BUMN Masuk dalam Divestasi Freeport Dinilai Tidak Masuk Akal
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Belakangan ini Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menunjuk dua orang sebagai wakil dari Kementerian BUMN dalam tim divestasi saham PT Freeport Indonesia, untuk ikut menyelesaikan permasalahan divestasi perusahaan tambang tersebut.
Adapun wakil yang diutus Meneg BUMN Rini Soemarno adalah Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha KemenBUMN, Aloysius Kiik Ro dan Dirut Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin.
Menyikapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi Partai Gerindra Mochamad Hekal menilai, keputusan Rini dengan memasukan BUMN ke dalam divestasi Freeport sangat tidak masuk akal.
Pasalnya, lanjut dia, jika melihat harga saham Freeport saat ini tengah anjlok, lebih baik pemerintah tunggu saja hingga waktu negosiasi perpanjangan kontrak.
Kecuali, kata dia, Freeport diberikan secara cuma-cuma dan disitu BUMN boleh ikut serta.
"Itu kita perlu bicarakan juga dengan menteri. Tapi menurut saya mending kita tunggu aja nanti juga habis itu kontrak. Kecuali dapat gratisan. Kalau kita ikut masuk pake modal kita udah iket kaki, sebab itu sudah jadi jaminan Freeport pasti akan diperpanjang. Gimana kita enggak lanjut kalau kita udah masuk. Kita udah terikat," ujarnya di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa 1 Maret 2016.
"Atau kita pertanyakan dulu yang jelas sebelum beli saham. Karena sekarang dengan dua atau tiga tahun lagi saham makin nyungsep. Masa sih udah tahu rugi kita mau terjun," ujarnya.
Saat ditanya apa kerugian Indonesia bila tidak segera membeli divestasi Freeport atau sebaliknya, Hekal mengatakan semua tergantung kecerdasan pemerintah dalam melakukan negosiasi dan pengelolannya.
"Menguntungkan atau tidaknya tergantung kebijakan pemerintah. Mau jadi sampah atau duit tergantung pemerintah. Kaya hari ini kalau kita larang ekspor, duit dari mana," katanya.
Jadi, kata dia, persoalan ini sama dengan soal ijin ekspor konsentrat, jika tak diberikan Indonesia tak dapat pemasukan, jika diizinkan negara juga akan rugi karena jangka panjang. Namun terlepas dari itu, hak yang mesti diperhatikan adalah peraturan perundang-undangan.
"Sebenarnya kalau mau kita lakukan harus sinkron. Kalau boleh ekspor dasar hukumnya apa? prospek bagus enggak, tapi UU enggak ada mereka lakukan ekspor. Kalau Freeport boleh kenapa Antam enggak? Kasarnya mau bikin pelanggaran hukum jangan nguntungin asing aja nguntungin kita mana. Masa Indonesia langgar hukum kita merem mata sebelah, asing langgar hukum kita kasih gitu aja," katanya. (rin)