Likuidasi Pemprov Jakarta Itu Ide Orisinil Saya
- VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian
VIVA.co.id – Deretan nama politisi beken mewarnai pemberitaan seputar Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Salah satunya pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Ia mengaku serius ingin membenahi Jakarta.
Pencalonannya layak diperhitungkan mengingat pria kelahiran Manggar, Belitung Timur, 5 Februari 1956 itu, telah malang melintang di dunia politik Tanah Air. Berbagai jabatan pernah diraih Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid misalnya, dia menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (1999-2000). Berganti era Presiden Megawati Soekarnoputri, pakar hukum tata negara ini dipercaya menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan (2001-2004). Selanjutnya, ketika zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (2004-2007).
Kini, Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini hendak maju dalam pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Dia ingin mencalonkan diri menjadi calon gubernur (cagub) Jakarta. Untuk itu, suami Rika Tolentino Kato ini pun turun ke lapangan. Dia menyambangi warga, tokoh masyarakat, tokoh politik hingga beberapa bakal cagub Jakarta lainnya.
Kepada tim VIVA.co.id, awal pekan lalu, penulis naskah pidato Presiden Soeharto itu mengungkapkan alasannya maju dalam Pilgub Jakarta. Ditemui di kediamannya di kompleks Fatmawati Executive Golf Mansion, Cilandak, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, Yusril yakin bisa meraih kursi DKI-1. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bagaimana awalnya tercetus niat ikut Pilgub DKI?
Sebenarnya saya sudah lama mempelajari tentang Jakarta.Walaupun saya sendiri tidak berencana menjadi kepala daerah di sini (Jakarta). Tapi ide untuk pencalonan gubernur DKI baru pada 2 Februari 2016.
Apa yang mendorong Anda ingin bertarung di Pilgub DKI?
Kelihatannya memang ada masalah besar di DKI Jakarta yang mesti mendapatkan penanganan secara terencana sistematik, dan memang harus seseorang yang memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan mendasar DKI Jakarta. Seseorang yang punya ketegasan untuk mengambil keputusan di lapangan tapi tetap memelihara sopan santun.
Jadi saya melihat bahwa kalau sekiranya kepemimpinan itu diteruskan oleh petahana, maka keadaan kita ini akan makin kisruh. Karena tidak ada tindakan yang terencana dan sistematis, tindakannya tidak intensif. Yang ada tiap harinya ribut terus. Nah itu yang saya tidak inginkan terjadi di Jakarta. Itu juga salah satu faktor yang mendorong mengapa saya tertarik untuk maju dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta ini.
Saya punya ide dan gagasan yang sudah lama saya pikirkan. Berdasarkan pengalaman dalam pemerintahan, pemerintah pusat kesulitan menyelenggarakan kegiatan di ibu kota negara RI (Republik Indonesia). Sebenarnya, wilayah pusat pemerintahan RI memang di bawah kontrol pemerintah RI. Kenyataannya tidak. Kenyataan wilayah pemerintah pusat Istana saja. Keluar Istana itu sudah wilayah pemda (pemerintah daerah).
Begitu juga dengan pemerintah daerah itu sendiri menghadapi kesulitan membenahi Jakarta. Karena pertama, berhadapan dengan pemerintah pusat. Kedua berhadapan dengan pemerintah di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Ini menyebabkan persoalan-persoalan mendasar di Jakarta. Apalagi masuk ke sektor yang lebih kecil lagi, masalah pemukiman kumuh, banjir, sampah, kemacetan lalu lintas, pekerjaan sektor informal. Itu tidak terpecahkan sampai hari ini.
Gagasan saya beberapa tahun yang lalu, suatu ketika nanti Pemerintah Khusus DKI Jakarta itu dilikuidasi. Saya kira ini ide rasional yang enggak pernah dikemukakan oleh orang sebelumnya. Dulu pernah ada pikiran untuk menjadikan gubernur Jakarta menjadi gubernur Jabodetabek, tapi tidak kunjung terlaksana. Karena itu mencaplok sebagian wilayah Jawa Barat dan Banten dimasukkan ke dalam gubernur Jabodetabek itu.
