Listrik, Kunci Indonesia Jadi Negara Industri
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Berbagai tantangan dunia modern sudah dirasakan oleh warga Indonesia. Punya sumber daya alam luas, tapi dengan pengelolaan yang tidak baik akhirnya menimbulkan bencana.
Misalnya kabut asap. Bencana ini sudah sering kali terjadi di berbagai wilayah Indonesia, bahkan sudah menjadi hal yang rutin selama belasan tahun tanpa ada solusi jitu.
Belum lagi soal tantangan yang mengintai di masa depan adalah keterbatasan energi. Dengan kebutuhan yang terus meningkat, energi fosil sudah makin terkuras. Makanya perlu dipikirkan bagaimana energi alternatif di masa depan agar bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Berkaitan dengan tantangan tersebut, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendapatkan posisi pentingnya. BPPT sudah menyiapkan berbagai solusi dan skenario tantangan di masa depan.
Simak wawancara VIVA.co.id dengan Kepala BPPT, Unggul Priyanto, di Kantornya, Gedung BPPT II, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat
Kabut asap berbulan-bulan. BPPT sudah kerahkan teknologi modifiksi cuaca Tapi musim kemarau ini kan diperkirakan akan lama sampai akhir tahun ini. Apakah ini efektif?
Sering saya katakan hujan buatan itu efektif pada saat awal atau akhir musim hujan. Justru sekarang masuki tahap awal (musim hujan). Kalau di tengah-tengah enggak perlu, malah banjir. Sekarang optimalkan hujan buatan.
Karena enggak pakai hujan buatan pun bisa, kalau andalkan curah hujan biasa, tapi tak sebanyak yang diinginkan. Efektif ya gunakan hujan buatan. Ini (awal musim hujan) saatnya yang tepat.
Kalau kebakaran hutan itu padam ya padam enggak ada bara di bawahnya. Kalau gambut itu kasih waterbombing itu padam permukaannya saja. Bawahnya tetap ada baranya.
Begitu tinggal pergi sejam lagi, naik lagi apinya, malah asapnya makin banyak. Itu ketambahan air, asap campuran uap air, udara dan debu.
Nah satu itu. Kedua. lahan gambut itu umumnya banyak asapnya daripada apinya. Kalau waterboom itu belum tentu bisa mendekat ke posisi yang diinginkan.
Karena di situ pekat banyak asap enggak kelihatan balik lagi.
Kalau di darat, metodenya yang efektif kanalisasi ya?
Kanal itu sebenarnya untuk pencegahan saja. Tapi kanal itu kalau di situ ada air, ada sungai airnya dimasukkan. Atau bikinnya saat hujan, jadi tergenang air.
Begitu kebakaran, air digunakan untuk semprot area kebakaran.
Lahan gambut itu efektifnya dengan hujan buatan ya disemprot dari daratan. Cuma pertanyaanya tidak semua lahan gambut yang terbakar itu ada di tepi jalan. Ada yang di tengah hutan. Ada yang di tengah-tengah, itu jadi masalah. Yang efektif itu ya hujan buatan atau alam.
Buatan itu kan sebenarnya memacu untuk menambah curah lebih besar. Problemnya kalau sudah banyak awan itu bisa hujan bisa tidak. Water boom itu kalau sudah banyak awan ya enggak apa-apa.
Perawatan ke lahan gambut bagaimana?
Jangan dibakar lah. Memang kebanyakan petani tradisional ya, kalau perkebunan ya bakar. Sebetulnya dia tahu cara mengatasi lahan gambut supaya bisa ditanam. Itu dibakar supaya fungsi utama pembersihan semak sama tanaman, ya pakai bakteri bisa, campuran pupuk, campuran kapur sama abu gunung berapi dicampur supaya tanahnya subur. Seperti itu bisa tapi mahal. Terutama nyampur sama kapur.
Lebih murah pakai bakteri, tapi perlu waktu dan enggak tokcer juga. Biasanya yang bakar untuk tujuan itu sih kalau petani ya itu tadi. Yang seperti cepet itu. Biasanya perusahana besar yang bersihkan lahan murah dengan bakar murah.
