'Restorasi Gambut di Kawasan Budidaya Perlu Dikaji'
Sabtu, 2 April 2016 - 20:30 WIB
Sumber :
- ANTARA/Regina Safri
VIVA.co.id - Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang mengandung unsur kehati-hatian.
Baca Juga :
Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?
Karena itu, kegiatan restorasi gambut di kawasan budidaya, seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) dinilai juga harus menerapkan unsur kehati-hatian, agar tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.
Pakar Hukum Lingkungan Universitas Padjajaran (Unpad), Daud Silalahi, mengingatkan Badan Restorasi Gambut (BRG) harus mempertimbangkan kebijakan tata ruang, terutama menyangkut peruntukan kawasan, serta pemanfaatan teknologi pada kegiatan ekonomi yang sudah berjalan di kawasan gambut.
“Jika restorasi ‘dipaksakan’ pada kawasan budidaya, akan timbul persoalan baru. Masyarakat dan korporasi yang telah melakukan aktivitas ekonomi di kawasan itu pasti menolak,” kata Daud, di Jakarta, Sabtu, 2 April 2016.
Menurutnya, pemanfaatan teknologi juga harus menjadi pertimbangan pemerintah sebelum menerapkan restorasi gambut pada kawasan budidaya.Jika kawasan gambut sudah terkelola baik, karena korporasi yang memanfaatkannya telah menerapkan teknologi seperti water management, seharusnya kegiatan restorasi bisa dialihkan ke kawasan lain.
Daud memaparkan, hukum lingkungan memang bertujuan melindungi dan mengamankan alam dari kemerosotan mutu dan kerusakan. Namun, harus diakui, saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
“Ilmu pengetahuan, teknologi, serta pertimbangan para pakar di bidangnya bisa menjadi salah pertimbangan sebelum merestorasi,” tuturnya.
Menurut Daud, keinginan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi bagi korporasi yang konsesinya berdekatan dengan lahan masyarakat yang terbakar juga dimungkinkan.
“Dari berbagai forum diskusi di tingkat internasional dan nasional, hal itu dimungkinkan karena satu atau beberapa sebab yang berkorelasi," ucapnya.
Hanya saja, kata Daud, hukum harus dilakukan seimbang. Artinya, tidak tertutup kemungkinan pemerintah juga bisa digugat jika lahan masyarakat yang berdekatan dengan kawasan open acces terbakar.
“Pemerintah bisa dianggap lalai atau tidak mampu menjaga konsesi yang menjadi tanggung jawabnya," ujarnya.
Daud mengingatkan, pemerintah untuk melakukan banyak kajian sebelum menerapkan satu kebijakan lingkungan. Hal tersebut, karena semangat dari hukum lingkungan tidak sekadar mengenakan sanksi, namun harus memberi solusi.
“Pemikiran-pemikirannya harus dalam konteks Indonesia serta mampu menstrukturkan hukum lingkungan secara akademis,” kata Daud.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya