Utang RI Makin Banyak di 2015, Ini Alasan Menkeu
- ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id - Realiasi defisit anggaran sepanjang 2015 tercatat sebesar Rp318,5 triliun atau 2,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp222,5 triliun atau 1,9 persen terhadap PDB.
Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan, anjloknya komoditas global menjadi penyebab utama tidak maksimalnya penerimaan pajak sepanjang tahun 2015. Hal ini yang pada akhirnya memengaruhi defisit anggaran, karena ada tidak keseimbangan antara pendapatan dan belanja negara.
Pada rentang tahun 2010-2013, penerimaan pajak pada saat itu lebih terserap dengan baik, karena ada faktor dari harga komoditas yang masih menunjukan grafik positif. Alhasil, turut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan pada saat itu.
"Periode komoditas booming, penerimaan pajak tertolong. Karena memang pajak itu ada sangkut paut dengan komoditas. Tahun ini, kontribusi dari komoditas lebih sedikit seperti tambang dan kebun," ujar Bambang dalam konferensi pers di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin, 11 Januari 2016.
Upaya pemerintah di tengah ketidakpastian itu, kata Bambang, adalah dengan tetap menggenjot serapan belanja pemerintah, terutama dalam hal investasi proyek infrastruktur. Tetapi, dengan penerimaan negara yang tak terakselerasi dengan baik, otomatis dibutuhkan pembiayaan lebih.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, outstanding pengelolaan utang per 31 Desember 2015 mencapai Rp3.089 triliun. Bambang menegaskan, utang yang ditarik pemerintah saat ini digunakan hanya untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, sebagai salah satu upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi.
"Kenapa perlu utang? Utang diperlukan, karena ingin akselerasi dan ekspansi. Ketika komoditas absen, maka yang harus maju itu pemerintah, melalui belanja terutama belanja modal. Selama dipakai untuk kegiatan produktif, pasti hasilnya positif," tutur dia.
Meskipun rasio utang terhadap PDB saat ini sudah mencapai 27 persen, mantan Wakil Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menegaskan, angka tersebut masih terbilang positif bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang justru memiliki jumlah rasio utang yang lebih besar.
"Kalau lihat debt to GDP Ratio, Filipina itu 36 persen, Turki yang tak jauh berbeda dengan kita (Indonesia) itu 32 persen, Thailand 44 persen, India 52 persen, Brazil 80 persen, Italia 133 persen, Jepang 246 persen. Jepang itu negara dengan GDP terbesar ketiga," ungkap Bambang.
Sementara untuk defisit anggaran, diklaim Bambang masih lebih baik apabila dibandingkan dengan negara-negara maju.
"Indonesia itu 2,8 persen, Meksiko 4 persen, Rusia 5,7 persen, Inggris 4,2 persen, Amerika Serikat 3,8 persen. Rasio GDP terhadap budget defisit kita itu lebih rendah dibandingkan negara itu."
(mus)