Menurut saya sudah waktunya dipikirkan tak semua lahan gambut tidak dipakai untuk tanaman. Untuk diladangi tanaman. Sudah mulai ditata, mungkin itu di antara tanaman itu dikasih sekat-sekat. Tumbuh gambut tanpa tanaman, biar semak saja kasih aliran air, sehingga kalau kebakar enggak merembet ke mana-mana.
Ada penyangga seperti itu selain dibikin kanal. Seharusnya pecinta lingkungan LSM betulan ya mereka tak setuju dibikin untuk lahan.
Ini sudah terlanjur sebagian sudah terkonversi sebagai lahan tanaman. Saya enggak tahu rencana pemerintah untuk lahan bekas kebakaran itu bagaimana. Ada rencana juga dihutankan kembali. Ya itu bisa-bisa juga, tentunya enggak semuanya, sekian dipakai untuk tanaman.
Aturan penyekat itu gimana?
Peraturankan harus tunduk. Itu sudah urusan Kementerian LH, berapa persen (lahan) harus dihutankan lagi, berapa yang ditanami.
Untuk pengawasan titik kebakartan, peran BPPT bagaimana?
Itu kan pakai satelit dan itu wilayahnya Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) ya. Kalau soal satelit semua bisa, yang concern ya mereka (Lapan). BPPT konsen dengan hujan buatan saja.
Itu satelit kan tinggal tanya ke AS, langganan saja.
Saat kabut asap memuncak, ada peneliti yang bikin alat untuk bersihkan kabut asap yang dipakai warga. Terus apa BPPT ada inisatif?
BPPT sudah semprotkan senyawa kimia, kalau enggak salah Ca Cl2. Dicampur apa. Itu untuk pembersihan di luar saja. Misalnya untuk di bandara.
Asapnya dibersihkan, misalnya agar tak masuk di heli. Tapi itu harus dilakukan setiap saat. Supaya efektif ya pakai alat semprot di sekitar bandara.
Ya memang itu lebih mahal dibanding membran (karya peneliti tersebut). Tapi kan langsung untuk skala yang lebih besar dan untuk pusat transportasi publik. Untuk membran itu urusan untuk orang yang sensitif dengan asap kan, asma misalnya.
Ditaruh dirumah supaya asapnya enggak masuk disaring supaya asapnya enggak masuk pakai membran. Ada macam-macam ya, saya kira bukan hanya satu jenis. Atau kalau enggak membran untuk perseorangan saat keluar. Itu sebetulnya hanya untuk saring udara yang lebih segar ya, cuma itu bisa lebih mahal.
Kalau yang pakai membran itu perseorangan. Cuma itu kan untuk asma, anak kecil.
Asap industri, asap kendaraan dengan asap kebakaran bahaya mana?
Ya lebih bahaya asap kendaraan dan industri ya, pabrik. Cuma kan itu enggak masif dan enggak terus menerus. Nah ini kan masif dan terus menerus, ini kan karena bahayanya masif dan terus menerus.
Kalau pabrik itu tergantung pabriknya apa. Kalau kena terus ya bisa mati, kalau pabrik yang berbahaya.
Mitigasi bencana apa yang disiapkan BPPT?
Kalau gempa, itu banyak di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Kita pertolongan saat bencana ya makanan cepat saji sekali, makan langsung kenyang. Kita cuma sampai bantuan seperti ini.
Nah mitigasi bencana lain di luar gempa banyak. Contoh hujan buatan, fungsinya bukan hanya untuk kebakaran, bisa untuk memenuhi waduk. Kita kerja sama dengan perusahaan air, ngisi waduk pengairan.
Mereka bayar berani keluarkan uang. Misalnya di Sumatera Barat. Dan hujan buatan seperti saat ini. Karena tanpa hujan buatan, ketinggian air mereka enggak optimal kalau andalkan hujan alam. Itu isi waduk dan untuk pembangkit listrik atau untuk pengairan sawah. Ada itu.
