Banjir Bikin Jakarta Rugi Rp18,8 Triliun, Riset LIPI
- VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto
VIVA.co.id – Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi sumber daya alam melimpah, namun juga di sisi lain banyak tantangan yang disebabkan gempa bumi, tsunami, banjir, kekeringan, kenaikan permukaan laut, erosi pantai, dan peningkatan intensitas dan frekuensi badai.
Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar workshop internasional membahas adaptasi transformasi sosial dan perubahan kebijakan dalam menghadapi perubahan iklim.
Sebagai salah satu menekan risiko bencana alam itu, LIPI bekerja sama dengan University of Hannover (FI) Jerman dan United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS).
Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain, mengatakan perubahan iklim dalam beberapa waktu terakhir ini mengakibatkan berbagai bencana alam yang berkepanjangan. Maka dari itu, pengelolaan manajemen risiko menjadi hal yang penting, agar kerugian dapat berkurang signifikan.
"Kita menderita kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Banjir di Jakarta saja bisa menyebabkan kerusakan properti dan kerugian sekitar 330 juta Euro (sekitar Rp4,7 triliun dengan kurs Rp14.500) dan kerugian peluang ekonomi 1.300 juta Euro (sekitar Rp18,8 triliun)" ujar Iskandar di Ruang Seminar Gedung PDII LIPIÂ lantai 2, Jl. Gatot Subroto 10, Jakarta, Senin 14 Maret 2016.
Menyadari hal tersebut, pendekatan investasi mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim yang mengutamakan pemanfaatan dan penguatan ekosistem serta pendekatan alamiah mulai dikedepankan.
"Penguatan kapasitas ilmu harus segera dilakukan dengan menekan risiko bencana akibat perubahan iklim yang dipadukan dengan tuntutan pembangunan yang cepat," ucap Iskandar.
Dengan demikian, diharapkan pertemuan internasional dari berbagai ahli bidang bahaya, kerentanan, dan risiko bencana perubahan iklim itu melahirkan solusi untuk pengurangan dampaknya ke depan.
Workshop internasional yang bertajuk ‘Low Regret Adaptation for Social Transformation and Policy Changes on Climate and Disaster Risk in Coastal Areas in Indonesia and South East Asia’ ini berlangsung 14-15 Maret 2016. Setidaknya, terdapat 45 ilmuwan maupun praktisi nasional dan internasional yang bekerja di bidang bahaya dan risiko bencana serta perubahan iklim menghadiri pertemuan itu.
Selain ilmuwan dan peneliti, hadir juga beberapa perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Institut Teknologi Bandung, beberapa universitas dari Jerman, dan pembicara utama dari Vietnam, Bach Tan Sinh. (ren)