Delapan Kebijakan OJK Topang Ekonomi Nasional
Selasa, 2 Februari 2016 - 16:02 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Ismar Patrizki
VIVA.co.id
- Menghadapi pelemahan perekonomian dunia pada 2016 ini, perekonomian nasional sangat tertolong delapan paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang berfokus pada penguatan permintaan agregat, sisi penawaran dan kesenjangan dalam tabungan serta investasi.
Paket-paket ini keluar sebelum Bank Indonesia menurunkan BI Rate. Sementara itu, IMF terus mengoreksi dan memperkirakan ekonomi dunia pada 2016 tumbuh 3,4 persen dan 3,6 persen untuk 2017.
Penurunan itu disebabkan pelambatan pertumbuhan di negara- negara yang biasa disebut kekuatan ekonomi baru, dan karena turunnya pertumbuhan ekonomi China yang diprediksi tumbuh masing-masing 6,3 persen dan enam persen untuk tahun ini dan tahun depan. ASEAN pun tak luput dari penurunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi tahun ini, kata Achmad Deni Daruri, presiden direktur Center for Banking Crisis, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa 2 Februari 2016, akan dipangkas menjadi 4,8 persen atau turun 0,1 persen, sedangkan pada 2017 direvisi menjadi 5,1 persen atau dipangkas 0,2 persen.
Namun, menurutnya, perekonomian Indonesia akan tertolong dalam tiga hal. Pertama, reformasi harga minyak bersubsidi sejak Januari 2015 lalu. Kedua, peningkatan belanja modal dan sosial yang sesuai dengan ruang fiskal, serta ketiga, kebijakan OJK yang progrowth.
"Kebijakan OJK ini berdampak langsung dan tak langsung pada peningkatan investasi swasta. Dengan demikian, dengan adanya paket kebijakan OJK ini, diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat lebih tinggi dari yang diperkirakan IMF, yaitu 5 persen," ujanya.
Dia menambahkan, pertumbuhan optimum sebesar enam persen pada tahun ini berpeluang besar tercapai, jika efisiensi dalam sistem keuangan dapat berjalan dengan baik, sehingga biaya operasional dapat berkurang, akibatnya tingkat suku bunga juga dapat lebih murah.
Dinilainya, paket kebijakan OJK juga dapat memberikan kemudahan untuk produk dan aktivitas bank syariah, serta penyederhanaan pembukaan jaringan syariah. Dengan demikian, bank syariah tidak lagi menjadi beban dalam perekonomian nasional.
"Belanja investasi dan konsumsi perekonomian diharapkan juga dapat meningkat dengan adanya kebijakan OJK di sektor perbankan, pasar modal, industri keuangan nonbank, serta kebijakan di bidang edukasi dan perlindungan konsumen," tuturnya.
Ada pun kebijakan yang mendorong agregat demand tersebut. Pertama, tagihan atau kredit yang dijamin pemerintah pusat dikenai bobot risiko sebesar nol persen dalam perhitungan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk risiko kredit.
Kedua, bobot risiko untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) ditetapkan sebesar 75 persen dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit. Ketiga, penerapan penilaian ”prospek usaha” sebagai salah satu persyaratan restrukturisasi kredit tanpa mempertimbangkan kondisi pasar maupun industri dari sektor usaha debitor.
Keempat, penurunan bobot risiko kredit beragun rumah tinggal nonprogram pemerintah yang ditetapkan sebesar 35 persen tanpa mempertimbangkan nilai loan to value (LTV) dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit.
Kelima, penurunan bobot risiko KPR Rumah Sehat Sejahtera (RSS) dalam rangka program Pemerintah Pusat Republik menetapkan 20 persen tanpa mempertimbangkan nilai LTV dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit.
Keenam, penurunan bobot risiko Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijamin Jamkrida dapat dikenai bobot risiko sebesar 50 persen. Ketujuh, penilaian kualitas kredit kepada UMKM dengan jumlah lebih dari Rp5 miliar yang dikaitkan dengan peringkat penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) dan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank.
Kedelapan, penetapan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi serta setelah dilakukan restrukturisasi dengan tenggat waktu pembayaran (grace period) pokok selama masa grace period.
Sementara itu, permasalahan perekonomian Indonesia lainnya adalah lemahnya investasi yang disebabkan oleh stagnasi seluler dan saving investment gap. Hal tersebut hanya dapat diatasi jika pasar modal efisien dan sektor perbankan efektif.
Paket kebijakan OJK, lanjutnya, memberikan peluang bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh di atas lima persen. Artinya, lebih tinggi dari yang diproyeksikan IMF.
"Alasannya, karena kebijakan OJK sudah menyentuh penguatan permintaan agregat demand, efisiensi supply side dan mengatasi problem kesenjangan investasi dan tabungan di dalam negeri. Kebijakan OJK akan menjadi garda utama untuk melindungi perekonomian nasional dari ancaman krisis perekonomian global," ujarnya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Namun, menurutnya, perekonomian Indonesia akan tertolong dalam tiga hal. Pertama, reformasi harga minyak bersubsidi sejak Januari 2015 lalu. Kedua, peningkatan belanja modal dan sosial yang sesuai dengan ruang fiskal, serta ketiga, kebijakan OJK yang progrowth.