Lima Catatan Agar Rumah Murah Terserap Baik
Minggu, 6 Desember 2015 - 14:47 WIB
Sumber :
- Rumahku.com
VIVA.co.id
- Target pembangunan satu juta rumah dari pemerintah masih akan bergulir pada 2016. Hanya saja, dari evaluasi beberapa pengembang, ada lima catatan yang masih harus diperhatikan oleh pemerintah.
Baca Juga :
Hindari Hal Ini Ketika Beli Rumah Pertama Kali
Bukan tanpa alasan, catatan ini dibuat untuk mewakili berbagai sisi, mulai dari kesulitan yang dialami para pengembang properti dalam membangun rumah murah, kesulitan dalam penyaluran rumah murah, hingga kesulitan konsumen dalam menerima rumah murah.
Berikut ini lima catatan tersebut:
1. Aturan KPR inden
Aturan mengenai permohonan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) rumah subsidi yang tidak boleh inden dirasa memberatkan beberapa pengembang, khususnya dari sektor keuangan. Mengingat sebelumnya, mayoritas dana pembangunan didapat dari KPR bank.Â
Apalagi, pengembang juga diwajibkan untuk memberi jaminan senilai kredit KPR yang diajukan.
2. Suku bunga kredit KYG tinggi
Aturan KPR inden kemudian membuat pengembang mencari modal lewat cara lain, salah satunya adalah permohonan Kredit Yasa Griya (KYG) atau kredit konstruksi. Namun, suku bunga kredit konstruksi sebesar 12 persen dinilai terlalu tinggi bagi pengembang.
3. Rencana tata ruang (RTR)
Selama ini, belum ada tata ruang kota baru yang lengkap, sehingga pengembang merasa kesulitan untuk membangun rumah murah yang sesuai. Seharusnya, pemerintah sudah mulai memikirkan tata kota baru secara lengkap dengan infrastrukturnya.Â
Beberapa pengembang juga meminta agar regulasi percepatan dan pemangkasan biaya perizinan segera terwujud agar tidak mengganggu cashflow.
4. Kemudahan bagi pekerja sektor informal
Menurut catatan, pada Februari 2014, sebanyak 53,6 persen pekerja Indonesia berada di sektor informal. Hal itu menunjukkan bahwa para pedagang kaki lima, tukang ojek, pengamen dan sejenisnya yang masih belum bankable, memiliki jumlah yang sangat banyak.Â
Akibatnya, mereka jadi sulit untuk mengajukan KPR, padahal pekerja di sektor informal merupakan salah satu golongan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
5. Perlu paket FLPP tahap II
Para pengembang menilai bahwa MBR tidak hanya berada di daerah-daerah, tapi juga di perkotaan, bahkan jumlahnya lebih banyak. Hal ini membuat para pengembang properti berpendapat, perlu adanya paket FLPP tahap II.
Jika sebelumnya syarat gaji maksimum pengambilan rumah subsidi adalah Rp4 juta, untuk FLPP tahap II bisa dinaikkan hingga Rp5 juta sampai Rp7 jutaan, karena letak huniannya yang berada di perkotaan, suku bunganya pun bisa dinaikkan menjadi 7,5 persen.Â
Para pengembang yang tergabung dalam asosiasi Realestat Indonesia (REI) kemudian melanjutkan, jika pemerintah memperhatikan kelima hal tersebut, program rumah murah akan lebih mudah dilaksanakan dengan target yang lebih tepat sasaran.
Rumahku.com
Halaman Selanjutnya
1. Aturan KPR inden