Direktur Kampanye Change.org Indonesia, Arief Aziz

'Rakyat Indonesia Sangat Demokratis di Jagat Online'

Sumber :
  • VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto

VIVA.co.id - Masyarakat Indonesia belakangan ini mulai ketagihan menggunakan platform di internet untuk menyuarakan aspirasi. Buktinya, platform petisi online, Change.org, makin menjadi pilihan pengguna internet di Tanah Air untuk bersuara.

Platform petisi online asal Amerika Serikat itu memudahkan orang untuk bersuara. Selain itu, Change.org juga memungkinkan orang untuk difasilitasi, terdanai hingga termobilisasi dengan cepat dan efektif.

Laman Change ini menjadi pilihan netizen di Indonesia untuk membuat perubahan, membuat pemerintah dan pengambil kebijakan merespons dan tergerak.

Sudah ada beberapa petisi di Change.org yang langsung mendapat respons dari pejabat pemerintahan, misalnya petisi 'jaminan hari tua' sampai 'diet kantong plastik'.

Pengguna Change.org juga kian berkembang. Per akhir Desember lalu, pengguna platform ini di Indonesia menembus 2 juta. Dengan makin banyaknya pengguna dan petisi yang dilahirkan dari Change.org, membuat tahun lalu disebut sebagai masifnya gerakan demokrasi digital.

Di sela-sela kesibukannya, Direktur Kampanye Change.org Indonesia, Arief Aziz berbagi pandangan dan visi Change.org kepada VIVA.co.id. Berikut wawancara kami:

Bagaimana Change.org muncul?

Dimulai tahun 2008, tapi masuk ke Indonesia tahun 2012. Dimulai oleh Ben Rattray, lulusan Stanford University (Amerika Serikat). Karirnya sudah lumayan pasti ke arah Wall Street, mau jadi businessman dan lain-lain. Saat dia lulus dan pulang, dia sedang krisis keluarga. Adiknya saat itu habis di-bully teman-temannya. Adiknya itu bilang, 'Yang menyakitkan bukan orang yang menyerang saya, tapi teman-teman saya yang diam saja, termasuk Ben ini'.

Ben berpikir, silent majority itu harus berubah menjadi not so silent. Kita harus bersuara. Ini harus wadah bersuara untuk membela orang lain, muncul lah Change.org. Tapi, kala itu belum jadi petisi online, melainkan blogging platform, yang mana aktivis bisa ngeblog sesuai dengan isu mereka dan petisi online masih kecil.

Seseorang di Afrika Selatan menggunakan petisi online untuk menghentikan kekerasan seksual. Itu berkembang luar biasa besarnya ke internasional, sampai server mereka dibombardir oleh petisi-petisi ini.

Sampai telepon Ben untuk (minta) hentikan ini, tapi Ben cuma bilang bukan saya yang lakukan tapi warga Anda.

"Bagaimana kalau saya pertemukan?," kata dia. Sejak itu kekerasan seksual turun hingga ada perubahan legislasi.

Di situ Ben melihat, petisi online impact-nya dari sisi abuse atau memfasilitasi untuk mengubah sesuatu secara konkret. Jadi, ketika itu berubah jadi petisi online. Karena perubahan itu juga, dia kemudian ekspansi Change.org ke berbegai negara, termasuk Indonesia di bulan Juni. Di Asia ada di Thailand, Filipina, Jepang, dan India.

Apa yang melatarbelakangi munculnya Change.org di Indonesia?

Kita tahu juga penetrasi internet di Indonesia berpotensi tinggi meski masih rendah 20 persen, saat yang lain sudah dua kali lipatnya. Tapi, penggunanya tinggi banget. Pengguna Facebook banyak, pengguna Twitter banyak. Itu merupakan sebuah potensi.

Tapi, lebih penting lagi, sejarah people power. Indonesia itu kental banget dari zaman kolonialisme, kemerdekaan, sampai reformasi itu perubahan besar karena people power. Ini potensi, di Indonesia antusiasme tinggi dari pertama kali kita masuk, dari 8.000 pengguna sekarang jadi dua juta pengguna. Perkembangan yang dahsyat.

