Thorium Dilirik untuk Alternatif Pembangkit Listrik
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) merencanakan untuk memanfaatkan kekayaan thorium yang ada di Tanah Air, sebagai alternatif baru untuk bahan baku pembangkit listrik. Di kalangan masyarakat umum, thorium dipopulerkan dengan istilah Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT).
Seperti diketahui, kini Batan tengah menjajaki pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Provinsi Bangka Belitung. Menurut rencana, Batan akan menggunakan bahan bakar uranium untuk PLTN tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketika uranium hangat diperbincangkan, thorium pun dianggap sebagai sumber daya energi alternatif untuk pembangkit listrik. Maka, untuk saat ini, wacana menggandengkan penggunaan thorium dan uranium bagi PLTN pun muncul.
"Di Indonesia, dan berbagai negara belahan dunia, kandungan thorium lebih banyak tiga sampai empat kali dibanding uranium. Hal ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa thorium lebih mempunyai prospek di masa depan," ujar Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto saat jumpa pers di Gedung Batan, Jakarta Selatan, Kamis 4 Februari 2016.
Djarot mengungkapkan, berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh Batan, keberadaan thorium di Indonesia sekitar 121.500 ton di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Pelitung. Namun, untuk daerah lain belum dilakukan riset, karena keterbatasan biaya.
"Daerah yang ditemukan unsur thorium adalah di Tanah Jarang (Bangka Belitung), seperti mengandung unsur monasit," ujarnya.
Beda dengan Uranium
Lalu, apa perbedaannya dengan uranium? Djarot menjelaskan, uranium adalah unsur dengan nomor atom 92 dan nomor massa 235, sedangkan thorium memiliki nomor atom 90 dan nomor massa 232.
Lebih spesifik lagi, uranium adalah unsur yang bersifat fissil atau dapat membelah diri, setelah bereaksi nuklir. Lalu, thorium bersifat fertil atau membiak atau tidak dapat membelah diri. Thorium hanya akan membelah diri dengan terlebih dahulu direaksikan dengan neutron.
Uranium dengan kemampuannya untuk membelah diri tersebut, akan menghasilkan plutonium. Plutonium biasa digunakan untuk tujuan persenjataan.
Kelebihannya, Djarot mengatakan, jika menggunakan thorium untuk bahan bakar penghasil listrik, memungkinkan tidak akan ada penyalahgunaan untuk tujuan persenjataan.
Djarot menegaskan, mengapa thorium dianggap juga memiliki prospek di masa depan, ia menyebut, 90 persen bahan bakar thorium akan bereaksi menghasilkan listrik, jika dibandingkan uranium yang hanya tiga sampai lima persen.
Dengan begitu, Djarot menambahkan, limbah radioaktif yang dihasilkan thorium pun lebih kecil.
Namun, Djarot mengatakan, untuk mengubah teori pemanfaatan energi thorium menjadi sebuah kenyataan membutuhkan waktu lama. Penelitian tersebut sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium terwujud, yang harus dibangun adalah infrastruktur pendukung, termasuk bagaimana melakukan fabrikasi serta siklus daur bakarnya," ungkap Djarot.
Tugas Batan, kata dia, adalah meneliti dan mengkaji kegiatan tersebut. Menurut dia, Reaktor Daya Eksperimental (RDE) dapat menjadi jembatan penelitian thorium, sebelum implementasi secara komersial.