Saya tidak akan mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten. Tapi melikuidasi Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta itu, sehingga Jakarta ditangani langsung oleh pemerintah pusat. Jakarta bukan lagi hanya milik warga Jakarta tapi Jakarta milik seluruh orang Indonesia. Inilah ibu kota negara kita.
Kalau orang dari daerah pergi ke Jakarta bukan ke ibu kota, ke daerah juga, daerah khusus ibu kota. Saya berpendapat istilah daerah khusus ibu kota Jakarta itu suatu istilah yang kontradiksio in tarminis. Itu yang mengandung pertentangan di dalamnya. Di satu pihak ini adalah ibu kota negara, di lain pihak dia pemerintah khusus ibu kota Jakarta. Ini kan tabrakan.
Pemerintah pusat juga tidak bisa berbuat banyak karena itu kewenangan gubernur menangani Jakarta. Sementara gubernur Jakarta sendiri kalau ingin menangani sesuatu, dia terbentur dengan pemerintah pusat. Terbentur juga dengan Pemerintah Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Banten.
Jadi lebih baik dilikuidasi saja. DKI Jakarta tidak ada lagi gubernur. Suatu ketika nanti Jakarta akan dipimpin oleh seorang menteri yang langsung tanggung jawab kepada Presiden. DPRD DKI juga tidak ada, dilikuidasi juga ke DPR. Yang ada itu menteri ibu kota sehingga di DPR pusat ada Komisi Ibu Kota. Dengan demikian persoalan-persoalan yang mendasar di Jakarta itu secara sitematik bisa diselesaikan.
Ini tentu tidak bisa segera. Ini butuh waktu paling tidak lima tahun mungkin bisa 10 tahun. Tapi bisa dipercepat 5 tahun.
Saya dalam hal ini, tidak lagi berteori. Teorinya saya paham betul. Teorinya di bidang hukum tata negara dan administrasi negara. Tapi dalam praktik saya pengalaman. Dalam menangani penyatuan departemen, memisahkan satu departemen menjadi dua. Saya pernah juga melepaskan kewenangan tiga departemen.
Kalau Jakarta berubah, bagaimana aturannya?
Saya lah yang bikin aturan itu. Saya dua kali membuat undang-undang pemerintah daerah, yaitu undang-undang (UU) tentang pembentukan Daerah Istimewa Aceh tahun 1958 diubah dengan UU tentang Nangroe Aceh Darussalam sebagai daerah otonomi khusus. Jadi soal merancang UU, saya minta maaf, bukan saya sombong. Mungkin sedikit orang yang punya pengalaman. Jadi menteri kehakiman saya membuat lebih 300 UU, termasuk UU KPK.
Nanti tidak ada lagi anggaran pemerintah DKI Jakarta, yang ada adalah APBN. Posnya adalah untuk pos ibu kota negara.
Untuk persiapan pencalonan Pilgub DKI, bagaimana?
Sekarang APBD DKI sekitar Rp70 triliun. Tahun sekarang realisasi anggaran terlalu rendah. Dari 35 provinsi, DKI Jakarta urutan ke 17. Kalau korupsi yang dirugikan negara. Kalau anggaran yang tidak terserap yang dirugikan rakyat. Saya warga DKI bayar pajak. Bayar pajak tanah saja Rp100 juta lebih dalam satu tahun. Pajak yang saya bayar itu bisa membantu orang-orang miskin.
Hal-hal penting seperti Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar akan tetap kita lanjutkan. Jadi jangan khawatir. Yang paling penting, yang bagus kita pertahankan. Bahkan yang dulu bagus tapi enggak dipakai akan kita hidupkan lagi.
Seperti yang dilakukan oleh Pak Harto (Presiden ke 2 RI) dulu, yaitu posyandu, nanti saya mau hidupkan kembali.
Selanjutnya... Saling Dukung Kandidat
Anda mengadakan pertemuan dengan bakal cagub lain seperti Adhyaksa Dault dan Ahmad Dhani. Apakah ada rencana menyatukan suara?