Artinya kita ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Semacam wadah kefrustrasian keadaan politik dan sosial Indonesia tapi selama ini mereka omel-omel di wadah yang tidak terorganisir hingga sampai petisi online ini. Bagaimana omelan ini dijadikan satu dialamatkan tepat, sehingga pengambil keputusan jadi basis untuk keputusan mereka. Intinya seperti itu.

Change.org sudah ada diberapa negara?

Staf-nya sih sudah di 19 negara, tapi situs kita sudah digunakan di 196 negara.

Indonesia lebih populer gunakan petisi online dibandingkan negara lainnya. Apakah perkembangannya sama dengan di Indonesia?

Macam-macam, kalau ngomongin di AS, Australia dan Inggris masuknya awal-awal dan penggunanya lebih tinggi dari kita, tapi pertumbuhan mereka stabil. Tapi, kita terus naik. Dan juga, pada akhirnya kita terpentok infrastruktur. Kita yang ada dikota besar, internet cepat hanya dimiliki orang-orang yang mampu, jadi belum representatif. Kalau itu (infrastruktur) dinaiki lagi, pasti jauh lebih besar lagi.

Kalau dibandingkan di Asia, kita yang paling cepat. India di atas kita, karena mereka lebih mulai duluan dan penduduknya jauh lebih tinggi dari kita sampai 1 miliar jiwa.

Layanan digital terbenahi dengan infrastruktur diperluas lagi. Apakah nanti petisi online akan lebih masif lagi gerakannya?

Kalau melihat trennya seperti begitu. Dimulai pengguna 8.000, terus sampai 90.000, terus kemarin akhir tahun sampai dua juta. Kayaknya ini tidak akan berhenti, partisipasi masyarakat akhir-akhir semakin besar, apakah didorong Pemilu itu orang-orang semakin sadar yang dibuat politisi, pejabat.

Kalau dari sudut pandang teknologi, saya tidak tahu rencana negara memperbaiki infrastrukur negara internet lebih cepat. Kalau itu terjadi maka itu akan jadi katalis besar dalam pertumbuhan keikutsertaan warga terhadap politik.

Warga Thailand Petisi Pemerintah RI Hentikan Kabut Asap

Ilustrasi Change.org

Change.org sudah jadi wadah curhat, pendapat anda tentang perubahan gerakan dari yang riil ke digital?

Tiga Tips Bikin Petisi Cepat Populer di Internet

Menurut kita, perangkat hanya sebuah katalis dari perubahan. Perubahan itu sendiri hanya bisa terjadi kemauan dari masyarakat. Kalau kesuksesan Change.org ini bukan karena Change.org yang sukses, tapi masyarakat menggunakan teknologi untuk mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan.

Jadi ini semacam sebuah amplifier dari apa yang frustasikan masyarakat, cuma sekarang mereka melihat ada wadah tapi tidak hanya ngomel-ngomel melainkan bisa mengubah.

Petisi online jadi memudahkan orang untuk bersuara?

Setahun Jokowi, 35 Petisi Change.org Belum Direspons

Sangat, sangat mudah. Tak hanya memudahkan masyarakat bersuara saja, tetapi juga mengajak yang tadinya apatis jadi peduli. Tadinya tidak banyak terlibat, mereka tanda tangan, ikut menggerakan perubahan sesuatu isu. Jadi, orang-orang yang tidak peduli, misalnya dengan korupsi, menjadi tertarik jadi peduli, karena masalahnya berkaitan.

Bedanya dengan petisi konvensional dengan petisi online seperti apa?

Sebenarnya tidak berbeda, yang kita lihat adalah kita sendiri belum punya budaya yang kental dengan petisi sebelum adanya petisi online. Petisi muncul beberapa tahun sekali, dulu jarang sekali kata-kata petisi. Dulu mungkin berpikir, ngapain keliling-keliling, ganggu orang, minta tanda-tangan, terus kalau dikasih orang (yang diberi petisi), itu tidak digubris.

