'Berantas Terorisme, Jangan Seperti Nguber Layangan'
- VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian
VIVA.co.id - Komisi I DPR belum lama ini mengejutkan publik. Mereka membentuk suatu institusi baru dalam bidang intelijen yaitu Tim Pengawas Intelijen Negara.
Tim tersebut terdiri dari 14 anggota, dan disahkan dalam rapat paripurna DPR. Sejumlah reaksi pun segera bermunculan.
Ada yang mendukung, ada pula yang menolak. Bahkan, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, menganggap tim tersebut tidak berguna karena dinilai akan merugikan Badan Intelijen Negara.
Bagaimana sebenarnya alasan yang mendasari pembentukan tim tersebut? Apakah hanya reaksi sesaat akibat kasus teror yang mengguncang Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016, lalu? Atau memang kehadirannya dibutuhkan oleh negara dan tentunya juga masyarakat?
Wartawan VIVA.co.id, berkesempatan berbincang dengan Ketua Komisi I DPR, sekaligus Ketua Tim Pengawas Intelijen Negara, Mahfudz Siddiq. Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berbicara panjang lebar mengenai lembaga yang baru saja dibentuk tersebut.
Tak hanya itu, Mahfudz juga membahas soal masalah terorisme dan akar mengapa persoalan itu tidak juga selesai hingga kini, padahal instrumen yang Indonesia miliki lebih dari cukup.
Tokoh kelahiran Jakarta, 25 September 1966, itu juga menyinggung soal Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Tak hanya mengurai masalah, ia juga memberikan sejumlah saran dan solusi untuk menyelesaikannya.
Berikut hasil wawancara lengkap bersama Mahfudz Siddiq:
DPR membentuk Tim Pengawas Intelijen Negara, apa yang menjadi dasar atau alasan pembentukan lembaga itu?
Jadi, UU Intelijen Negara Nomor 17 Tahun 2011. Ini UU pertama yang dihasilkan DPR dan pemerintah. Dan ini inisiatif DPR sejak Indonesia merdeka pada 1945. Jadi, kehadiran UU ini menjadi sangat penting agar setiap institusi di dalam negara lebih khusus penyelenggara intelijen dapat bekerja berdasarkan acuan UU. Karena kita kan negara hukum. Itu satu.
Dan di dalam UU Intelijen ini ada satu prinsip penting bahwa penyelenggara intelijen harus dilakukan secara profesional. Sesuai prinsip kerja intelijen, tetapi pada sisi lain dalam iklim demokrasi maka seluruh kerja intelijen haru tunduk pada hukum.
Kedua, menghormati nilai-nilai demokrasi, dan yang ketiga, menghormati nilai-nilai HAM. Nah, sehingga dengan kerangka ini maka intelijen bukan hanya profesional namun juga akuntabel. Dan betul-betul berhikmat, bekerja untuk kepentingan negara sehingga potensi-potensi penyalahgunaan bisa diminimalisir.
Yang ketiga amanat di dalam UU tersebut untuk menjamin akuntabilitas intelijen diaturlah mekanisme pengawasan. Mekanisme pengawasan ini ada dua. Pertama, internal di masing-masing badan penyelenggara intelijen dan yang kedua adalah pengawasan eksternal.
Nah, pengawasan eksternal ini di dalam UU diamanatkan atau dimandatkan ke DPR. Di situlah muncul klausul pengaturan mengenai Tim Pengawas Intelijen DPR RI. Itu acuannya. Jadi kalau ditanya kenapa muncul Timwas Intelijen? Ya sebagai implementasi amanat UU, sebagai instrumen dari pengawasan eksternal dalam penyelenggaraan intelijen.
Apa saja fungsi dan tugas Timwas tersebut?
Pertama, secara umum mematikan semua penyelenggara intelijen tunduk pada hukum. Kedua, menghormati nilai demokrasi dan ketiga menghormati HAM.
Selain itu, secara khusus, Timwas diberi kewenangan untuk menyelidiki jika ada dugaan praktik intelijen yang melanggar UU. Jika ada satu kasus misalnya dan itu menyangkut masyarakat luas, menyangkut kepentingan negara, tetapi ada indikasi melanggar UU maka tim ini bisa menggunakan kewenangannya.
Meminta keterangan, sampai jika ada bukti yang kuat bisa melakukan penyelidikan, tetapi outputnya bukan penegakan hukum, output-nya rekomendasi. Apakah rekomendasi kepada Penyelenggara intelijen itu sendiri atau kepada Presiden, karena pengguna akhir atau user, pengguna intelijen negara adalah Presiden.
Yang lain dari yang khusus adalah bisa meminta keterangan penyelenggara intelijen jika ada hal-hal khusus. Yang memang itu membutuhkan pendalaman apa dalam rangka pemberian pertimbangan atau di dalam memberikan masukan dalam memperbaiki kinerja. Kira-kira itu.
Mengapa baru sekarang dibentuk? Apakah ada konsisi yang dipandang urgent atau genting sekali, misalnya teror bom Thamrin lalu?
UU ini disahkan akhir 2011. Dalam UU itu ada amanat bagi pemerintah untuk mensosialisasikan UU ini dalam satu tahun pertama. Maka 2012 fase pemerintah dan juga DPR melakukan sosialisasi ke berbagai lembaga pemangku kepentingan, kemudian di saat yang sama UU ini mengatur hal-hal yang menyangkut kelembagaannya.
Oleh karena itu, kita ingat 2013, 2014, itu adalah fase di mana pemerintah dan DPR secara bersama memfokuskan kerja pada pembangunan atau penguatan institusi penyelenggara intelijen khususnya BIN. Karena ada reorganisai, penataan ulang SDM, keluar Perpres mengenai tata organisasi dan seterusnya selain juga mulai ada penyesuaian implementasi fungsi-fungsi yang diperluas. Contohnya fungsi koordinasi.
Nah, kita ingin memberikan ruang bagi penyelenggara intelijen untuk membangun organisasinya mulai melaksanakan fungsi-fungsi yang diatur UU. Selain juga kalau kita lihat mulai 2012 dukungan anggaran terhadap BIN kan mulai mengalami peningkatan secara signifikan.