Dan biasanya awan yang ditembak itu biasanya akan timbul hujan ke sungai yang mengalir ke waduk itu.
Hujan buatan itu tak setiap awan disebar terus hujan. Sama sekarang kalau kebakaran yang ditembak itu awan yang kira-kira posisinya dekat dengan area kebakaran.
Begitu jadi hujan di area kebakaran. Kalau awan di luar area itu ya terserah terjadi hujan bagus, kalau engga ya sudah. Enggak apa-apa.
Yang lain lagi kan soal pencegahan banjir. Misalnya untuk wilayah Jakarta. Diprediksi awan kalau hujan lebat akan terjadi di Jakarta atau di puncak yang mengalir di Jakarta. Itu bisa dicegat, sebelum terjadi di Jakarta dihujankan dulu. Misalnya di Samudera Hindia, atau paling apes (saat) masuk Banten dulu, atau Pangandaran. Dengan demikian enggak jatuh di Jakarta.
Cuma biasanya kalau sudah musim hujan, awan kan enggak sedikit, beriringan banyak. Pesawat yang beroperasi ya jangan hanya satu, harus banyak. Kalau perlu empat biji terus menerus dan biayanya enggak murah. Sekali beroperasi butuh ratusan juta. Seperti Pesawat Hercules itu.
Dulu pernah dilakukan di Sumsel, saat pembukaan PON. Itu kan enggak boleh hujan kan. Itu kerja keras teman-teman. Kalau enggak salah sehari terbang sampai 12 kali pesawat supaya di sekitar pembukaan enggak hujan.
Awan di sekitar disebar terus, sehingga hujannya diluar PON itu tadi. Kalau di Jakarta, lebih luas lagi, jangan sampai masuk Ciliwung, Cisadane atau sungai lain sampai masuk Jakarta.
Nah yang awan kan macem-macam. Ada yang bisa turunkan hujan lebat, yang bentuknya itu tinggi. Nah ditembak itu, terjadi lebat. Awan tipis, itu dibiarkan saaja kerana itu hanya gerimis saja.
Jadi ya itu tidak semua awan ditembak, enggak efektif, tapi awan yang timbulkan hujan lebat yang ditembak. Kalau soal banjir, ada juga awan yang enggak sampai hujan. Jadi hujan buatan itu kebutuhannya banyak dan ini hanya pengendalian saja.
Awan jadi hujan dan kapan jadi hujan. Bisa atasi kebakaran, kekeringan lahan, dampak kekeringan pembangkit listrik, kurangi dampak banjir. Jadi banyak itu kegunaannya.
Teknologi hujan buatan BPPT sudah ada peningkatan kualitasnya?
Sebetulnya metodenya kan banyak. Sekarang pakai pesawat. Kan bisa pakai flare itu tembak dari tempat tinggi, dia muncrat untuk kondisi sekitar situ biar cepat hujan. Tapi itu kurang efetif. Itu sudah diujikan kurang efektif. Yang kedua pakai roket, bisa awan yang berdiri tebal ditembak pakai roket. Tapi pakai roket juga, sama mahalnya orang naik pesawat.
Jadi sepengetahuan saya, yang paling efektif ya pakai pesawat.
Bagaimana dampaknya?
Kan enggak hanya sekali. Keman-mana. Seperti Hercules itu bisa terbang selama 8 jam dan muat 4 ton. Lalu Cassa yang selama ini dipakai hanya muat 1 ton dan 1 jam. Itu kurang efektif jadinya. Karena 1 jam, dia harus operasi dekat situ.
Begitu bandara kena asap, dia enggak bisa terbang. Kalau Hercules bisa dari Halim, di Banjarmasin, Palangkaraya, Jambi dan bisa puter-puter sampai 8 jam. Karena 8 jam bawa semai sampai 4 ton. Bisa terbang lebih tinggi, jadi awan di 10 ribu kaki tetap bisa ditembak. Kalau Cassa terbangnya 10 ribu kaki, dia enggak bisa ngapa-ngapain juga.