Kalau ini (petisi online) bisa terus dihidupkan, setiap tanda tangan dikasih ke target (yang dipetisikan). Itu efek dari tekanannya berbeda, belum lagi kalau petisi tersebut dimobilisasi, misalnya tweet dan SMS ramai-ramai, 'ayo kita turut ke jalan, dan sebagainya', jadi lapisan pergerakannya bisa banyak. Ada yang turun ke jalan dan ada yang enggak, nah yang enggak bisa mainkan hastag atau avatar. Jadi, semakin bervariasi untuk melakukan perubahan.

Adanya petisi online ini mengubah pergerakan yang tadinya turun ke jalan, tapi sekarang lebih ke digital?

Kayaknya ini lebih menambahkan sebuah arsenal yang baru dan lain. Bukan opsi lain, tapi pelengkap yang sangat efektif. Maksudnya cara-cara sebelumnya itu juga tetap dilakukan dan lebih ampuh dengan perangkat digital ini. Tetap orang harus melakukan advokasi dan beberapa kasus harus turun ke jalan juga.

Tidak bisa yang dulu-dulu ditinggalkan kemudian semua beralih ke digital. Tetapi, mulai sekarang mulai kampanye tidak melibatkan digital, seperti 'Save KPK' atau 'darurat asap', itu tidak ada yang tak melibatkan strategi digital. Dunia maya ini sudah tidak bisa dibilang lagi bukan dunia nyata, tapi itu sudah jadi bagian kehidupan orang-orang sehari-hari.

Seberapa efektifkah petisi online ini?

Kembali lagi bagaimana orang memobilisasi petisinya. Kalau dia sungguh-sungguh atau mungkin dimenangkan, itu bisa. Petisi itu dia dorong terus, kemudian tanda tangan update terus, dibawa langsung ke pengambil keputusan. Petisi bukan hasil akhir, tapi sebuah percikan awal untuk pergerakan.

Apa ini termasuk ke dalam demokrasi digital?

Iya pasti termasuk, bagaimana orang menyampaikan pendapatnya, aspirasinya lewat perangkat digital. Ini merupakan salah satunya.

Tadi Anda bilang kalau perangkat digital tidak terpisahkan. Artinya, nanti akan lebih banyak yang melakukan demokrasi digital?

Pastinya begitu. Karena begini, saluran-saluran konvensional tidak berhasil, maka media sosial jadi tempat orang berkeluh kesah untuk menyampaikan suara mereka. Kalau misalnya, dunia sempurna politisi sudah mendengarkannya, mungkin tidak ada yang namanya petisi. Semakin pemerintah yang tidak mendengar, semakin banyak orang yang akan bersuara lewat petisi.

Mungkin tak semua dijawab, tapi yang penting bagaimana petisi itu didengar, yang terakhir jawab itu Menteri Siti Nurbaya mengenai diet kantong plastik. Itu sangat diapresiasi oleh masyarakat.

Sejauh mana petisi ini bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah?

Itu dia, contoh-contohnya cukup jauh. Semua tergantung kemauan masyarakat sejauh mana, kalau misalnya isu 'jaminan hari tua', itu yang mau banyak banget, 'papah minta saham' lama sih masif tapi banyak. Kalau suara masyarakat solid, lantang, dan keras itu berhasil. Kalau masyarakat belum mengerti isunya, maka itu akan adem ayem saja.

Petisi online sekarang mudah jadi viral?

Intinya kita punya pengguna hampir dua juta, mereka itu ketertarikannya beda-beda. Ada yang peduli satwa, lingkungan, antikorupsi, HAM. Kalau petisi tuntutan bagus dan jelas targetnya serta mengundang ketertarikan publik itu tinggi. Misalnya belum kita dorong tapi sudah ada ribuan yang tanda tangan, itu akan tetap kirim juga ke channel masing-masing. Kalau tentang lingkungan hidup kita kirim ke lingkungan hidup, kalau soal satwa kita kirim ke channel satwa dan lainnya lagi.