Kemudian, 2014 ada Pemilu dan pergantian DPR baru. Nah, 2015 kita tahu kondisi DPR sibuk dengan urusan politik sehingga saya menilai sebagai Pimpinan Komisi belum ada momen yang tepat, kondusif untuk membentuk Timwas Intelijen.
Baru memasuki 2016 ini saya menilai momentumnya tepat, proses implementasi UU dalam pembangunan kelembagaannya, dukungan anggarannya, situasi DPR sudah mulai kondusif lalu ini dimunculkan. Jadi, menurut saya ini konsekuensi dari implementasi dan tahapan-tahapan UU saja.
Peristiwa Thamrin jadi momentum?
Ya, kalau peristiwa terorime kasus bom Thamrin satu kebetulan saja. Dan bukan menjadi alasan Timwas ini muncul. Semua sudah disiapkan, karena DPR harus menyiapkan aturannya dulu.
Mantan Kepala BAIS TNI Soleman B Ponto menyebut tim tersebut tidak berguna, dan justru kontraproduktif karena dinilai merugikan intelijen. Apa tanggapan Anda?
Saya mengikuti pernyataan berbagai pihak yang pro dan kontra Timwas Intelijen. Menurut saya, ini cermin dari belum tersosialisasinya secara luas UU Intelijen kepada berbagai pihak yang punya kaitan dan perhatian. Itu satu. Tugas pemerintah dan DPR untuk mensosialisasikan lagi.
Kedua, menurut saya, kita tidak perlu terlalu khawatir, cemas dengan keberadaan Timwas karena ini yang juga terjadi di banyak negara maju. Bahkan di Amerika, di Kongresnya itu bukan tim, tapi komite.
Komite itu bisa lebih besar dari tim. Nah, cuma karena dalam UU MD3 (MPR, DPR, DPRD dan DPD) dan tatib (tata tertib) DPR tidak dikenal komite sebagai instrumen kerja DPR, yang ada hanya tim, panitia seperti angket, ini kan bukan Pansus, karena Pansus adhoc. Makanya, yang bisa permanen adalah tim. Jadi, akhirnya kita mengadopsi bentuk organisasinya adalah tim.
Jadi di luar negeri, di negara maju, ini hal yang biasa terjadi. Bahwa ada kekhawatiran bocor informasi intelijen, saya ingin mengatakan begini. Anggota Timwas ini bukan agen intelijen, yang di kepalanya, di dalam dirinya tersimpan begitu banyak tersimpan informasi intelijen, enggak.
Kalau kita bicara kontra intelijen yang menjadi sasaran siapa? Ya aparat intelijen atau agen intelijen. Nah, Timwas ini adalah orang-orang yang diberi kewenangan dan tugas untuk memastikan penyelenggara negara ini taat hukum. Tidak melanggar nilai demokrasi dan menghormati HAM. Itu saja. Bukan semua informai inteijen ada di kepalanya.
Sistem kerjanya bagaimana?
Sistem kerjanya tertutup. Makanya di dalam sumpah anggota Timwas Intelijen ini salah satunya bersungguh-sungguh menjaga informasi intelijen, bahkan diatur sanksinya kalau ada kebocoran.
Sanksinya apa?
Ada tergantung derajat pelanggarannya, apa ringan, sedang atau berat. Berat sampai mengarah ke pidana.
Apakah tim itu tidak memboroskan anggaran negara?
Kalau di bilang boros anggaran enggak juga. Karena Timwas ini dalam peraturan DPR tidak mempunyai hak-hak protokoler. Jadi, nggak ada gaji khususnya. Kalau pun dia melakukan tugasnya, tugas itu melekat sebagai anggota DPR. Kecuali dia harus melakukan peninjauan ke daerah otomatis ada biaya perjalanan, itu standar yang ada di DPR. Jadi tidak ada alokasi anggaran khusus untuk Timwas Inteijen ini.
Apa yang akan dilakukan oleh tim dalam waktu dekat ini?
Pertama, kami akan menyamakan pemahaman dulu di tim mengenai UU mengenai tatib. Mengenai cara kerja sehingga semua anggota tim punya pemahaman yang sama. Ini juga terkait tanggung jawab.
Kedua, kami dalam waktu dekat akan bersilaturahim dengan penyelenggara intelijen negara agar mereka juga punya pemahaman yang sama. Saya sering mengatakan Timwas Intelijen ini bukan lawanya penyelenggara intelijen. Ini partner, mitranya.
Justru harus dipandang Timwas ini sebagai partner bagi mereka agar tidak terjadi pelanggaran UU. Nah, ini kenapa kita perlu silaturahim. Adapun agenda kerja secara khusus tidak ada. Karena kita tidak bekerja berdasarkan program yang mau dibikin.
Kita ini bersifat pengawasan. Kalau ada persoalan, baru kita mengaktifkan fungsi-fungsinya. Bisa menunggu laporan, bisa temuan, bisa informasi yang masuk dari berbagai sumber, kalau memang setelah kita verifikasi ternyata itu persoalan yang harus ditindaklanjuti.
Apakah lingkup kerja Timwas hanya untuk BIN atau institusi intelijen yang lain seperti BAIS TNI, intelijen kepolisian?
Kalau mengacu pada UU, Timwas ini adalah pengawas eksternal untuk BIN. Tetapi kalau kita lihat UU lebih lanjut, BIN itu selain dirinya sendiri menjalankan fungsi-fungsi intelijen, BIN juga menjalankan fungsi koordinasi pelaksanaan fungsi-fungsi intelijen, sehingga BIN itu berkoordinasi dengan intelijen strategis TNI (BAIS), intelkam Polri, kejaksaan dan yang lain lain.
Kalau misalnya ada persoalan yang dipandang perlu disikapi, ditindaklanjuti oleh Timwas Intelijen menyangkut koordinasi. Maka mungkin mungkin saja, karena masalah koordinasi. Maka Timwas akan berhubungan dengan BIN dan mitranya. Bisa dengan BAIS, Intelkam Polri, BNPT dan yang lain.
Apa pertimbangan seseorang bisa menjadi anggota Timwas?
Di UU ini anggota Timwas itu perwakilan fraksi masing-masing satu orang ditambah seluruh unsur pimpinan. Dari Komisi yang membidani intelijen. Fraksi ada 10, pimpinan komisi sekarang ada 4, jadi jumlah 14. Tapi kalau pimpinan komisi tambah 1 lagi, kan harusnya 5 jadi nanti 15.
