China Habiskan Rp5.203 Triliun Garap Infrastruktur
Rabu, 13 Januari 2016 - 06:51 WIB
Sumber :
- REUTERS/Jason Lee
VIVA.co.id - Ekonomi China diperkirakan akan tumbuh sekitar 7 persen pada 2015, dengan penambahan penciptaan lapangan kerja sebanyak 13 juta pekerjaan baru.
Badan perencanan ekonomi China mengumumkan persetujuan proyek-proyek infrastruktur yang lebih besar pada 2014 untuk mencegah risiko perlambatan ekonomi labih tajam.
Dilansir dari CNBC, Selasa 12 Januari 2016, China optimistis akan mencapai target pertumbuhan ekonomi utama pada 2015. Hal tersebut disampaikan Juru Bicara Komisi Reformasi dan Pembagunan Nasional (NDRC) Li Pumin, seminggu sebelum pengumuman resmi pertumbuhan ekonomi 2015.
Baca Juga :
Pengamat: Proyek Infrastruktur Jangan Disetop
Dalam konferensi persnya Selasa waktu setempat, Li langsung mengembuskan optimisme dengan memberi pernyataan positif, terkait pasar saham China yang terjun bebas awal tahun ini. Mengingat, hal itu memicu depresiasi mata uang yuan dan membuat investor global merasa khawatir mengenai kesehatan ekonomi kedua terbesar di dunia ini.
China menurutnya, telah menyetujui sebanyak 280 proyek investasi aset tetap senilai US$383,4 miliar pada 2015, 32 proyek infrastruktur didalamnya baru disetujui pada Desember lalu. Total nilai proyek tersebut setara dengan Rp5.302,4 triliun jika dikalikan kurs rupiah Rp13.830 per dolar.
Namun, proyeksi pertumbuhan ekonomi China sebesar 7 persen merupakan capaian paling lambat dalam seperempat abad. Lebih lambat dibandingkan capaian 2014 sebesar 7,3 persen.
Beberapa pengamat di China percaya, pertumbuhan ekonomi secara rill jauh lebih rendah dari data resmi yang dipampang pemerintah. Hal tersebut terlihat dari kelebihan kapasitas industri dan goyahnya investasi di negri tirai bambu tersebut.
Selain itu, upaya pemerintah yang berniat menghabiskan lebih banyak anggaran untuk infrastruktur, dengan harapan menopang perekonomian, juga harus dihadapkan oleh tantangan yang sulit. Antara lain penundaan proyek karena perlambatan penyaluran kredit, perencanaan awal yang buruk, dan tingkat utang pemerintah daerah yang tinggi.
"Saya berfikir ada sedikit hubungan antara jatuhnya pasar saham dan ekonomi rill di China," ujar seorang ekonom dari Standard Chartered di Beijing, Shen Lan. (ren)
Baca Juga :
Bursa Asia Pasifik Tertekan Dinamika Pilpres AS
Investor mencermati siapa presiden AS yang baru.
VIVA.co.id
4 November 2016
Baca Juga :