Pertamina-PLN Bertengkar Soal Tarif Listrik Panas Bumi
Rabu, 6 Januari 2016 - 21:25 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id
- Anak usaha PT Pertamina, PT Pertamina Geothermal Energy akan menghentikan pasokan uap untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 1, 2, dan 3 milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Hal ini disebabkan, oleh tidak adanya kesepakatan harga panas bumi di antara kedua perusahaan tersebut.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengatakan negosiasi antara Pertamina dan PLN mengalami kebuntuan mengenai harga jual uap untuk ketiga pembangkit tersebut.
Menurut dia, Pertamina telah menawarkan agar kedua perusahaan dapat kembali memperpanjang interim agreement harga jual uap sambil melakukan negosiasi harga sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.
Namun, tak ada kesepakatan yang dicapai meskipun Pertamina telah menawarkan perpanjangan interim agreement. Bahkan, PLN, lewat suratnya tanggal 29 Desember 2015 justru menyampaikan permintaan kepada Pertamina untuk menutup sumur-sumur uap untuk PLTP 1, 2, dan 3.
"Kami telah menyampaikan kepada PLN untuk dapat kembali kepada interim agreement hingga akhir Januari 2016," kata dia di Jakarta, dikutip dalam keterangannya, Rabu, 6 Januari 2016.
Tetapi, Wianda mengatakan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) energi ini akan menghentikan pasokan uap panas bumi untuk pembangkit PLN kalau tidak ada respons dari PLN.
"Tentu saja hal ini sangat disayangkan, apabila harus terjadi karena dapat menjadi preseden buruk bagi upaya memacu pengembangan panas bumi dan energi baru terbarukan di Indonesia," kata dia.
Wianda menegaskan, Pertamina selalu berkomitmen mendukung pemerintah dalam penyediaam listrik yang efisien dan ramah lingkungan, melalui pengembangan uap panas bumi maupun total project beserta pembangkit listrik panas bumi.
Baca Juga :
Pertamina Pelajari Rencana PLN Caplok PGE
Sebagai wujud komitmen nyata tersebut, Pertamina kini menggarap sebanyak sebelas proyek panas bumi di tujuh wilayah kerja terpisah dengan investasi sekitar US$2,5 miliar hingga 2019.
"Dalam melaksanakan setiap lini bisnisnya, termasuk dalam bisnis panas bumi, Pertamina senantiasa mengutamakan kepentingan nasional. Panas bumi yang merupakan sumber energi baru dan terbarukan dapat mendukung implementasi komitmen pemerintah dalam conference of parties (COP) 21 untuk mengurangi emisi hingga 29 persen," kata dia.
Sebagaimana diketahui, dalam COP 21 Paris, Presiden Joko Widodo menyatakan kesanggupan Indonesia menurunkan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030.
Menurut Presiden, penurunan emisi dilakukan dengan mengambil beberapa langkah di berbagai bidang, di mana untuk bidang energi dilakukan dengan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke sektor produktif dan peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025.
"Namun, harga yang wajar tetaplah diperlukan terutama untuk memastikan keberlanjutan investasi panas bumi. Apalagi, gap antara kapasitas terpasang dan target bauran energi dari panas bumi masih sangat lebar. Apabila harga yang ditetapkan wajar, kami yakin tidak hanya Pertamina yang bisa bergerak cepat seperti saat ini, namun investor lainnya pun siap berinvestasi panas bumi,” kata Wianda.
Harga uap terlalu mahal
Sementara itu, PLN pun angkat bicara tentang pernyataan Pertamina. BUMN listrik ini menilai harga uap yang ditawarkan kepada PLN terlalu mahal.
"Kemahalan," kata Manajer Senior Public Relation PLN, Agung Murdifi, ketika dihubungi VIVA.co.id, di Jakarta.
Sayangnya, Agung enggan menjelaskan berapa angka yang ditawarkan oleh Pertamina. "Tanya Pertamina. Pokoknya kemahalan," kata dia.
Sekadar informasi, dalam keterangan tertulisnya, Agung mengatakan, BUMN setrum ini masih mengkaji tarif yang ditawarkan Pertamina untuk PLTP Kamojang 1, 2, dan 3.
Sebelumnya PLN dan Pertamina telah melakukan kerja sama pemanfaatan panas bumi di Kamojang 1,2,3 lebih dari tiga puluh tahun.
Namun, menginjak tahun 2015 Pertamina selaku penyedia uap, memberikan penawaran harga uap yang tinggi untuk jangka waktu lima tahun saja.
"Kalau harga uap yang ditawarkan wajar, kami mungkin akan beli, karena selama ini kami sudah kerjasama selama 32 tahun dengan Pertamina, namun yang membuat kami bingung, mengapa tiba-tiba Pertamina menawarkan harga mahal hanya untuk jangka waktu lima tahun saja," kata dia.
Agung mengatakan, setelah melakukan verifikasi internal dan melihat harga uap di lapangan panas bumi yang dimiliki oleh PLN yakni di PLTP Mataloko, PLTP Ulumbu Flores, serta di Tulehu Ambon, Maluku, PLN memperkirakan harga uap di PLTP Kamojang tidak akan melebihi estimasi harga uap yang telah ada yakni sebesar Rp535 per kwh atau sebesar US$4 sen.
"Namun agaknya Pertamina selaku pengelola Kamojang tetap bertahan di harga jual yang terlalu tinggi. Hal ini lah yang kemudian menjadi pertimbangan PLN untuk menunda perpanjangan pembelian uap dari PLTP Kamojang 1,2 dan 3," kata dia.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Menurut Presiden, penurunan emisi dilakukan dengan mengambil beberapa langkah di berbagai bidang, di mana untuk bidang energi dilakukan dengan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke sektor produktif dan peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025.