Nah, apa yang jadi pertimbangan seseorang ditugaskan dalam tim ini. Itu memang menjadi kewenangan dan penugasan dari Fraksi masing-masing. Tetapi, ketika kami menyampaikan surat ke Fraksi, kami sudah sampaikan UU Intelijennya, kemudian peraturan DPR mengenai Timwas Intelijenya untuk dijadikan pertimbangan, sehingga nantinya Fraksi bertanggung jawab terhadap anggota yang ditugaskan masuk dalam Timwas Intelijen. Parameternya jelas sesuai UU. Kompeten atau tidak menjadi tanggung jawab Fraksi masing-masing.
Kinerja BIN sedang disorot khususnya saat bom Thamrin kemarin, apa langkah Komisi I DPR menyikapi ini?
Ya, di dalam pembahasan RUU Intelijen pada akhirnya kita menyadari betul pentingnya negara memiliki. Institusi intelijen yang kuat karena bentuk-bentuk dan potensi ancaman, tantangan itu semakin kompleks dan menjadi trans nasional saat ini. Apalagi didorong kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sekarang, cyber intelijen telah berkembang.
Jadi beberapa negara maju telah mengembangkan institusi intelijen sedemikian rupa bahkan mereka memunculkan institusi intelijen yang lebih spesifik. Jadi bukan hanya satu. Amerika badan inteijenya beberapa. Australia, badan intelijenya beberapa. Karena memang kompleksita dan bentuk ancaman dan tantangan yang ada.
UU intelijen kita baru membagi adanya BIN, Badan Intelijen TNI, Badan Intelijen Polri, kejaksaan dan lembaga pemerintah yang lain. Nah, lalu BIN diberi kewenangan menjalankan fungsi koordinasi. Jadi, BIN ini jantungnya penyelenggara intelijen di negara kita.
Kalau kita lihat kompleksitas tantangan, ancaman yang ada memang harus diakui sejak reformasi BIN ini sebagaimana TNI menjadi institusi yang agak terpinggirkan, karena persepsi atau trauma masa lalu, sehingga bicara BIN bicara TNI pada sejak reformasi sampai beberapa tahun kemudian menjadi tidak populer. Dan itu juga tercermin dari berkurangnya dukungan anggaran dari negara. Ini yang menyebabkan terjadinya kelemahan-kelemahan intelijen secara sistemik sejak reformasi.
Sekarang orang baru pada sadar, misalnya, ternyata TNI alutsistanya sudah tua-tua, sebentar-sebentar pesawatnya jatuh, kapalnya tenggelam dan seterusnya. BIN mengalami hal yang sama. Ternyata SDM nya sudah semakin berkurang, kompetensi SDMnya sudah mulai tidak cocok dengan perkembangan zaman. Ini karena efek psikologis peralihan masa Orba ke Orde Reformasi. Tapi, dengan adanya UU Intelijen, ini ada amanat untuk kita memoderenisasi BIN.
Nah, apakah dalam perjalanan 4 tahun UU Intelijen, BIN sudah menjadi institusi tangguh dan profesional? Saya katakan belum. Belum. Tapi saya yakin mereka sudah bekerja secara maksimal dengan tugas pokok, fungsi dengan keterbatasan yang mereka miliki. Jadi kalau masih terjadi kasus-kasus terorisme ya nggak usah di Indonesia, di negara-negara maju di Eropa bahkan Amerika masih juga kecolongan.
Ini perlu kita cermati terus apakah kasus-kasus terorisme, separatisme yang masih terjadi. Sabotase dan yang lain-lain ini, terkait dengan kelemahan-kelemahan dari sisi operasional BIN atau ini ada kaitan dengan belum efektifnya fungsi koordinasi antar penyelenggara intelijen.
Apakah Anda setuju jika intelijen kita disebut gagal, bobol, atau kecolongan, dalam peristiwa Thamrin itu?
Sebenarnya kalau lihat UU dan ini praktik di seluruh negara yang namanya Badan Intelijen Negara itu tugasnya adalah melakukan deteksi dini dan kemudian melakukan peringatan dini. Dan dua hal ini dilakukan dengan adanya penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan.
Memang, kalau kita lihat BIN juga melakukan pengamanan yang dimaknai dalam UU mencegah agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan negara. Ketika ada kejadian dan BIN sudah punya informasi awal. Ya tidak bisa dihindari orang mengatakan BIN kecolongan, tidak bisa dihindari. Tetapi fungsi pengamanan agar tidak terjadi tindakan yang merugikan masyarakat luas dan negara.
Ini tidak bisa disandarkan pada BIN sendiri, kan ada lembaga yang fungsi di sektor keamanan seperti kepolisian. Terkait pertahanan negara ada TNI. Dan TNI dalam UU TNI bisa melakukan perbantuan kepada Polri. Jadi ada fungsi untuk menjamin keamanan tetapi tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab BIN. Makanya ketika saya mencermati bom Thamrin yang menyatakan BIN kecolongan ya di satu sisi memang tak bisa dihindari penilaian itu. Tetapi bukan 100 persen kecolongan BIN.
Apakah informasi dari BIN misalnya sudah ada deteksi dini sudah disampaikan pada institusi penegak hukum, pada Polri? Apakah Polri menindak lanjutinya? Apakah Polri melihat indikasi ancaman itu? Apakah Polri sudah berkoordinasi dengan TNI kalau diperlukan perbantuan dan seterusnya. Ini yang harus diperiksa.
Apa sebaiknya yang dilakukan intelijen kita agar peristiwa itu tidak terulang?
Kalau menurut saya begini. Kalau bicara penanggulangan terorisme kita harus bicara kebijakan negara. Dan bicara kebijakan negara nanti stakeholdernya bukan satu, bukan hanya intelijen, tapi semua yang terkait.
Kalau kita bicara terorisme sebenarnya kita tahu ada faktor atau variabel dalam negeri atau variabel luar negeri, ini sekarang saling terkait. Ada interspacenya, ada korelasinya, tetapi bila kita coba batasi dulu variabel dalam negeri. Sebenarnya udah sejak lama, institusi intelijen keamanan, pertahanan ini, sudah punya potret data yang relatif lengkap.