Saya sebenarnya ingin menunjukkan pendidikan politik kepada msyarakat. Ini ada sesama orang ikut dalam kompetisi pemilihan gubernur. Saya ingin tunjukkan kepada rakyat bahwa mereka ini bukan musuh saya. Bahwa beda sekali yang dilakukan di medsos (media sosial) yang menyerang saya habis-habisan. Saya dicaci maki, dikatakan kasar, dikatakan isu yang enggak bagus. Dikatakan saya menyebar isu SARA.
Menurut saya tidak begitu cara berpolitik. Saya ingin mencoba berpolitik sesuai dengan etika. Pak Adhiyaksa, Pak Ahmad Dani, kita datangi satu persatu. Kita sama-sama kawan, sama-sama maju, bagaimana membangun suatu kompetisi sehat. Tidak saya anggap Anda musuh, saya anggap teman-teman.
Lalu saya ditanya, apa Anda mau bersilaturahmi dengan Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama). Ya silakan, saya sangat senang kalau Pak Ahok mau bersilaturahmi.
Saya tahu akan menjadi penantang pak Phok, tapi saya dengan beliau bisa kongko-kongko, bisa bersahabat, bisa tidak perlu mengerahkan anak buah untuk menyerang kompetitor, yang sama sekali tidak pernah terjadi dalam sejarah RI. Mungkin di masa lalu enggak ada medsos kayak sekarang. Pakai selebaran. Tidak mengerikan seperti keadaan sekarang ini.
Saya mau meninggalkan cara-cara seperti itu. Nah, antara kita sama kita. Itu sudah tercapai. Seperti Pak Adhyaksa, Ahmad Dani, Lulung (Abraham Lunggana) dan lain-lain. Kita mengamati, bagaimana kita ini, kita ini kawan. Siapa yang baik melalui polling. Siapa di antara (kita) paling tinggi kita dukung. Kalau antara sesama kami salah satu jadi wakil alhamdulillah. Itu antara kami, sesama kami.
Kenapa enggak Pak ahok, kan pak Ahok petahana. Sekarang Pak Ahok petahana. Kalau tahun depan saya menang, saya petahana. Jadi saya bilang, dengan petahana pun bisa berunding, apalagi saya dengan Pak Ahok satu kampung.
Saya ingin memulai politik itu tanpa luka. Mulai suatu kompetisi yang sehat. Pertarungan sengit dalam Pilkada, setelah itu tidak menimbulkan luka. Kan positif. Saya memulai tradisi baru dalam politik. Tanpa melukai.
Sudah ada kesepakatan dengan bakal cagub lain?
Ini ada standing sesama cagub. Standing ini akan kita bawa ke partai politik. Hampir semua partai politik percaya pada dukun survei. Semua ketua partai sekarang ini percaya dengan dukun survei. Jadi begini, contoh survei Populi Center (lembaga nirlaba untuk pengkajian opini publik dan kebijakan publik).
Kalau saya bilang itu survei akal-akalan. Apa relevansinya antara wilayah administrasi orang tinggal dengan menentukan pilihannya siapa. Kalau survei itu segmentasi berdasarkan kelas sosialnya. Misalnya, kelas pedagang kaki lima. Mereka milih gubernur seperti apa. Itu baru relevan. Saya bisa mengkritik itu karena saya akademisi.
Dari hasil survei, Anda disebut bakal jadi 'kuda hitam'...
Itu juga kesalahan dia (lembaga survei). Pak Ahok kan sudah 4 tahun jadi gubernur dan wakil gubernur. Dia jadi gubernur kan tidak dipilih langsung. Nanti dia mau maju lagi jadi gubernur yang dipilih langsung dipilih rakyat. Dia sudah siap.
Saya mengatakan mau maju Pilgub saja baru 2 Februari 2016. Sedangkan hasil survei itu 18 Februari 2016. Orang dua minggu dibandingkan 4 tahun. Dari itu saja sudah enggak benar mereka meneliti. Orang yang namanya 2 minggu lawan 4 tahun enggak relevan. Di manapun petahana pasti dia paling tinggi popularitasnya. Electability belum tentu.
Ahok, peluang untuk dikalahkan semakin besar. Pak Foke (Gubernur DKI 2007-2012 Fauzi Bowo) lebih tinggi (hasil surveinya). Tapi bisa dikejar. Saya berharap ini bisa head to head. Tapi kalau tidak tetap saya lawan.