Pengalaman hujan buatan di luar negeri?
Kalau pakai pesawat (itu sama saja). Yang tidak sama itu pakai roket. Kita roket kita kan belum tinggi kemampuannya. Misalnya tembak awan itu harus tepat. Kalau enggak nanti kena yang lain. Meleset. Nanti ditembak lain, meledak.
Terkait pengurangan risiko bencana? Upaya BPPT apa saja?
Ya adalah. Kita ciptakan alat monitor untuk bencana. Misalnya daerah rawan longsor, kita tancepin sebuah alat. Longsor itu kan enggak seketika, sedikit-sedikit (longsornya) cuma orang kan enggak ngamati. Nah dengan alat ini, nanti catat peergerakan dan alat itu akan beritahukan akan terjadi longsor besar.
Itu sudah ada sudah bikin kalau enggak salah dan akan diujicobakan. Ditanam. Seperti longsor enggak seketika ada permulaannya.
Pada titik tertentu tidak terkendali. Ngasih sirene atau apalah. Alat untuk banjir, itu ada saya lupa namanya dipasang saja, kalau sudah lewati sungai meluap itu.
Teknologi yang sedang atau akan dilakukan BPPT untuk tanggap bencana di Indonesia?
Sebelumnya saya sudah pernah cerita, bahwa salah satunya contohnya membuat hujan buatan, untuk kesiapan pengendalian banjir, mengisi waduk. (Hujan buatan) ini bukan hanya soal asap, misalnya mengisi waduk-waduk milik PLN, PT Jasa Tirta ya, nah itu musim seperti ini (kemarau) kita diminta untuk itu. Jadi, misalkan waduk mereka kering, diharapkan dengan hujan buatan, ketinggian airnya meningkat.
Seperti saya bilang, kita biasanya menabur bahan semai itu ke awan yang nanti kita prediksikan hujan, itu jatuhnya ke sungai yang menuju ke bendungan. Hujan buatan itu enggak asal semua awan ditembak.
Sama juga dengan pencegahan hujan, itu sudah kita lakukan di pembukan PON di Sumsel, itu tidak ada hujan. Itu karena kita diminta untuk tidak ada hujan sama sekali. Wah itu kita habis-habisan. Itu pakai (pesawat) Cassa sampai sehari 17 kali terbang. Jadi, ada awan tembak, ada awan menuju kita ditembak.
Sama juga ke depan, Jakarta tidak ingin banjir. Bisa itu, cuma sekali itu ya mahal. Karena pesawatnya harus banyak, tidak bisa satu, mungkin (pesawat) Hercules kalau mau efektif dua (unit) minimal atau empat lah dan harus bolak-balik terbang. Ini setiap awan yang berpotensi hujan lebat.
Jadi, awan itu macam-macam ada awan yang tidak berpotensi hujan, ada awan yang berpotensi hujan tapi ringan seperti gerimis, ada awan juga yang hujan lebat, nah itu yang kita tembak. Kalau ada awan itu yang menuju Jakarta, kita tembak, kalau bisa di tengah laut atau di Banten.
Untuk yang lain, kita juga yang dulu-dulu tsunami early warning system kita pasang. Jadi, ketika ada perbedaan gelombang atau ketinggian laut, itu akan mengirim ke BMKG. Jadi, yang ditunjuk pusat pengendalian itu BMKG.
Sekarang ini dari Pusat Teknologi Informatika dan Komunikasi, itu sedang merancang TV Digital untuk kebencanaan.
Karena ada banjir, ada gunung meletus. Itu siaran TV itu bisa diinterupsi, tidak semua TV tapi di daerah yang rawan bencana itu saja. Jadi, TV nasional diinterupsi tapi yang mecakupi wilayah bahaya. Nanti kita lagi nonton ada siaran bahaya, ‘segera evakuasi karena ada gunung meletus atau tsunami’.
Daerah aman, yang jauh dari bencana itu tidak akan terganggu. Sistem sudah kita ciptakan, sudah teruji. Kalau mau lihat ada demonya di Serpong.