Apakah kelompok-kelompok yang terindikasi menganut paham radikal, punya potensi melakukan terorisme mereka sudah punya. Dan data-data intelijen luar negeri pun relatif sama. Karena terjadi pertukaran informasi intelijen dalam bentuk kerjasama.
Bukan hanya kelompok aktor-aktor siapa mereka sudah punya data, baik aktor lama, aktor lama yang sudah menjalani proses hukum sampai aktor baru. Bagaimana keterkaitan antar aktor mereka sebenarnya punya juga datanya. Kemudian pola rekrutmenya bagaimana, basis rekrutmenya dimana mereka sudah punya juga datanya. Kemudian sumber pendanaan, pola-pola pencarian danyanya mereka relatif sudah tahu.
Intelijen, Polri, TNI relatif sudah tahu. Misalkan pola perampokan bank, transfer dari luar. Itu hal yang menjadi pola lama. Kemudian model komunikasi, pola hubungan dengan variabel di luar mereka semua sudah tahu.
Jadi ibarat kita mau menyelesaikan masalah, sebagian masalah itu yaitu memahami masalah itu. Ini sudah selesai. Udah tahu ini semua jelas, tinggal setengah persoalanya. Setengah persoalan lainya tinggal diselesaikan. Kemudian kan muncul pertanyaan kalau sudah tahu kenapa nggak selesai-selesai udah bertahun-tahun?
Sementara instrumen untuk penanggulangannya sudah lengkap. Instrumennya, pertama, UU sudah banyak instrumen ini dari UU Terorisme sampai KUHP. Pencucian uang ada. Perangkat UU lengkap.
Kedua, perangkat institusi lengkap, BIN ada, BAIS ada, intelkam Polri ada, BNPT ada. Densus ada. Instrumen kelembagaan ada, ibaratnya pasukan sudah lengkap. Semua angkatan ada.
Ketiga, instrumen pendanaan coba akumulasi berapa anggaran BIN, berapa anggaran Polri untuk terorisme, berapa anggaran TNI untuk terorime, berapa anggaran BNPT, mungkin Kemendagri juga punya anggaran untuk deradikalisasi. Coba kita himpun semua sama besar kok dari sisi anggaran.
Dari sisi kerja sama internasional, negara mana kita belum kerja sama soal terorisme. Amerika, Australia, Singapura, negara-negara Timur Tengah kita lakukan itu semua.
Aparat yang diterjunkan ke lapangan termasuk SDM intelijen, agen-agen intelijen banyak. Kemudian informan intelijennya juga banyak apakah di BIN, TNI, BNPT.
Contoh kelompok Santoso di Poso, baik polisi, intelijen jelas memberi informasi. Santoso kelompoknya berapa orang? 30 orang. Senjatanya berapa? Kurang lebih 10-15 pucuk. Pertanyaanya? Lho kok kenapa nggak kelar-kelar. Sementara semua sudah lengkap. Muncul pertanyaan publik kenapa nggak selesai-selesai?
Kemudian kelompok bom Thamrin polisi mengatakan pelakunya adalah orang yang sudah kita kenal, sudah pernah jadi narapidana dan dibebaskan. Ya artinya mereka sudah tahu semua dan kelompok kecil. Bukti nyata kemampuan mereka beraksi pun juga kecil. Bomnya kan bom kecil. Kenapa nggak selesai-selesai? Kuncinya satu, kebijakan negara. Negara punya kebijakan jelas nggak?
Kalau saya Presiden, saya akan katakan. Saya perintahkan semua instrumen yang dimiliki negara untuk bekerja menuntaskan kelompok-kelompok terorisme ini dalam waktu lima tahun.
Harus jelaskan, kerja harus terukur, pemberantasan harus terukur dong. Jangan sampai uang rakyat dipakai terus tiap tahun tapi tidak terukur. Itu pertama.
Kedua, diperjelas sinkronisasi di lapangan. Kalau ada aturan yang harus disinkronkan ya sinkronkan. Kalau ada fungsi yang harus disinkronkan ya sinkronkan. Sehingga semua bergerak sebagai satu kesatuan dengan satu tujuan. Jangan yang ini kerja sendiri, yang ini kerja sendiri. Itu ibarat saya dulu orang kampung metang layangan.
Metang layangan itu anak-anak ngejar layangan putus, semua bawa galah panjang di ujungnya pakai ranting. Semua punya target ngejar layangan, bukan kerja sama tapi dulu-duluan, yang terjadi saat yang satu dapat yang lain berusaha gimana caranya supaya malah nggak dapet. Saling geprak, yang ada layangan sobek dan akhirnya semua nggak dapet. Jadi pemberantasan terorisme dengan semua instrumen yang ada jangan kaya anak-anak nguber layangan.
Apakah menurut Anda Kepala BIN perlu mundur sebagai bentuk pertanggung jawaban moral akibat kasus itu? Atau seharusnya pejabat yang lain? Kenapa?
Sama kaya metang layangan tadi, kalau bicara teror bom Thamrin siapa yang mau disalahin? Nggak bisa salah satunya. 'Oh gue udah dapat layanganya, lo sobekin layangannya. Enggak, gue dijorokin orang.' Siapa yang mau diminta pertanggungjawaban kalau polanya kaya metang layangan?
Jadi menurut saya, Kepala BIN di mana tanggung jawabnya? Oke ada kasus teror ini. Intelijen punya informasi sebelumnya nggak? Bisa deteksi nggak? Memberikan peringatan dini nggak? Ia melakukan, dipenuhi tugasnya.
Bisa melakukan pengamanan nggak? Ya enggak karena kejadian. Fungsi pengamanan itu bukan sendiri (tapi) terkait institusi yang lain. Nah kita harus cek institusi yang lain.
Yang terpenting adalah baik BIN, baik Polri, TNI, BNPT dan yang lain kan institusi pemerintah. Jadi, bila diminta siapa yang bertanggung jawab? Ya pemerintah yang harus bertanggung jawab. Bahwa itu salah satu instrumen yang melakukan kesalahan atau kelemahan, itu persoalan lain. Tapi ini ya harus pemerintah yang tanggung jawab.
Pertanyaan yang muncul, apakah pemerintah punya direction yang jelas nggak? Ini yang belum terjawab dan akan kami tanyakan.
