Bisnis Quick Chicken Pratikkan Filosofi Jenderal Sudirman
Sabtu, 2 Januari 2016 - 14:00 WIB
Sumber :
VIVA.co.id
- Kisah Bedi dimulai dari Yogyakarta. Di Kota Gudeg ini, ia mulai merentas usaha Quick Chicken, setelah dengan mantap ia keluar dari pekerjaannya di sebuah perusahaan makanan cepat saji yang tengah limbung diterpa krisis moneter.
Diawali pada tahun 1999, Bedi mulai menyewa sebuah ruko di daerah Demangan seharga Rp8 juta per tahun.
Namun apa hasil, omzet pendapatannya hanya float rate Rp200 ribu per bulan atau sekitar Rp2,5 juta per tahun. Artinya ia harus tombok Rp5,5 juta hanya untuk menutupi sewa ruko, belum lagi harus menalangi biaya lain lain seperti bahan baku dan membayar karyawan.
Apa yang membuat Bedi tidak jera dan justru terus kukuh berkutat di bisnis cepat saji itu? Di sinilah insting bisnis dan keyakinan yang berbicara.
Setiap pelanggan yang datang, sebagian besar bahkan 90 persen lebih mengakui produk Quick Chicken ini rasanya pas di lidah, dan itu mengindikasikan produk ini diterima konsumen.
Bedi tak sayang harus melego beberapa asetnya seperti mobil yang dikumpulkannya bertahun-tahun dengan cucuran keringat. Ia terus menebarkan sayap dan akhirnya pertolongan datang.
Tawaran teman untuk membuka outlet Quick Chicken ke-2 di sebuah mall di Mojokerto Jawa Timur, tanpa perlu membayar sewa, disambut dengan suka cita.
Ternyata tak sampai satu tahun, sudah Break Event Point (BEP) atau balik modal dan karena konsisten untuk membayar sewa menyesuaikan dengan pedagang lain di tempat itu meski sebenarnya teman itu menolaknya dengan halus.
Singkat kata, dari Demangan Yogyakarta dan Mojokerto Jatim, outlet Quick Chicken terus menebar. Tercatat, jumlah enam outlet pada tahun 2000, perlahan tapi pasti terus berkembang dan hingga tercatat sudah 200 lebih outlet Quick Chicken di berbagai kota di penjuru negeri, baik di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
“Kalkulasi bisnis, saya bisa menuai untung ketika membuka outlet ke-empat. Praktis, saya yang merentas usaha sejak 1999 itu baru mulai merasakan manisnya berbisnis sejak 2005 hingga kini. Kalau sebelum 2005, puluhan outlet kami ada yang buka- tutup,” kata Bedi .
Ia sempat menyesali outlet pertama Quick Chicken di Demangan, Yogya pada tahun keempat tidak bisa dipertahankan alias harus dilepas. Penyebabnya adalah harga sewa yang melambung tinggi membuat kalkulasi bisnis dipastikan merugi jika dipertahankan.
Seiring membaiknya iklim bisnis Tanah Air dan makin berkibarnya bendera Quick Chicken, Bendi mengisahkan sejak 2005 sudah marak permintaan kerja sama bisnis berupa sistem waralaba.
Filosofi gerilya Bapak TNI Jenderal Sudirman ternyata ia praktikkan dalam menebarkan bisnis Quick Chicken. Sadar kalau bisnisnya itu kalah segalanya dari pemain modal besar di bisnis serupa, Bedi memakai strategi unik.
Setelah melalui survei terencana dengan mengedepankan sejumlah data akurat di sebuah lokasi –umumnya pinggiran kota--yang diprediksikan ramai pembeli dengan beberapa kriteria yang sifatnya intern, Bedi baru berani memutuskan membuka outlet. Maka itu, jangan heran kalau outlet Quick Chicken justru ada di pinggiran-pinggiran kota, namun menebar rata.
Sebut saja untuk kawasan Jabodetabek. Ia penuh keyakinan membuka outlet yang menebar rata di kawasan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, bahkan pihaknya kewalahan untuk memenuhi derasnya permintaan kerjasama bisnis sistem waralaba itu.
“Untuk langsung menandingi pemain besar, sudah pasti kami keok. Namun, strategi yang kami rancang ini terbukti menuai hasil yang memuaskan. Kami akan fokuskan membuka outlet-outlet di area sekitar Jakarta, baru kemudian memantapkan diri untuk masuk ke Jakarta. Secara perlahan tapi pasti, kami juga akan mengembangkan sayap ke Pulau Sulawesi dan Kalimantan,” ujarnya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Apa yang membuat Bedi tidak jera dan justru terus kukuh berkutat di bisnis cepat saji itu? Di sinilah insting bisnis dan keyakinan yang berbicara.