Industri Kecil Bakal Kesulitan Hadapi MEA
Selasa, 29 Desember 2015 - 15:37 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Fernando Randy
VIVA.co.id
- Â Tepat pada tanggal 31 Desember 2015 nanti, Indonesia akan segera mengarungi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk pertama kalinya. Dengan kondisi ini, industri dalam negeri mau tidak mau harus meningkatkan daya saingnya, terutama industri yang bergerak di bidang layanan dan jasa.
Baca Juga :
Indonesia Dukung Sentralisasi ASEAN
Peneliti Senior Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Zamroni Salim mengatakan, minimnya pengetahuan mengenai pakta perdagangan bebas dari industri seperti Unit Kecil Menengah (UKM) dan Unit Menengah Kecil Mikro (UMKM) berpotensi akan memberikan kesulitan tersendiri dalam menghadapi MEA.
"Dari kajian kami, industri besar tidak ada masalah dengan MEA. Industri kecil yang menjadi kendala. Tingkat kepahaman mereka masih rendah soal MEA," ujar Zamroni saat berbincang dengan VIVA.co.id, Jakarta, Selasa 29 Desember 2015.
Ia menjelaskan, pada dasarnya industri seperti UKM dan UMKM tersebut mampu berdiri sendiri. Namun, modal untuk mengembangkan produk-produk yang mampu berdaya saing belum mampu berjalan optimal, seiring dengan tingkat suku bunga pinjaman perbankan yang terlampau tinggi.
"Kalau saya lihat, industri UKM itu bisa mandiri. Tapi kendala utamanya itu modal. Sangat tidak kompetitif sekali pinjaman modal dengan bank. Tingkat suku bunga memberatkan," kata dia.
Meski demikian, tidak akan ada perubahan yang cukup signifikan dari berlangsungnya MEA, terutama di sektor pergerakan barang dan jasa pada 31 Desember mendatang.
"Secara signifikan, flow barang dan jasa tidak akan banyak. Kenapa? Karena memang sudah bergerak bebas. Tarif sudah dibawah lima persen. Tidak akan berubah," tutur dia.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Ia menjelaskan, pada dasarnya industri seperti UKM dan UMKM tersebut mampu berdiri sendiri. Namun, modal untuk mengembangkan produk-produk yang mampu berdaya saing belum mampu berjalan optimal, seiring dengan tingkat suku bunga pinjaman perbankan yang terlampau tinggi.