Selanjutnya... Soal dukungan parpol
Bagaimana dukungan partai politik (parpol). Apakah sudah ada yang menyatakan komitmennya?
Biarkan dia berjalan. Kita jangan nunggu ini dulu baru berjalan. Parpol pada akhirnya akan menentukan pilihan. Ada yang lebih cepat, ada yang menentukan pilihan saat-saat di akhir. Siapa yang akan mereka dukung. Parpol akan mendukung orang yang akan menang. Kalau mau kalah ngapain didukung.
Jadi (ini seperti) ayam sama telor siapa yang lebih dulu. Nanti saya bilang saya jangan bergerak dulu, nanti enggak dapat parpol. Parpol kan enggak ngambil keputusan cepat. Seperti Pak Ahok kan memilih calon perseorangan, mungkin beliau enggak sabar menunggu parpol.
Parpol yang menjatuhkan putusan enggak ada yang secepat Nasdem. Nasdem kan cepat sekali mengambil keputusan tanpa syarat mendukung Pak Ahok. Partai lain belum ada menentukan keputusan kecuali Nasdem. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) kan sekarang lagi mikir-mikir.
Tetapi sekarang sudah mengerucut opini, DKI ini pertarungan Yusril lawan Ahok. Iya kan? Opini itu sudah seperti itu. Pertanyaannya, apakah PDIP dalam waktu singkat bisa memunculkan calon selain Yusril dan Ahok. Dalam analisis saya, kalau PDIP memajukan calon sendiri belum tentu menang. Maka itu membuka ruang bagi saya ada ruang negosiasi.
Dengan partai lain kelihatannya, dengan opini yang berkembang sekarang belum bisa menentukan cepat.
Beberapa kawan, 2-3 orang sudah mengatakan kalau Abang (Yusril) lebih tinggi saya dukung. Kalau jadi wakil alhamdulillah. Kalau harus negosiasi dengan orang lain juga enggak apa-apa. Kalau enggak juga enggak apa-apa. Mereka bilang dukung.
Apakah Golkar, Demokrat atau PPP yang akan maju mendukung Anda?
Golkar kecenderungannya begitu. PKS juga, kemudian PAN, Gerindra. PDIP mudah-mudahan kalau bisa berunding saya sangat senang.
Kalau Demokrat saya sudah berbicara dengan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Pak SBY bilang belum punya calon. Ada disebut-sebut Nachrowi. Belum ada keputusan juga.
Apakah sudah ada pendekatan ke Megawati Soekarnoputi?
Ya sudah. Kami juga sudah memberikan banyak penjelasan dan masukan-masukan. Dalam waktu dekat ini beliau sudah mengambil keputusan. Saya belum pernah ketemu. Telepon-teleponan iya.
Bagaimana jika Anda dipasangkan dengan wakil dari PDIP?
Ya saya terima, bagi saya kerja sama dengan siapapun enggak masalah. Sekian lama saya bekerja sama dengan orang enggak konflik. Kalau Pak Djarot (Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat) yang dimajukan saya terima. Enggak masalah.
Bagaimana cara Anda untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas?
Bagi saya problem itu elektabilitas. Karena bagi saya sebagian besar orang sudah kenal. Kecuali orang tidak pernah menonton televisi.
Banyak upaya kita lakukan. Ada pendekatan terhadap tokoh-tokoh, ormas (organisasi masyarakat), lembaga-lembaga pengajian dan lain-lain.
Tapi memang ada yang saya langsung terjun ke masyarakat. Orang bilang blusukan. Saya bilang enggak. Saya di situ (di sebuah masjid di Jakarta Utara) saya disuruh jadi khatib salat Jumat. Habis itu berbicara dengan masyarakat. Jadi itu ada suatu cara yang bagus. Saya tidak memanfaatkan masjid menjadi tempat kampanye tapi masyarakat itu senang.
Selanjutnya... Kemiskinan dan macet Jakarta
Selama turun ke masyarakat, apa keluhan yang paling banyak disampaikan?
Yang paling banyak kesempatan kerja, pengangguran, kesehatan, pemukiman yang tidak memadai. Selain itu banyak masalah negatif seperti narkoba dan lain-lain. Intinya masalah kemiskinan.