Bagaimana penerapan interupsi TV digital?
Kapannya itu yang pegang kan mereka, Kominfo, regulasi ada mereka. Migrasi dari TV biasa ke TV digital kita sudah siapkan set of box. Jadi, nanti TV biasa bisa menangkap TV digital kalau pasang box tadi, tidak harus beli TV digital, nanti bisa nangkap seperti TV digital.
Kelebihan TV digital itu selain gambarnya jernih, bisa dipakai banyak channel, karena TV analog satu channel satu channel. Kalau digital itu bisa macam-macam tidak masalah. Itu terkait bencana juga bisa.
Apakah BPPT juga fokus pada pemanfaatan listrik dan energi terbarukan?
Soal listrik dan energi terbarukan, yang real listriknya 24 jam itu panas bumi sama hydro. Itu renewable energi, di luar itu nuklir itu kita belum punya. Itu ada angin sama solar, cuma sifatnya tidak continue. Karena solar ditarget besar-besar, dia hanya menutup dua persen kebutuhan listrik nasional.
Sama juga dengan angin, lebih serius lagi, itu untuk kapasitas 100 persen kadang-kadang dua persen, lima persen, kalau besar 95 persen. Itu listrik diatur seperti itu enggak bisa. Seperti rumah tangga di Jakarta saat siang, mungkin konstan 40 Giga Watt, kalau malam bisa 45 giga watt, orang disuruh turun enggak mau. Kan enggak mungkin kita ngandelin angin yang dua persen, 100 megawatt, nanti cuma dua megawatt, PLN kan enggak mau.
Karena itu enggak mungkin untuk mengisi pangsa pasar yang besar.
Kalau enggak bisa pakai solar, enggak bisa juga ya pakai diesel. Ini kelemahan renewable energi yang lain itu enggak bisa diandalkan konstan, lain dengan PLTU batu bara, diesel, itu memang fosil, sampai sekarang solusi itu belum ada, kecuali kita berani pakai nuklir.
Mau enggak? Kita kan enggak mau. Ini bahaya, ini polusi, sudah pilih polusi ya batu bara.
Bagaimana soal efisiensinya?
Dengan teknologi yang efisiensi lebih tinggi. Istilah tadi konservasi energi itu paling gampang. Konservasi energi itu bukan hanya teknologinya, tapi juga sikap penghematannya, perilaku.
Misalkan tidak ada orang, lebih baik lampu dimatikan, kebiasan itu tidak gampang. Eskalator di mal kalau enggak ada yang naik, enggak jalan. Itu bisa ratusan hingga ribu watt. Kalau bagus, jalan (eskalatornya) pas ada yang naik. Dengan demikian, energi itu bisa di-setting, karena energi itu mahal dan ada dampak lingkungannya.
Jadi, banyak yang bias dihemat sebetulnya. Kedepan pakai kereta api listrik itu bagus.
Pemerintah ada arah untuk transportasi publik pakai listrik?
Untuk kereta apa? Saya tidak tahu. Saya bilang, bikin kebijakan yang konsisten dan komperhensif, dan realitis. Jangan sampai, seperti mobil listrik, karena belum komersil, kalau penelitian enggak apa-apa, terus produksi skala kecil enggak apa-apa. Tapi untuk diandalkan ganti transportasi itu enggak bisa.
Daripada itu pikir yang lebih realistis. Lebih bisa dilaksanakan, misalkan kereta api listrik. Bukan saya antilistrik. Jadi, semua itu ada proposisinya ada waktunya, kapan sesuatu bisa dipakai. Daripada kita berwacana terus, yang tidak bisa terealisasi. Jadi, lebih kita lihat.
Misalnya BBM susah, apa solusinya? Pakai CNG itu lebih real, kendalanya apa? Infrastruktur, ya pakai pipa gas, sekalian ke rumah-rumah. Masa kita mau pakai elpiji terus, kita importir terbesar karena dipakai rumah tangga. Jarang didunia pakai untuk rumah tangga, karena mahal. Jepang saja pakai gas alam, harganya bisa dua tiga kali darinya.
