Ini Teknologi BPPT Musnahkan Sampah DKI dengan Cepat
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Masih soal sampah, DKI Jakarta selalu disibukkan dengan sampah yang ujung-ujungnya berimbas pada bencana banjir. Kini, arahan Presiden Joko Widodo agar menggunakan teknologi untuk melebur sampah di Jakarta mulai digalakkan oleh Tim Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknokogi (BPPT).
Sebelumnya, Presiden dalam Rapat Kabinet Terbatas, menekankan perlunya untuk segera menangani masalah sampah perkotaan dengan pemanfaatan teknologi pembangkit listrik berbasis sampah.
"BPPT siap membantu dan mendampingi pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam memilih dan mengaplikasikan teknologi yang tepat untuk pengolahan sampah perkotaan," ujar Direktur Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT, Rudi Nugroho saat jumpa pers di Gedung BPPT, Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu, 10 Februari 2016.
Lalu, Rudi menjelaskan terdapat dua cara teknologi yang dipakai, yaitu menggunakan bio dan termal. Kedua cara itu sama-sama menghasilkan energi yang digunakan untuk pembangkit listrik.
Proses bio, dijelaskan Rudi, terbagi menjadi dua cara yakni digester anaerobik dan permanen gas TPA atau landfill. Pada proses digester, tumpukan sampah dimasukkan dalam sebuah wadah besar, sebagai 'perangsang' hingga menghasilkan biogas. dibantu bakteri anaerobik, kemudian ditutup rapat.
Sementara, pada landfill, prosesnya tumpukan sampah ditaruh dalam tanah yang sudah digali, lalu ditutup dan dimasukkan pipa untuk mengalirkan biogas yang dihasilkan.
"Namun proses bio, lama, bisa dari 20 hingga 30 hari," tuturnya.
Kemudian, untu proses termal, Rudi menyatakan, proses ini sebenarnya lebih efektif, kendati prosesnya membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat. Secara umum, termal adalah proses memusnahkan sampah dengan metode pembakaran, sehingga dengan energi panas yang dihasilkan, bisa menjadi pembangkit listrik.
Metode termal
Rudi mengatakan, proses secara termal ada tiga macam cara yaitu incenerator, gasifikasi dan pyrolisis. Sementara dari ketiga macam proses termal itu sama-sama menghasilkan residu atau arang, namun lebih banyak pada gasifikasi dan pyrolisis sebanyak 20 sampai 30 persen. Sementara incenerator hanya menghasilkan residu lima persen saja.
Untuk mendapatkan energi pembangkit listrik, pada proses gasifikasi membutuhkan oksigen saat proses pembakarannya dan suhu yang agak lebih tinggi dari pyrolisis. Hasilnya, menimbulkan gas atau disebut dengan syngas menjadi metan, yang dipakai untuk energi pembangkit.
Berbeda dengan gasifikasi, proses pyrolisis tidak membutuhkan oksigen. Tapi hasilnya sama, ada gas, kemudian gas diembunkan, dan selanjutnya menjadi bahan bakar cair untuk energi pembangkit.
"Namun, gasifikasi dan pyrolisis untuk skala kecil," kata Rudi.
Untuk skala besar dan emisi yang sedikit adalah proses incenerator. Rudi mengatakan, pada proses ini saat pembakaran sampah menghasilkan panas. Ini berfungsi memanasi boiler yang terdapat air. Sehingga boiler menimbulkan stem, yang selanjutnya menggerakkan turbin. Kemudian turbin menggerakkan pembangkit listrik.
Rudi menambahkan, pada proses termal, pembakarannya dibantu oleh energi fosil, seperti batu bara untuk mempercepat pembakarannya.
Namun, ia menegaskan, untuk saat ini yang menjadi prioritas utama adalah cara memusnahkan sampah, bukan menghasilkan listrik lebih banyak.
Perlu diketahui, dari data yang dirangkum BPPT, Jakarta bisa menghasilkan sampah 6.500 ton sehari. Bisa dihitung, dari jumlah penduduk Jakarta dikalkulasikan satu orang menghasilkan sampah 0,6 kilogram per hari.