Dari keluhan kemiskinan itu, program apa yang Anda tawarkan untuk mengatasinya?
Banyak masyarakat kita itu secara pendidikannya belum siap. Terutama mereka yang hijrah dari daerah ke Jakarta.
Terkait pembenahan pasar tradisional. Persoalan suplai barang-barang. Itu yang mau saya perbaiki, tingkatkan. Kedua itu adalah kuliner. Kuliner kita itu tidak jalan. Ada yang dibuat sama (menyebut nama pusat perbelanjaan) tapi caranya itu tidak sesuai dengan kultur orang Indonesia. Saya beberapa kali mau makan enggak jadi karena bikin susah orang (dengan sistem deposit uang lebih dulu sebelum membeli makanan).
Saya suka makan di pinggir-pinggir jalan. Persoalan di Jakarta, enggak ada standar higienis. Siapa yang jamin makanan di pinggir jalan itu sehat. Pemerintah DKI pernah enggak mengontrol standar higienis. Kalau mereka diberikan bimbingan pasti bagus.
Soal macet Jakarta, bagaimana solusi jangka pendeknya?
Ini bukan ide baru. Tapi sudah pernah dilontarkan beberapa tahun lalu. Untuk jangka pendek itu sebenarnya mengatur jam kerja. Terutama menyangkut pekerja swasta dan pekerja pemerintah, TNI, Polri. Sebenarnya begitu banyak orang di jalan karena jam kerja yang bersamaan. Misalnya (pekerja) swasta mulai kerja jam 09.00-10.00 WIB.
Kalau swasta enggak apa-apa jam kerja 10.00-18.00 WIB. Tapi kalau pegawai negeri sipil (PNS) jam 08.00-15.00 WIB. Itu diuji coba. Dalam waktu singkat bisa mengurangi kepadatan lalu lintas.
Dalam 6 bulan sampai 1 tahun, saya mau mengajukan peraturan daerah (perda) ke DPRD tentang pembatasan kendaraan masuk ke jalan-jalan tertentu, kecuali mereka membayar. Tetapi itu harus disetujui oleh DPRD. Karena setiap beban pajak, pungutan dan lain-lain itu tidak bisa dilakukan gubernur sendiri.
Uang bayar itu digunakan untuk mensubsidi kendaraan umum. Kalau itu bisa terwujud, kita bisa umumkan tarif bus Transjakarta dalam 3 bulan bisa turun 50 persen. Uangnya dari stiker (bukti pembayaran kendaraan boleh melintas ke jalan tertentu) tadi. Orang kaya bantu orang miskin.
Pemerintah harus bersikap tegas terkait membludaknya sepeda motor. Di Jakarta ini, asal punya KTP DKI, punya uang Rp500 ribu bisa kredit motor. Sepeda motor jadi banjir di Jakarta. Sepeda motor banjir tidak hanya berdampak kepada keselamatan jiwa. Motor juga berkontribusi besar terhadap kemacetan. Secara nasional banyaknya sepeda motor menghabiskan bahan bakar minyak (BBM). BBM ini kita impor sekarang ini.
Ini pelan-pelan sinergi pemerintah pusat dengan daerah DKI harus mengembangkan motor listrik. Dengan motor listrik polusi berkurang. Lebih murah. Itu jangka menengah.
Bagaimana solusi jangka panjangnya?
Terkait transportasi ke wilayah pemukiman. Jakarta ini lahannya tidak banyak. Kultur masyarakat kita itu tidak biasa tinggal di apartemen. Orang Singapura, Hong Kong, itu pelan-pelan dididik untuk tinggal di apartemen.
Jangankan orang lain. Saya pernah tinggal di apartemen, saya stres. Saya ini orang kampung, enggak bisa tinggal di apartemen. Karena harus lihat ayam, kambing, suara air. Tiba-tiba tinggal di atas begitu, saya stres.
Kalau pembangunan perumahan lahan makin tersedot habis. Sawah makin habis. Itu juga pengaruh ke banjir. Jakarta harus membangun rapid train. Jakarta sampai Tangerang, Serang. Paling cepat membangun dengan lahan yang ada.