Belum lama Kepala BIN Sutiyoso meminta penambahan wewenang, yaitu penangkapan dan penahanan. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya khawatir sebagaimana kultur masyarakat kita Indonesia ini, reaktif terhadap suatu situasi. Bagus, reaktif itu bagus. Artinya kita masih hidup. Kalau tidak bereaksi kita kan sudah mati. Cuma kalau reaktif itu jadi sifat, jadi kebiasaan, jadi budaya, itu nggak bagus. Kita tidak bekerja secara sistemik.
Sekarang tiba-tiba misalnya karena kasus bom Thamrin, BIN minta penambahan kewenangan penangkapan, penahanan. Menkopolhukam mengatakan perlu revisi sejumlah peraturan perundang-undangan tentang penanganan terorisme. Okelah, sekarang saya mau tanya dulu. Ini ide-ide sektoral, atau ide-ide yang sudah dikonsolidasi?
Artinya pemerintah sudah mengumpulkan semua pihak, duduk, evaluasi regulasinya, evaluasi kinerja, pelaksanaan lapangan, 'Oh iya, memang ini masalahnya di regulasinya.' Nah, kalau masalah diregulasi, kita perlu revisi. Revisinya begini. Bagian mana, di UU yang mana, satu kesatuan. Itu namanya proses yang sudah dikonsolidasi. Apakah ide ini ide yang sudah dikonsolidasi, atau ini baru ide-ide reaktif dari masing-masing sektor. Kalau ide-ide reaktif masing-masing sektor ya tidak akan selesai juga.
Contoh, UU Intelijen memang mengatur, bahwa intelijen punya kewenangan menggali informasi terhadap orang atau pihak yang diduga misalnya terlibat atau berpotensi melakukan tindakan terorisme, separatisme, dan lain-lain. Tapi penggalian informasi-informasi bahasa gampangnya interogasi ya, penggalian informasi itu dilakukan tanpa penangkapan dan atau penahanan. Tapi ada ayat lainnya, intelijen bekerja sama dengan lembaga penegak hukum untuk melakukan penangkapan dan penahanan dalam rangka penggalian informasi.
Jadi kalau saya agen intelijen, saya mau interogasi orang karena ada indikasi, saya tidak boleh nangkap. Kalau saya mau menangkap orang ini, untuk bisa interogasi, saya harus lapor dulu ke polisi. Mau Densus, mau intel, atau siapa itu urusan lain. 'Tolong polisi tangkap.'
Ketika polisi sudah tangkap, polisi bisa pinjamkan ke intelijen untuk diinterogasi dulu. Kalau selesai balikin ke polisi. Kalau terbukti, polisi bisa lanjutkan penahanan, kalau tidak terbukti, bisa dilepas. Itu aturannya begitu. Sekarang kalau intelijen meminta tambahan kewenangan itu, pertanyaannya, emang aturan ini nggak cukup? Emang aturan ini ada kendala untuk dilaksanakan? Kita cek dulu dong.
Kenapa kita tidak boleh reaktif, terus 'Oh iyalah, daripada ntar ada bom lagi, udah kasih aja kewenangan BIN, nahan, nangkap. Pertanyaannya, persoalannya begini. Intelijen ini bukan lembaga projustisia. Bukan lembaga penegak hukum. operasi intelijen itu tertutup. Jadi kalau BIN atau intelijen nangkap orang itu tidak pakai diumumin dan nggak ada hukuma acaranya. Kan sifat intelijen tertutup.
Tapi kalau polisi, dia itu lembaga projustisia, lembaga penegak hukum. Menangkap orang itu ada SOP-nya, ada hukum acaranya, dan dia terbuka. Sehingga kalau polisi mau menangkap orang nggak boleh diam-diam, jelas. Karena orang ini punya hak hukum juga kan, gitu.
Nah, sekarang gimana? Publik gimana? Apa mau memberikan tambahan kewenangan itu, atau pemerintah mau mengusulkan rancangan UU itu ya silakan, tapi argumentasinya diperkuat.
Ketakutan pelanggaran HAM seperti masa lalu?
Ya saya belum tahu karena kan kalau pemerintah sudah punya usulan revisi UU-nya diajukan ke DPR kan DPR bisa lakukan konsultasi publik. Kita kan belum tahu karena usulan pemerintah ini kita juga belum tahu apa usulannya.
Seperti Komnas HAM dan lainnya itu kan menolak, trauma-trauma masa lalu yang belum terselesaikan?
Ya kalau saya sih begini, kalau misalnya persoalan koordinasi itu persoalan yang tidak akan pernah bisa diselesaikan di Republik ini, koordinasi nih ya, ya apa boleh buat. Kita bisa kasih kewenangan itu, tapi bagaimana penggunaan kewenangan itu diatur agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan juga. Sehingga tadi, melanggar hukum, melangggar hak asasi manusia, melanggar nilai-nilai demokrasi. Ini kan sesuatu yang harus kita diskusikan. Tapi pertanyaannya, masa iya sih, koordinasi ini menjadi persoalan yang tidak bisa diselesaikan di Republik ini. Kan begitu, ya kan?
Ini contoh lagi. Kenapa kelompok Santoso tidak bisa diselesaikan? Karena kelompok Santoso bergerak di hutan-hutan. Terus ada pandangan. Ya polisi memang tidak disiapkan untuk operasi-operasi di hutan. Yang memang disiapkan, dididik, untuk itu kan TNI. Tapi ini bukan tugas TNI. Tugas TNI perang.
Kita lihat di UU TNI. Itu ada, ada tugas operasi selain perang, operasi militer selain perang salah satunya adalah terorisme, juga ada separatisme. Tetapi penglibatan TNI untuk melaksanakan operasi militer selain perang, harus prinsipnya adalah prinsip perbantuan, artinya membantu polisi dan melalui keputusan politik negara. Negara itu siapa? Representasinya kan Presiden. Kepala Negara kan Presiden. Ini kan bisa saja. Presiden karena Santosa gak selesai-selesai, Presiden bikin putusan libatkan TNI ke polisi untuk penanggulangan masalah Santoso. Jelas, baru banyak yang dilibatkan, sampai kapan, targetnya apa. Jelas itu kan. Nah, inikan yang tidak terjadi. Kenapa sih susah banget polisi sama TNI kerja sama? Yang ada malah berantem, mana tuh kejadian. Terbaru di Sulawesi.
