagai upaya antisipasi dapat dilakukan terkait masalah yang mungkin timbul akibat persoalan kepemilikan.
Namun, kata dia, sebagai strategi antisipasi maka strategi tersebut hendaknya bersifat ke depan (forward looking) dan jangka panjang.
"Di samping itu, strategi tersebut harus komprehensif dan terfokus pada permasalahan yang ada. Pembatasan kepemilikan secara rigid bukanlah solusi final terkait berbagai potensi masalah diatas," kata dia.
Paling tidak, lanjut dia, ada beberapa bentuk pengaturan yang bersifat teknis dan mengarahkan akan lebih tepat diterapkan.
"Pertama, pengaturan alokasi kredit untuk sektor-sektor produktif dan UMKM. Kedua, pengaturan sistem pembukaan cabang dan wilayah operasional antar bank. Ketiga, pengaturan instrumen investasi bagi perbankan," ujar dia.
Selain pengaturan, sambung dia, hal yang terpenting lainnya adalah penguatan fungsi pengawasan sehingga siapa pun investor yang masuk akan tetap mengikuti koridor yang ada.
Adapun, ujarnya, terkait dengan pembatasan saham, dalam Schedule of Commitment (SOC) Indonesia di GATS/WTO disebutkan bahwa jumlah kepemilikan asing di sektor perbankan masih dibatasi maksimum sebesar 49 persen dari saham bank yang go public, sementara dalam konteks ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) ada kesepakatan bahwa kepemilikan asing dibatasi maksimum 51 persen.
"Artinya secara internasional agreement, konsep pembatasan sebenarnya masih ada dan diperbolehkan meskipun dalam jangka panjang GATS dan AFAS batas kepemilikan harus dibuka sepenuhnya," kata dia.
Untuk itu, kata dia, baiknya segera lakukan pembatasan atau barrier terhadap kepemilikan asing, di perbankan Indonesia, terutama untuk memastikan independensi manajerial dan akuntabilitas publik.
Menurutnya, salah satu alasan penting melakukan pembatasan kepemilikan adalah untuk menghindari penyalahgunaan atau pelanggaran oleh pemegang saham utama.
"Indonesia sudah meliberalisasi kepemilikan perbankan, sistem kepemilikan asing maksimum 99 persen (pemegang saham pengendali) tidak bisa serta merta dilaksanakan tanpa adanya dukungan pasar modal yang kuat. Saat ini pasar modal Indonesia sedang tumbuh pesat namum jika dilihat dari jumlah perusahaan yang go pubic maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih menganut bank based economy, sehingga perbankan harus dikelola untuk dan oleh Indonesia," ujarnya. (Web)