Di 2015, Kedaulatan Pangan Belum Tercapai
VIVA.co.id – Sepanjang tahun 2015, persoalan pangan masih menyisakan banyak catatan, baik di sektor on farm (produksi) maupun off farm (distribusi dan konsumsi). Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Rofi Munawar, meminta pemerintah lebih serius mendorong produktivitas dan kualitas pangan nasional, untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
“Kenaikan harga bahan pokok seperti beras dan daging masih menghiasi kondisi pangan nasional sepanjang tahun 2015. Belum lagi di sisi lain importasi yang masih belum bisa dihentikan karena masih belum efisiennya tata niaga pangan dan serapan yang rendah produksi nasional," ujar Rofi Munawar dalam keterangan persnya, Senin 21 Desember 2015.
Rofi memberikan ulasan bahwa program kedaulatan pangan tidak akan pernah terwujud selama jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih mementingkan impor ketimbang membantu meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani.
Indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung kedaulatan pangan. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah terbentuk sejak lama. Namun, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait malah terkesan memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan.
“Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal,” katanya.
Rofi mengatakan, tata niaga masih belum efisien dan mafia pangan belum mampu diurai dengan baik oleh pemerintah, kementerian dan lembaga yang mengelola pangan berkerja dalam perspektifnya masing-masing dan tidak saling terkoordinasi. Ini bisa dilihat, antara kebijakan produksi dan impor yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya.
“Belum lagi simpang siur masalah keabsahan data pangan yang selama ini dijadikan rujukan, yang telah menyebabkan pada akhirnya pertimbangan kebijakan pangan terkesan reaktif dan parsial. Sekedar hanya untuk memenuhi kebutuhan cadangan serta stabilitas di pasaran, namun tidak berkorelasi kepada peningkatan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Rofi menjelaskan, di tahun 2015, dalam segi kelembagaan badan pangan belum terealisasi. Padahal, Badan Pangan Nasional (BPN) merupakan amanat Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Pasal 126. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 71 Tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan harga kebutuhan pokok dan barang penting untuk menjaga stok dan mengendalikan harga pokok. Kondisi ini menyiratkan, semakin mendesaknya otoritas pangan yang bertanggung jawab untuk mengurus pangan nasional.