Ada wacana kadang konflik (jaringan teroris atau separatisme) itu dipelihara, untuk kepentingan tertentu?
Ya saya nggak tahulah itu, konflik. Yang jelas kan ada muncul teori konspirasi. Kenapa teori konspirasi itu muncul? Teori ini menjelaskan tentang keterlibatan tangan-tangan dalam negara di dalam menciptakan konflik, memelihara konflik, menggunakan konflik untuk kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang ada di dalam negara.
Dia bisa jadi bukan kebijakan negara. Mungkin kebijakan pihak-pihak yang ada di dalam negara, atau tindakan pihak-pihak yang ada di dalam negara. Setelah era Orde Baru selesai, kan banyak buku hasil penelitian, kajian, tentang teori-teori konspirasi. Dan di situ juga kita lihat kasus-kasus 'Oh ternyata ada kelompok jihad Islam,' ini memang diciptakan.
Jadi teorinya ada, teori yang menciptakan orang Barat, dalam praktik di negara-negara Eropa, Amerika, itu terjadi, di negara kita juga ternyata pernah terjadi. Jadi kalau sekarang muncul pikiran-pikiran, dugaan begitu ya menurut saya sih ya susah juga kita bantah. Soal bener nggaknya ya wallahualam bi shawab.
NII “KW”sekian itu bentukan?
Ya sering kali kan begini. Bisa jadi satu kejahatan dan pelaku kejahatan itu memang ada di masyaraat tapi kan ada yang kemudian kejahatan itu dibasmi tuntas, ada yang memang setengahnya dibasmi, setengahnya ya mungkin ada kepentingan-kepentingan khusus ya dibiarkan dulu. Ya sama kayak ginilah. Muncul ISIS. Pengakuan Hillary Clinton, 'Kita yang bertanggung jawab, Amerika ini, terhadap ISIS, kita yang melahirkan. Kita yang mendanai dan sekarang kita yang menjadi musuh mereka.' Ini kan teori konspirasi. Itu kejadian-kejadian yang sering berulang lah itu.
Apakah perlu ada revisi UU Intelijen?
Kalau menurut saya sih, karena ini adalah usulan pemerintah, posisi DPR ya menunggu. Kan pemerintah bisa mengusulkan perubahan UU itu ke DPR, dan pemerintah juga selain mengusulkan revisi melalui mekanisme yang normal kan bisa kalau dianggap urgen, mendesak, untuk kepentingan negara bisa mengeluarkan Perppu juga.
Bagaimana dengan UU Intelijen saat ini, apakah sudah cukup baik khususnya dalam penanganan keamanan dan pertahanan negara?
Menurut saya masih cukup memadai sepanjang fungsi-fungsi koordinasi itu berjalan dengan baik. Poin-poin yang disampaikan pemerintah itu tidak perlu? Polri kasih masukan, TNI juga ke Menkopolhukam?
Kalau saya ditanya, pribadi saya katakan, UU itu masih memadai sepanjang fungsi-fungsi koordinasi itu berjalan dengan baik.
Artinya sebetulnya revisi ini tidak cukup diperlukan ya, karena problemnya di koordinasi ini?
Ya tapi saya tidak mau menutup pintu 100 persen ya. Saya katakan, kalau koordinasi itu menjadi soal yang tidak akan pernah bisa dipecahkan oleh Republik ini, ya apa boleh buat. Saya tidak mau menutup pintu rapat, 'Ini saya buang ke laut' nggak.
BIN berhasil merangkul kelompok separatis, salah satunya Din Minimi di Aceh, namun salah satu keinginan mereka adanya amnesti. Bagaimana Anda menyikapi soal amnesti ini?
Ya saya berharap bahwa pemerintah bisa sesegera mungkin mengajukan permintaan pertimbangan pemberian amnesti terhadap Din Minimi dan anggotanya yang menyerahkan diri sesegera mungkin ke DPR. Kenapa? Karena kesepakatan BIN dengan kelompok Din Minimi soal amnesti ini, ini kan dilakukan oleh Badan Intelijen Negara.
Saya dalam pandangan awam, ketika Badan Inteljen Negara ini bicara dengan Din Minimi dan bernegosiasi, itu memang mewakili kepentingan negara khususnya pemerintah. Jadi Presiden tahu mestinya. Menkopolhukam tahu mestinya. Semua stakeholder di bawah Kemenkopolhukam tahu mestinya. Gitu kan. Karena mereka kan pemerintah nih.
Nah, menjadi aneh kalau kemudian BIN sudah bernegosiasi, mereka sudah turun Din Minimi, dan menyerahkan senjata terus misalnya surat dari Presiden ke DPR nggak kunjung datang. Kan orang jadi bertanya, ada apa? Apakah unsur-unsur dalam pemerintah masih belum satu kata, gitu kan.
Saya sih berharap itu tidak terjadi. Jadi segera. Bahwa nanti DPR nanti memberikan pertimbangan macam-macam, ya namanya 10 fraksi. Kan kita bukan satu partai. Ya kita lihat aja. Mudah-mudahan juga kalau penjelasannya clear, fraksi-fraksi bisa memberikan pendapat yang relatif sama.
Ada ketakutan ketika amnesti tidak diberikan mereka balik lagi ke hutan dan angkat senjata. Kedua, bila amnesti terlalu mudah diberikan itu memupuk separatisme juga?
Kalau saya, dengan asusmi bahwa yang dilakukan oleh BIN dalam kasus Din Minimi itu adalah berangkat dari kebijakan pemerintah, artinya kebijakan yang seiya sekata dengan semua yang ada di dalamnya, itu bisa menjadi pola-pola penyelesaian untuk kasus separatisme.
Termasuk OPM dan sebagainya?
Saya bahkan mengatakan kepada Pak Sutiyoso, saya pikir pola Din Minimi bisa juga diterapkan untuk kasus separatisme di Papua. Tapi asumsinya begitu ya, bahwa ini memang kebijakan pemerintah.