Kemudian, mobil bisa pakai gas. Bisa konsumsi besar, bisa pakai dua fuel, bisa pakai gas bisa pakai gak konverter lagi. Mesti dikejar, pakai gas lebih murah, sepertiga epliji atau BBM, jelas kelihatan. Infrastruktur pakai listrik banyak, bukan mobil, stasiun charger-nya, mau dirumahh charger-nya.
Solusi energi PLTN ke PLN?
Mereka sudah tahu, tinggal nunggu pemerintah. Menunggu keputusan kapan itu mau dilaksanakan, jadi belum diterapkan, PLN cari yang pasti-pasti. Makanya muncul 35 ribu watt sampai 2019.
Ke depannya energi yang realistis untuk kita listrik ya?
Saya bilang kalau Indonesia mau jadi negara industri, yang paling gampang itu dari listrik, karena pangsa pasarnya jelas. PLN akan bangun terus, karena jumlah penduduk nambah, konsumsi masyarakat kalau penghasilan nambah maka konsumsi listrik ikut nambah. Ketika saya tinggal di Jepang, listrik di sana minimal 5 ribu watt. Untuk standar 10 ribu satu rumah tangga.
Disni saya hanya 3.500 watt di rumah itu. Artinya, konsumsi di sana sudah tinggi karena pendapatan per kapitanya sudah tinggi juga. Jadi, Indonesia konsumsi bisa dua atau tiga kali lipat dari sekarang. Baik karena tumbuhnya jumlah penduduk, maupun karena kebutuhan yang meningkat.
Karena itu, PLN itu bangun listrik. Pembangkit itu enggak murah, 100 megawatt saja bisa Rp1,3 triliun dan berikut komponennya yang selama ini impor. Itu yang ingin sampikan instansi terkait, cobalah produksi dalam negeri, mulai dari boiler, pipa. Ini bagian dari TKDN (tingkat komponan dalam negeri)..
TKDN pada listrik itu bisa tekan berapa persen?
Paling tidak duit itu, enggak dibelanjakan ke luar. Kalau 10 ribu megawatt itu cuma 20 persen TKDN, artinya 80 persen dibelanjakan ke luar. Kalau begitu terus, industri tidak bisa tumbuh, sementara nilai rupiah akan turun terus, karena kita impor barang modal. Barang mentah kita jatuh, karena harga minyak jatuh. Kenapa rupiah Rp13 ribu, kalau mau kita harus pro produksi dalam negeri. Apapun caranya, caranya saya enggak tahu.
Patokan TKDN-nya bagaimana?
Kalau bisa dipaksa sampai 40-50 persen sanggup untuk khusus pembangkit listrik, seperti boiler, pipa, baja, itu bisa. Kalau kualitas kurang baik, pemerintah turun tangan cari partner asing, lisensi, kalu perlu diberi modal.
Bagaimana kendalanya?
Mustahil jadi negara berpendapatan tinggi, kalau masih terjebak pada middle income trap. Enggak bisa maju. Bagaimana bisa maju kalau produksinya masih berbahan impor semua? Negara mana yang masih mengandalkan barang mentah? Tidak ada. Kira-kira begitu.
Peneliti kita banyak di luar negeri, bagaimana agar mereka kembali ada ke Tanah Air?
Ada dua hal kenapa orang bekerja di luar, pertama masalah pendapatan. Di indonesia peneliti itu kecil pendapatannya, belum penghargaan masih kurang, itu yang kedua. Yang ketiga, sarananya kurang, misalkan ahli apa, ahli nuklir ternyata sarananya belum ada dan belum pakai nuklir. Dia mau kerja di mana mau ngapain. Atau ahli nano, di sini belum ada tempat risetnya.
Sementara di luar negeri malang melintang. Mungkin di Indonesia belum waktunya, jadi tidak bisa menyalahkan juga. Jadi, menurut saya untuk sementara tidak apa-apa, di sini saja bisa pengangguran. (ren)