Saya sudah pelajari lahan milik PT KAI. Dia sudah bebaskan tanah. Sepanjang 50 meter kiri kanan rel sudah dibebaskan. Kita bisa mempercepat membangun itu, menambah rel ganda, menghidupkan kembali rel-rel lama yang dibangun Belanda yang sudah sampai ke Serang.
Tapi kereta api cepat kita subsidi. Di Jepang saja kereta disubsidi. Saya berpendapat transportasi itu harus disubsidi. Baik itu negara mensubsidi rakyatnya dan orang kaya mensubsidi orang yang tak mampu.
Selanjutnya... Menuju RI1?
Apakah menjadi DKI-1 sebagai bantu loncatan menuju RI-1 (Presiden)?
Itu semua saya kembalikan kepada rakyat. Kalau rakyat menghendaki seperti itu saya mau bilang apa. Seperti saya katakan tadi, kita kan sekarang krisis pemimpin. Krisis pemimpin itu seperti wayang Jawa petruk jadi ratu.
Ini yang saya katakan paradok demokrasi. Sekarang ini parpol menghadapi krisis leadership. Kemarin (Pilgub DKI 2012) orang dari Palembang datang ke sini. Wali kota dari Solo. Lurah di Jakarta enggak ada yang siap.
Kalau memang itu terjadi dan rakyat mengganggap pantas bagi saya, itu mendorong saya bisa bekerja lebih cepat. Kalau memang dua tahun orang bilang sukes, kenapa tidak. Pak Jokowi saja yang cuma satu tahun (menjadi gubernur DKI lantas menjadi Presiden) enggak dipersoalkan. Mungkin saya bisa berbuat lebih banyak dalam waktu cepat.
Tapi saya tidak memikirkan itu. Karena saya berpikir begini. Saya maju untuk membenahi Jakarta. Membenahi negara harus dimulai dari Jakarta. Jakarta ini cerminan dari Indonesia pada umumnya. Kalau Jakarta semrawut, orang akan berpendapat seluruh Indonesia semrawut.
Anda yakin bisa memenangkan Pilgub DKI?
Saya punya keyakinan, tapi ujungnya saya serahkan kepada rakyat. Saya pikir Insya Allah saya mampu dan tahu, baik secara teori maupun segi pengalaman. Tapi saya kembalikan kepada rakyat karena rakyat yang memilih.
Karena di sini ada tanggung jawab kaum intelektual. Tanggung jawab ulama. Anda mengerti, Anda tahu, tapi Anda tidak mau melakukan sesuatu, itu masalah. Untuk itu saya jadi gubernur. Kalau rakyat enggak mau memilih saya, ya itu hal lain.
Jika Anda kalah, apa yang akan Anda lakukan?
Kalau saya itu tidak pernah menjadikan politik satu-satunya pekerjaan profesi dalam hidup saya. Apapun yang saya lakukan, sampai ke puncak. Misalnya, saya jadi PNS saya sampai golongan 4D. PNS jabatan paling tinggi yaitu eselon 1. Saya eselon 1 di umur 37 tahun. Saya jadi dosen, saya jadi Profesor. Saya masuk parpol jadi ketua umum. Saya masuk ke politik jadi menteri. Jadi Presiden saja yang belum. Saya jadi seniman, saya dapat best actor (Best Lead Actor in a Foreign Language Film dalam film Legend of the East atau Laksamana Cheng Ho) di Madrid, Spanyol.
Kalau badan sehat umur panjang. Saya yakin sampai ke puncak juga. Kenapa yang lain ragu. Ketika saya yakin, saya seriusin, saya berdoa, saya berusaha.
Bagaimana dukungan keluarga Anda?
Setuju saja. Malahan senang. Politik itu begini, suka enggak suka, dia dinasti. Jadi keluarga saya, dari bapak saya memang pemerintah mulai dari sultan-sultan dulu. Mulai dari kakek saya banyak yang jadi ulama. Kakek dari ayah saya itu pahlawan nasional yang mati bertempur di Selat Malaka.
Saya lihat kecenderungan ke intelektual, ulama, dan memerintah (pemerintahan). Bapak saya ngurus politik melulu karena dia tokoh Masyumi. Saya di televisi anak-anak senang. (umi)