Hasil Pengamatan Gerhana Matahari Total Masih Dianalisis
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT) telah berlangsung kemarin dari bagian barat Indonesia sampai ke bagian timur Indonesia. Para peneliti dari berbagai lembaga pun telah mengamati fenomena alam langka tersebut.
Begitu juga dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang mengerahkan penelitinya di berbagai wilayah yang dilintasi oleh GMT. Namun untuk saat ini hasil pengamatan GMT 2016 belum bisa diketahui secara rinci.
"(Hasil) GMT sekarang belum kita ketahui, baru secara umum saja terkait pola gerhana dengan prakiraan pola merambat seluruh permukaan matahari," ujar Kepala Lapan Thomas Djamaluddin kepada VIVA.co.id, Kamis 10 Maret 2016.
Ia mengatakan, saat ini data lengkap pengamatan GMT telah direkam untuk dianalisis lebih lanjut.
Thomas menjelaskan, pengamatan yang dilakukan Lapan ini terkait dengan korona (atmosfer bawah) matahari. Dalam pengamatan tersebut, Lapan berkolaborasi dengan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang dilakukan di Halmahera, Maluku Utara.
"Secara fisika umum korona strukturnya. Terkait aktivitas matahari yang terjadi gerhana kemarin. Kemudian (akan membuat) model korona yang dimodelkan dari hasil kenampakan, demikian juga terkait oleh peneliti Lapan yang ada di Ternate," ucapnya.
Pria kelahiran Cirebon itu mengatakan, proses pengolahan data pengamatan GMT tidak meunggu olah data pengataman NASA. Masing-masing mengolah data yang dikumpulkan. Namun demikian, kata Thomas, komunikasi dengan badan antariksa AS itu tetap berkooordinasi dengan tim Lapan.
Thomas melanjutkan, hasil pengamatan Gerhana Matahari Total 2016 ini akan menjadi bekal bagi Lapan dalam seminar internasional yang diselenggarakan di Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Nanti ada seminar internasional di ITB bulan Juni, teman-teman akan melaporkan dalam seminar tersebut," tutur dia.
Diberitakan sebelumnya, Lapan memprediksikan Indonesia akan dilintasi GMT tujuh tahun lagi atau tepatnya pada 2023. Kemudian, terjadi kembali pada 2042. Karakter dari setiap GMT tersebut berbeda satu sama lainnya.
"Gerhana mempunyai karakter masing-masing. Jalurnya berbeda, lebar, dan lamanya juga. Biasanya (GMT) terjadi tergantung pada konfigurasi matahari, bulan, dan bumi," kata doktor lulusan Kyoto University, Jepang tersebut.