Komisi VI Desak Pemerintah Fokus Atasi Persoalan Ekonomi
VIVA.co.id – Ketua Komisi VI DPR RI Achmad Hafisz Tohir menilai langkah pemerintah yang kembali menurunkan harga BBM (premium, solar & minyak tanah) patut di dukung meski dari segi timing sebenarnya agak terlambat.
Menurut Hafisz seharusnya sudah dilakukan sejak awal tahun 2016 saat harga minyak dunia jatuh di bawah U$$40 per barel.
"Ini sesuai dengan yang di imani pemerintahan Jokowi-JK sejak awal berkuasa yakni melepas harga BBM ke mekanisme pasar. Seperti diketahui bersama hal ini berpotensi melanggar pasal 33 UUD 45," ujarnya dalam siaran pers, Jumat 1 April 2016.
Namun, menurutnya langkah kebijakan pemerintah dalam menurunkan harga BBM per 1 April ini, sepanjang kepentingannya untuk masyarakat, bukan kepentingan sesaat dan citra pemerintahan semata, tentu DPR akan mendukungnya.
"Dalam situasi keterpurukan ekonomi nasional saat ini, pemerintah wajib memikirkan langkah-langkah strategis yang sifatnya pro rakyat, pro marhaen kalau bahasa pemerintahan sakarang. Tugas pemerintah tak hanya dengan menurunkan harga BBM lantas tanggung jawab pemerintah selesai terhadap nasib rakyat," ujar politisi PAN ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pemerintah harus konsen terhadap perkembangan ekonomi secara nasional, khususnya terkait daya beli masyarakat yang menurun, harga sembako yang melambung tinggi serta kelangkaan suplay and demand terhadap kebutuhan masyarakat terutama masyarakat Indonesia timur wabil khusus lagi Papua, Papua Barat yang masih terisolir.
"Belum lagi biaya pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat kecil. Biaya kesehatan yang tak bisa sepenuhnya di cover BPJS kesehatan terutama buruknya pelayanan BPJS jadi problematik baru bagi pemerintah. Hal tersebut jauh lebih penting ketimbang kebijakan yang sifatnya hanya fluktuatif dan bersifat jangka pendek," katanya.
Kembali ke soal BBM, pria asal Palembang ini menuturkan wacana penghapusan BBM premium dari pasaran, hal ini boleh saja dilakukan pemerintah jika keinginan menghapus premium oktan 88 ini tetapi di ganti dengan yang lebih baik kualitasnya.
"Misalnya dengan oktan 90 seperti pertalite dan ini harus disubsidi pemerintah. Rezim subsidi ini dijamin oleh konstitusi, tak boleh semuanya di liberalisasi dan dilepas ke mekanisme pasar. Bila kenaikan harga BBM terjadi lagi setelah saat ini diturunkan karena fluktuasi harga minyak dunia dan rencana penghapusan premium ini dilaksanakan maka efek berantainya adalah harga barang kembali naik karena diakibatkan komponen harga barang itu meliputi biaya transportasi dan listrik yang ikut naik," ujarnya.
Ujungnya, sambung Hafisz harga-harga jadi tidak terjangkau oleh masyarakat dan berefek pada melemahkan daya beli serta mengurangi konsumsi masyarakat. Akibat berikutnya adalah kegiatan ekonomi melemah dan target penerimaan negara turun karena konsumsi menurun.
"Untuk itu kami mendesak pemerintah untuk fokus benar mengatasi persoalan ekonomi yang berkaitan langsung dengan hidup rakyat kecil ini. Jangan sampai di berlakukannya pasar bebas ASEAN (MEA), rakyat kecil makin terpinggirkan," katanya.   (rin)