Ilmuwan: Patah Hati Berisiko Kematian
- Pixabay
VIVA.co.id - Para ilmuwan dari Australia menyatakan, patah hati bisa berisiko pada kematian. Ilmuwan mengatakan kondisi saat seorang patah hati menunjukkan gejala yang hampir sama dengan serangan jantung.
Seperti dilansir International Business Times, Rabu 30 Desember 2015, ilmuwan mengatakan, berdasarkan hasil riset mereka, Takotsubo cardiomyopathy (TTC) atau dikenal dengan sidrom patah hati mempengaruhi kemampuan jantung untuk memompa darah dan berpotensi menyebabkan kematian.
Pada 20 tahun yang lalu, TTC pertama kali dikenali oleh peneliti dari Jepang. TTC dikaitkan dengan stres psikologis. Kemudian TTC dan serangan jantung dianggap memiliki gejala yang sama, hanya saja penyebabnya berbeda.
Orang yang mengalami serangan jantung cenderung kepada penyumbatan pada salah satu arteri koroner, sementara mekanisme pasti pada TTC ini tidak sepenuhnya jelas.
“TTC dikaitkan dengan pola kontraksi abnormal dari ventrikel kiri, ruang pompa utama jantung, tetapi tidak disebabkan oleh arteri koroner yang tersumbat," kata salah satu peneliti, Angela Kucia.
"Kondisi ini sedang banyak diteliti secara internasional, tetapi secara umum diterima oleh masyarakat ilmiah yang menekankan hormon, seperti adrenalin, sebagian penyebabnya,” tambah dosen keperawatan senior University of South Australia itu.
Kucia mencontohkan, beberapa stress psikologis umum yang kemungkinan bisa menyebabkan patah hati seperti peristiwa kematian pasangan atau anggota penting keluarga, argumen keluarga, masalah di tempat kerja, penyakit jiwa dan kegiatan sosial atau lingkungan traumatis seperti perang, gempa bumi dan banjir.
Selain itu, TTC juga bisa dikarenakan stres fisik seperti penyakit medis akut atau trauma, stroke, epilepsi, tekanan panas, kanker dan melahirkan.
“TTC dapat menyebabkan kematian, tapi ini relatif jarang dan sering dikaitkan dengan penyakit medis yang bersamaan. TTC bisa diperlakukan sama seperti serangan jantung, dan membutuhkan obat untuk kembali pulih,” tutur Kucia.
Obat yang bisa membantu mengobati sindrom patah hati, yaitu enzim (ACE) inhibitor angiotensin-converting, yang dapat merelaksasi pembuluh darah dan obat itu bisa mengontrol irama jantung dan menurunkan tekanan darah tinggi. Namun, tidak jelas obat manakah yang dapat memberikan efek yang lebih positif dan lama waktu obat tersebut bisa dikonsumsi.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal Circulation, wanita menopause lebih mungkin untuk mengalami TTC. Karena wanita masuk dalam 90 persen dari kasus yang dilaporkan di usia antara 65 dan 70 tahun.