Teknologi Pemusnah Sampah DKI Masih Hasilkan Racun
- VIVA.co.id/Mitra Angelia
VIVA.co.id – Direktur Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT), Rudi Nugroho menyebutkan meski teknologi Incenerator menjadi pilihan yang cepat dan efektif untuk memusnahkan sampah di DKI Jakarta yang tercatat mencapai 6.500 ton per hari, tapi teknologi itu masih menghasilkan emisi senyawa beracun.
“Kekhawatiran (emisi) adalah dioksin. Sumbernya dari sampah (yang) mengandung plastik. Dalam perjalanannya, kita dalam kondisi darurat sampah, ini (Incenerator) pilihan terbaik. Kalau menjamin (tidak ada senyawa beracun), sama sekali tidak bisa, tapi meminimalkan risiko itu harus,” ujar Rudi saat jumpa pers di Gedung BPPT, Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu, 10 Februari 2016.
Diketahui, dioksin merupakan senyawa yang keluar dari hasil pembakaran. Dioksin dapat berimbas pada kesehatan, seperti kanker dan nonkanker, serta menghambat perkembangan janin dan bayi. Senyawa tersebut ditransfer sang ibu melalui plasenta dan ASI.
Rudi mengungkapkan pada dasarnya untuk suatu teknologi yang berbasis emisi, selalu ada regulasi yang mengatur. Seberapa emisi ada di lingkungan diizinkan oleh regulasi tersebut.
“Dengan teknologi (meminimalkan risiko dioksin), jadi mendirikan inseminator. Analisis mengenai dampak lingkungannya (amdal) harus ada. Amdal itu ada penjelasannya, sampah segi emisinya berapa. Kalau emisi sudah ketahuan, teknologi itu ada untuk menurunkan itu. Masalah hasil, nanti bagaimana konsekuensi vendor itu,” jelas Rudi.
Rudi menegaskan, tetap yang diutamakan untuk regulasi emisi adalah kesehatan masyarakat.
Cara kerja teknologi Incenerator hanya dengan memasukkan sampah pada alat, dan pembakarannya ‘dirangsang’ dengan bahan bakar fosil, batu bara.
Pembakaran berfungsi memanasi boiler yang terdapat air. Selanjutnya boiler menimbulkan stem, dan akhirnya menggerakkan turbin. Pada akhirnya turbin akan menggerakkan pembangkit listrik.
Dana Rp1,3 triliun
Rudi mengatakan butuh dana Rp1,3 triliun untuk pembangunan dan pembelian alat teknologi Incenerator. Teknologi ini mampu memusnahkan sampah seribu ton per hari dengan cara pembakaran.
“Teknik Incenerator bisa membakar 1000 ton perhari, untuk investasi awal, 1,3 triliun rupiah,” ujar Rudi.
Sementara untuk waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan amdal hingga pembangunan teknologi itu, dibutuhkan waktu dua sampai tiga tahun lamanya.
Saat sudah beroperasi, untuk pembakaran tiap ton sampah, nantinya akan membutuhkan biaya kembali.
Peneliti Persampahan BPPT, Sri Wahyono mengatakan negara yang sudah mulai mengembangkan teknologi Incenerator, seperti Jepang menghabiskan Rp1 juta untuk satu ton sampah.
“Kalau Indonesia maka bisa 400 sampai 500 ribu rupiah (per ton),” kata Wahyono.
Teknologi Incenerator menjadi usulan BPPT, dengan pertimbangan teknologi proses termal itu lebih cepat dan efektif memusnahkan sampah. Kemudian dari sisi emisi, teknologi ini lebih ramah lingkungan, karena residu yang dihasilkan hanya lima persen.
Teknologi itu lebih baik ramah dibandingkan proses termal lainnya, yaitu teknik gasifikasi dan pyrolisis, yang menghasilkan 20 hingga 30 persen residu.
Namun, kini yang menjadi sedikit persoalan adalah emisi yang dikeluarkan tetap menghasilkan sedikit senyawa berbahaya, yaitu dioktin.
BPPT mengusulkan, masalah dioktin bisa dimasukkan dalam regulasi amdal yang disinkronkan dengan seberapakah emisi yang boleh ‘beredar’ di lingkungan. (ase)