Selain publikasi yang dibantu oleh Change.org?

Media salah satunya, media bagus dengan isu ini kita kirim. Misalnya konferensi pers kita bantu, atau pertemukan dengan orang, kita bantu juga.

Kebanyakan petisi itu berasal daerah perkotaan, bagaimana dengan daerah?

Mentoknya di infrastruktur, paling banyak itu dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Bali, Medan, Makassar. Tapi bukan berarti masyarakat di pedesaan tidak bisa bersuara di online. Contoh, di mana mereka difasilitasi kemudian disambungkan di kota-kota besar, seperti yang dilakukan Melanie Soebono yang membantu seorang TKI asal Majalengka, itu kita bantu. Jadi, walaupun masih terkendala infrastruktur, tapi orangi-orang mencari celah untuk bisa bersuara melalui media sosial.

Ada keinginan untuk meluncurkan Change.org versi aplikasi agar lebih memudahkan?

Kita sudah mobile tapi belum berbentuk apps. Sampai saat ini sudah cukup, apps sedang dikembangkan tapi bukan prioritas kita. Kita bantu melalui link WhatsApp atau Line, sekarang seperti itu.

Kita mau bantu netizen soal respons dari pemangku kebijakan terhadap petisi yang diberikan. Kita mau mengajak orang-orang di pemerintah, parlemen, perusahaan besar, untuk mulai gunakan ini, atau sebagai aset mereka. Semakin mereka mendengarkan dan merespons, itu reputasi mereka akan semakin bagus, baik, dan semakin mudah mengambil keputusan.

Berdasarkan data pihak yang sering dipetisi itu pemerintah Jokowi-Jk?

Itu sudah dari tahun lalu, cuma belum berhasil. Padahal banyak isu yang bagus direspons oleh pak Jokowi. Tapi kalau dia belum sreg, tapi paling tidak orang-orang di pemerintah dia sudah mengganggap petisi itu, seperti sudah menteri yang menjawabnya. Kita mulai dari situ dulu, nanti semua menteri jawab dan dia belum, kan aneh juga. Mudah-mudah channel seperti ini bisa dia (Jokowi) gunakan juga.

Kalau Jokowi merespons?

Itu perlu banget, kalau dia merupakan sosok Presiden yang melek teknologi dan media sosial. Lalu dia menjadi Presiden, dibawa masyarakat dan salah satu perangkat yang jadi signifikan itu media sosial ke kursi itu. Maka saya pikir harapan masyarakat di isu-isu sesuatu direspons langsung.

Bayangkan dalam suatu isu, ia menjawabnya dan nanti di email setiap masing-masing yang tanda tangan itu ada email dari Presiden. Isinya nanti dulu, yang penting dia jawab. Itu gestur politik, gestur sosial, dan kebangsaan yang sangat besar.

Change.org asal dari AS, apa jaminan tidak ada intervensi dari AS terhadap Indonesia?

Semua orang bisa terlibat, isu datang bukan dari kita tapi penggunanya sendiri. Tinggal orang-orang tertarik atau tidak dengan isu tersebut. Bisa saja kita push ke 1000 orang tetapi tidak ada yang tanda tangan, maka tidak akan ramai isu tersebut. Jadi, bener-benar kontrol ini diserahkan ke masyarakat Indonesia, pengguna Change.org di Indonesia, mereka yang bawa isunya dan membesarkannya.

Apa harapan Change.org ke depan?

Banyak. Selain ditanggapi pemerintahan, yang mendengarkan dan menjawab dari masyarakat itu nomor satu. Ada kepastian hukum, masyarakat yang melakukan kritik (UU ITE) yang pada saat ini masih sangat berisiko sebetulnya. Lalu, di negara maju akses internet itu sudah jadi hak manusia, karena internet itu akses untuk pendidikan, penghidupan, dan ekspresi kita terhadap kebebasan berpendapat. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya