Pakistan Pasar Masa Depan Ekspor Sawit
VIVA.co.id - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) membidik Pakistan sebagai salah satu tujuan utama ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono, mengatakan ekspor CPO ke Pakistan dari Indonesia cukup besar, yaitu 2,19 juta ton pada tahun 2015. Angka ini naik 32 persen dari angka ekspor CPO ke sana pada tahun 2014.
"Jadi, menurut saya, (Pakistan) itu pasar masa depan. Kemarin, saya dari Pakistan untuk kerja sama penguatan hubungan dagang," kata Joko dalam konferensi pers "Refleksi Industri Kelapa Sawit 2015 dan Prospek 2016" di kantor GAPKI, Jakarta, Rabu 20 Januari 2016.
Dia memperkirakan permintaan minyak kelapa sawit di Pakistan bisa menembus 3,5 juta ton hingga empat tahun ke depan karena ada peningkatan dan pendapatan.
"Ini harus menjadi prioritas pemerintah untuk menjaga (hubungan) government to government," kata dia.
Menurut Joko, Indonesia berhasil merebut pasar Pakistan dari Malaysia. Pakistan mengimpor 2,19 juta ton dari Indonesia, sedangkan mereka mengimpor 500 ribu ton CPO dari Malaysia.
"Dulunya, mereka mengimpor 100 persen dari Malaysia. Faktornya beli CPO dari Indonesia karena harga (CPO Indonesia) lebih murah daripada Malaysia," kata dia.
Selain itu, GAPKI juga mencatat pada tahun 2015, ekspor CPO Indonesia ke beberapa negara, seperti India, Uni Eropa, dan Tiongkok, naik. Ekspor CPO ke India naik 15 persen dari 5,1 juta ton pada 2014 menjadi 5,8 juta ton pada 2015, ekspor ke Uni Eropa naik 2,6 persen menjadi 4,23 juta ton pada tahun 2015.
"Tiongkok secara mengejutkan mencatatkan kenaikan permintaan minyak sawit sepanjang tahun 2015, yaitu sebesar 64 persen, dari 2,43 juta ton pada 2014 menjadi 3,99 juta ton pada 2015," kata dia.
Joko juga menambahkan, bahwa permintaan CPO dari Amerika Serikat juga naik signifikan, yaitu sebesar 59 persen dari 477,23 ribu ton pada 2014 menjadi 758,55 ribu ton pada 2015.
Namun, lanjut Joko, untuk ekspor minyak kelapa sawit ke negara-negara Timur Tengah merosot hingga delapan persen dari 2,29 juta ton pada 2014 menjadi 2,11 juta ton pada 2015.
"Jatuhnya harga minyak dunia secara otomatis mengganggu finansial negara-negara penghasil minyak, sehingga daya beli ikut melemah," kata dia.