Jadi dengan asumsi ini kebijakan pemerintah, kalau sampai Presiden tidak menyampaikan surat pemberian pertimbangan amnesti oleh DPR, ini ada persoalan yang lebih serius. Nanti Din Minimi merasa 'Ah tepu-tepu itu pemerintah. Orang Jawa tepu kita lagi.' Ya kan? Itu kan begitu. Pemerintah tipu.
Pemerintah itu identik dengan orang Jawa. Orang Jawa tipu. Udah gitu namanya Sutiyoso lagi kan. Presidennya, Joko Widodo. Soal dia mau balik ke hutan ya senjatanya dipegang sama negara.
Tapi bagaimana dengan OPM? Dia akan lihat. 'Kita orang jangan kena tipu lagi ya. Seperti itu Din Minimi.' Matilah kita kan. Ya kan. 'Jangan kita orang bernegosiasi dengan pemerintah Jakarta, kena tipu kita orang.' Mati nggak? Apa pandangan dunia? Pemerintah Indonesia gimana, kok ternyata mereka melakukan suatu operasi intelijen tapi tidak satu menyeluruh.
Bayangin lah coba Menlu, para Dubes ditanyain itu, kira-kira mereka akan gimana tuh, gagap menjawabnya kan? Karena kasus ini sudah diekspos. Bukan hanya media nasional. Kalau DPR yang teriak tidak setuju itu persoalan lain, ini kan lain kamar. Ini kan satu kamar.
Sebaiknya bagaimana pemerintah?
Itu yang tadi saya katakan. Kalau kita kembali kepada penanggulangan terorisme, kita jangan reaktif. Bedah dululah, evaluasi dulu. Ini persoalannya ada di mana? Ya kan. BIN udah lakukan deteksi dini, peringatan dini, kejadian disalahin. BIN nangkap orang, orang mau menyerah, disalahin. Inikan lucu jadinya. BIN gimana sih ini. Coba lihat dari kejauhan.
Harus ada ketegasan leadership ya, kalau sudah amnesti segera lakukan?
Jangan sampai nanti, misalnya, BIN gitu ya karena capek gitu ngurusin koordinasi. Udah minta tambahan kewenangan nahan, minta tambahan kewenangan mengadili, minta tambahan kewenangan bisa memberikan amnesti, maksudnya biar selesai di satu pintulah. Lho, itu terjadi di Republik ini, dalam konteks pemberantasan korupsi. Ya kan.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, kita memunculkan satu institusi di mana kewenangan beberapa pihak yang mestinya bisa dikoordinasikan, kan kita ambil, kita gabung (dalam satu institusi). Ya kan. Intelijen KPK ada, penegakan hukumnya ada, sampai pengadilannya ada. Tapi pertanyaannya, ketika kita munculkan lembaga yang semua kewenangan, kecuali kewenangan Tuhan, dia punya, selesai nggak urusan?
Dan yang kedua, ada problem nggak kemudian dengan institusi penegak hukum yang lain? (konflik dengan Polri), iya kan. Dan itu KPK-nya nggak merasa tunduk pada Presiden karena dia lembaga independen. Matilah kita.
Jadi itu yang saya katakan. Makanya saya katakan, sudahlah, pemerintah duduk bersama, kaji dulu secara komprehensif, nggak usah reaktif. DPR juga begitu, lakukan kajian sama-sama, jadi kita coba menyelesaikan masalah itu dengan akal sehat, tenang.
Mengenai persoalan WNI atau TKI ilegal di luar negeri? Biasanya mereka dideportasi atau diusir dari negeri orang. Apa solusi DPR untuk mereka?
Persoalan TKI kita di luar negeri ini harus kita pahami dulu potret persoalannya secara komprehensif dari hulu ke hilir. Penyelesaian secara sektoral nggak akan tuntas. Sekarang kita punya sekitar hampir 4 juta migran worker kita di luar negeri dan mayoritasnya adalah orang-orang yang bekerja di sektor informal. Bukan white colour, bukan juga blue colours, karena kalau blue colours itu kan dia masih sektor formal. Pembantu rumah tangga inikan sektor informal semua.
Kenapa ada sekitar 4 juta TKI kita di luar negeri, ini lebih karena tidak tersedianya lapangan kerja yang cukup di dalam negeri. Saya sudah mengunjungi beberapa penampungan TKI. Para TKI kita yang lari dari..., saya tanya, kenapa sih kamu kerja di luar negeri? Toh, gaji juga nggak seberapa. Kita, kalau disuruh milih maunya nggak keluar negeri Pak, kita nggak ninggalin keluarga, anak, tapi ya tuntutan ekonomi. Itu satu. Jadi akar persoalannya di situ.
Yang kedua, ketika mereka berangkat, sudah pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja buat mereka, mereka ini kemudian menjadi objek trafficking, objek perdagangan manusia, dan itu sistematis sudah. Ya orang kampung bisa dapat paspor, KTP aja dia nggak punya, dokumen dia nggak punya. Tapi dia bisa dapatkan itu.
Jadi, ini ada persoalan domestik, ada potensi orang-orang yang termarginalkan secara ekonomi, lalu di tengah ini muncul pihak-pihak yang mengambil keuntungan ini. Karena, di negara lain ada orang-orang yang butuh. Ini yang terjadi.
Negara punya pengaturan, ada Kemenaker, ada BNP2TKI, ada imigrasi dan seterusnya, ada KBRI di negara sana. Tapi mekanisme kelembagaan negara, pemerintah, ini seperti kalah dengan tadi, jaringan non negara ini, jaringan non pemerintah, sindikat-sindikat (perdagangan manusia), kalah. Kemenaker moratorium, ini jalan masih kok. Saya nggak ngerti. Pertanyaannya adalah kenapa kok yang ini nih, okelah nggak usah menyelesaikan persoalan ekonomi di sini, kenapa ini nggak bisa nyetop ini, nggak bisa motong ini. Itu kan pertanyaan besar juga.
Ada orang dalam?
Dulu saya pernah mengundang Komisi IX, rapat bersama dengan Komisi I, bicara soal keberadaan TKI luar negeri, nggak pernah berhasil rapatnya. Saya nggak ngerti pokoknya nggak pernah kesampaian rapatnya. Ini masalah terus jalan pemerintah seperti nggak berdaya ngadepin masalah sama sindikat ini.
Oke, secara ekonomi mereka dianggap penghasil devisa puluhan triliun tiap tahun. Alhamdulilah. Tapi berapa besar harga yang harus kita bayar untuk itu?
