Heri Gunawan: Saatnya Kembali ke Pasal 33 yang Otentik
VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan bahwa banyak yang meyakini amandemen atas Pasal 33 UUD NRI 1945 yang "sembrono" telah menghasilkan suatu landasan konstitusional ekonomi yang kabur. Terkait hal itu ia memberikan pandangan, menurutnya kita harus kembali ke Pasal 33 yang otentik.
Terkait hal di atas berikut pandangannya selaku anggota Komisi XI DPR RI:
Pertama, secara otentik, Pasal 33 UUD NRI 1945 sebelum amandemen mengisyaratkan landasan konstitusional ekonomi yang mendasarkan nalarnya pada prinsip "kebersamaan yang berdasar atas azas kekeluargaan." Itu adalah ruh ideologis yang sepatutnya tidak diganggu gugat.
Kedua, Pasal 33 Ayat 1, 2, 3 masih sesuai cita-cita pendirian republik Indonesia yang dibangun di atas doktrin kebangsaa dan doktrin kerakyatan. Tapi, penambahan ayat 4 dan 5 telah mengaburkan makna ideologis-historis-sosiologis Indonesia yang mengedepankan kebersamaan dan gotong-royong. Bukan orang per orang, bukan individualisme yang salah kaprah.
Ketiga, doktrin kebangsaan dalam sistem ekonomi hadir karena memang kita adalah kumpulan bangsa-bangsa yang bernasib dan bercita-cita sama untuk merdeka, sejahtera, dan makmur dalam satu payung: negara-bangsa Indonesia. Karena itu, ekonomi bukan saja milik orang bangsa Jawa, bukan saja milik bangsa luar Jawa. Tapi, milik bangsa Indonesia yang meluluhkan dirinya 100 persen dalam kebersamaan.
Keempat, doktrin kerakyatan sangat pantas karena sesungguhnya rakyat yang berdaulat dalam pengurusan dan pengelolaan sumber-sumber penghidupan untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak.
Rakyat banyak itu jamak. Bukan satu, dua, atau tiga orang yang menjual aset Indosat seharga Rp5,6 triliun yang menyebabkan kerugian 17,8 kali lipat (harga sekarang Rp100 triliun). Bukan satu orang yang menjual Astra seharga USD600 juta yang menyebabkan kerugian 75 kali lipat (harga sekarang USD45 miliar).
Bukan satu orang yang menjual BCA seharga USD425 juta yang menyebabkan kerugian 35 kali lipat (harga sekarang USD15 miliar). Dan, bukan 1 persen orang yang terus menghisap 50 persen kekayaan ekonomi nasional sampai detik ini.
Kelima, sungguh, penambahan ayat 4 dan 5 semakin membuat sistem ekonomi Indonesia yang liberal-kapilatistik-pasar, jauh dari jati dirinya yang otentik yaitu, gotong royong.
Keenam, semangat kebersamaan dan hak sosial rakyat banyak yang sudah dikonstruksi dengan anggun di ayat 1, 2, 3 menjadi luluh lantak dan pupus setelah adanya ayat 4 dan 5. Yang terjadi justru mencuatnya sistem ekonomi yang kasar, beringas, dan tak berperasaan. Pasal 33 menjadi tameng untuk menggusur orang kecil dan miskin atas nama efisiensi.
Ketujuh, sebelum terlampau jauh, sudah waktunya pikiran-pikiran jernih dimajukan untuk secara jujur, konsekuen, dan tulus untuk kembali kepada Pasal 33 UUD yang otentik. Pasal 33 yang mampu menguatkan pesan mendalam doktrin ekonomi kebangsaan dan kerakyatan yang berdiri tegak di atas kebersamaan. Bukan orang per orang.