Pemerintah Diminta Tegas Atur OTT Sejenis Netflix
- Reuters
VIVA.co.id – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana mengeluarkan aturan soal layanan Over-the-Top (OTT) melalu Peraturan Menteri (Permen). Permen tersebut akan diterbitkan pada awal Maret 2016 ini.
Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, menanggapi soal Permen OTT itu. Menurutnya, aturan tersebut harus secara tegas dan lugas mengatur dengan tepat terhadap OTT, terlebih lagi aturan serupa sudah ada namun baru berkaitan dengan konten.
"Aturan OTT itu sudah ada, seperti di Undang-Undang Penyiaran, Perfilman, dan Permen 21 tahun 2013 tentang konten, yang belum diatur itu soal aplikasinya. Jadi, definisi OTT tersebut harus jelas," ujar Nonot kepada VIVA.co.id melalui sambungan telpon, Jumat 5 Februari 2016.
Nonot mengungkapkan perusahaan teknologi yang bergerak di sektor OTT memang harus diperketat. Sebab, kebanyakan mereka meraup untung di pasar Indonesia meski belum mendirikan perusahaan berbadan hukum di Tanah Air. Seperti halnya Netflix yang belum punya status Badan Usaha Tetap (BUT) tapi layanannya sudah masuk ke Indonesia.
"Banyak OTT yang masuk tanpa permisi. Google pada mulanya masuk sebagai search engine, sekarang buka toko online (Play Store), terus film (Netflix) yang langsung ke pelanggan. Seakan-akan kita tidak punya pemerintah, itu kan tidak sopan," ucap dia.
Mengenai Netflix yang diblokir PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), ia mengapresiasinya. Dari sudut pandang Nonot, langkah yang diambil Telkom itu bukan hanya melindungi konsumen tetapi juga agar Netflix mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia.
"Langkah Telkom itu sudah betul sekali. Langkah Telkom sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia," kata Nonot yang pernah menjabat sebagai anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, di situ mewajibkan lembaga penyiaran berlangganan dan pelaku usaha kegiatan pertunjukkan film melalui jaringan teknologi informatika dengan harus berbadan hukum serta memperoleh izin pemerintah. Selain itu juga, pasal 41 Undang-Undang No. 33 tahun 2009 mempertegas kewajiban pemerintah untuk mencegah masuknya film impor yang bertentangan nilai-nilai kesusilaan.
"Harusnya pemerintah sudah bisa bertindak terhadap Netflix. Mereka harus sadar sebagai pemerintah. Kalau Netflix punya status badan hukum, kan itu juga membuka lapangan kerja," kata Nonot.
Diketahui, Netflix masuk ke Indonesia pada 7 Januari 2016, dengan menggratiskan layanannya hingga satu bulan sampai 7 Februari 2016. Perusahaan asal Amerika Serikat itu memasang tarif bervariasi antara Rp109 ribu sampai Rp170 ribu per bulannya.
Dirasa 'menjajah' Indonesia, masuk tanpa permisi, hingga belumnya Netflix memiliki status badan hukum membuat Telkom mengambil keputusan untuk memblokirnya. Pemutusan akses internet ke layanan video on demand ini sebagai cara Telkom untuk mendesak Netflix memiliki identitas diri sebagai BUT atau menjalin kerjasama dengan operator lokal.
"Langkah yang kami ambil dilatarbelakangi untuk melakukan perlindungan dan kepastian layanan kepada masyarakat Indonesia," kata Vice President Corporate Communication Telkom, Arif Prabowo beberapa waktu lalu. (ren)