Satu, terkait dengan citra RI di luar negeri. Saya bilang malu kita. Orang-orang Timur Tengah respek dengan yang namanya orang Malaysia. Jadi kalau ada orang Indonesia ke Timur Tengah mau ke dubai, Saudi, atau kemana, tampangnya agak keren gitu, (mereka menyapa) 'Malaysia, Malaysia, ayo beli, beli Malaysia,' bagus-bagus di mall atau di apa gitu. Tapi kalau kita dateng tampang agak lusuh. 'Indonesia, Indonesia, murah, murah.' Gitu, malu kita. Dan di Malaysia sendiri saya melihat ada pergeseran cara pandang. Persepsi terhadap orang Indonesia. Itu dari sisi nama baik.
Kedua, dari sisi diplomasi, ini jadi masalah para diplomat kita di negara tujuan TKI. Dia dateng pake jas, mobil mercy mewah, karena dia kan diplomat, tapi orang tahu ini orang dari negara TKI. Terus kita mau berperan menyelesaikan konflik antar negara-negara Timur Tengah itu. Kira-kira jawaban mereka gini, 'Siapa elo?' Dan itu pernah dikeluhkan oleh para Dubes. Mereka sampaikan saat rapat dengan Komisi I.
Ketiga, kasus kekerasan terhadap TKI ini resiko yang lain. Ini seperti PRT di Indonesia, memang nggak jelas hukumnya. Nggak ada kontraknya. Kita aja kadang sebel juga sama pembantu di rumah. Misal di suruh A nggak dikerjain, ngepel nggak bersih. Itu yang sama-sama orang kita, bahasanya bahasa kita. Sesebel-sebelnya kita kan paling ngedumel doang.
Kebayang nggak sekarang mereka dari kampung, bahasa Indonesia aja nggak lancar kerja di luar negeri. Bahasa beda. Budaya beda. Teknologi juga beda. Di sini biasa masak pakai kayu di sana masak harus pake kompor listrik, elektrik, segala macem, belum tentu bisa. Mereka cuma pelatihan dua minggu oleh agen-agen mafia itu. Nggak cukup pelatihan itu. Hingga saya membayangkan kalau terjadi kekerasan, memang sulit dihindari.
Keempat, cost lain yang harus dibayar, mereka jadi TKI ninggalin anak dan keluarga. Saya kebetulan dapil Indramayu-Cirebon. Salah satu penyumbang TKI terbesar. Mereka itu kasihan. Mereka kerja di sana, kirim uang ke suaminya di sini. Uangnya dipakai kawin lagi sama suaminya di sini. Kasihan sekali. Anak nggak ada ibu. Tumbuh secara tidak baik, akhirnya pergaulan bebas dan macem-macem. Anak mendingan nggak ada bapaknya ketimbang nggak ada ibunya. Ini sosial cost, political cost yang menurut saya nggak pernah kita komparasi dengan ekonomic benefit.
Nah, ini perlu policy negara. Lagi-lagi polesi negara. Kalau hanya 'Oh itu urusan Kemenaker, urusan BNP2TKI' ya tetep nggak akan selesai wong masalahnya gede harus diselesaikan dengan kewenangan institusi yang terbatas ya nggak akan selesai masalahnya.
Makanya kalau tanya orang Kemenlu para Dubes, udah lah stop aja pengiriman, yang udah ada pulang pulangin aja. Mereka maunya begitu.
Bagaimana dengan upaya penambahan anggaran. Misalnya agar Kedubes kita bisa menampung para WNI/TKI ilegal yang dideportasi di luar negeri?
Penambahan anggaran nggak akan selesaikan masalah. Contoh beberapa KBRI kita terutama di Saudi. Akhirnya harus mengalokasikan anggaran Kemenlunya. Ketika ada TKI over stayer, akhirnya harus ada realokasi anggaran di Kemenlu untuk memperbesar anggaran untuk membiayai overtayer ini dan mengurusi mereka. Tapi kasus overstayer akan terjadi lagi tahun berikutnya? Kenyataanya terjadi lagi. Wong mafia-mafia ini masih jalan kok.
Ketika orang-orang ini udah sampai di Saudi akan diurus nggak visanya sama mereka? Enggak. Justru mereka cenderung dibiarkan agar visanya habis. Karena kalau diurus karena, pertama, ada biaya lagi. Kedua, bisa dipulangin ketahuan kalau mereka kirim orang saat moratorium. Ketiga, majikan makin seneng dong, orang ini kan nggak bisa lari kemana-mana, bisa disuruh kerja terus, suka-suka.
Kelima, kasus pidana hukuman mati, diat. Dulu awalnya diat diselesaikan mereka. Lama-lama banyak kasus muncul ke media. Seperti orang Indramayu itu, saya akhirnya advokasi. Sampai akhirnya negara membayar Rp4,5 miliar. Sekarang mafia-mafia dan calo di sana udah tahu kalau diat yang bayar pemerintah. Tuntutan diat sekarang udah naik lagi Rp7,5 sampai terakhir ada yang minta Rp11 miliar. Yang mau bayar siapa coba. Jadi ini bukan soal policy anggaran dinaikan atau tidak. Selama mafianya nggak diberesin.
Saya sih setuju kalau Kemenlu menemukan WNI over satyer di sana daripada dihukum di sana dibantu pemulangannya dan segala macem. Ya kan keluar anggaran. Tapi kalau setiap tahun seperti itu gimana? Kan capek.
Coba Filipin di dubai, di Bandara dan toko-toko di sana, dipenuhi tenaga kerja dari Filipina dan Pakistan. Ke hotel-hotel juga sama pekerjanya. Ada juga dari negara-negara eks Timur. Toko-koko brandit itu yang kerja orang Filipin. Filipin bisa kirim tenaga kerja profesional, legal, ada UU yang megatur mereka dan itu tidak merusak nama baik negaranya, tidak juga menjadi persoalan para diplomatnya. Dan juga tidak menjadi permasalahan sosial di negaranya, karena mereka bisa bawa keluarganya ke sana buat liburan karena gajinya cukup. Kelebihan Filipin dari kita salah satunya fasih bahasa Inggris dan pendidikan minimal mereka SMA. Itu saja. (umi)