Kepala BPPT Bicara Metode Efektif Padamkan Lahan Gambut

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/FB Anggoro

VIVA.co.id - Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan telah menjadi perhatian nasional sampai internasional. Pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk memadamkan titik api yang menimbulkan kabut asap di kedua wilayah tersebut.

Terakhir pemerintah melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk membuat hujan buatan.

Kepala BPPT, Unggul Priyanto mengatakan momentum untuk memodifikasi hujan pada beberapa hari lalu merupakan waktu yang tepat, yaitu awal musim hujan. Dia mengatakan waktu ideal untuk membuat hujan buatan yaitu awal musim hujan dan akhir musim hujan.

"Sekarang adalah memasuki tahap awal (musim hujan). Sekarang kita optimalkan hujan buatan," kata Unggul kepada VIVA.co.id di Kantor BPPT, Senin 2 November 2015.

Dia mengatakan hujan buatan tidak akan efektif jika dilakukan beberapa pekan lalu, saat kabut asap memuncak. Saat itu masih puncak musim kemarau, yang mana awan untuk memicu dan menyemai hujan buatan masih langka. Jadi, metode hujan buatan beberapa pekan lalu bisa dibilang tak ideal.

Metode untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan beberapa pekan lalu, kata Unggul, adalah penyemprotan air melalui udara (water bombing) dan metode kanalisasi saluran air. Namun, kedua metode itu tak begitu jitu untuk kasus kebakaran lahan gambut.

Sebab, lahan gambut bara atau titik api bisa bertahan lama dan mudah membakar gambut dengan cepat.  Dia mengatakan pemadaman dengan metode water bombing bisa saja, tapi hanya memadamkan bagian permukaan lahan gambut saja.

"(Permukaaan) bawahnya tetap ada baranya. Begitu ditinggal pergi sejam saja, naik lagi apinya," ujat Unggul.

Dalam kondisi itu, kata dia, asap yang ditimbulkan malah makin banyak. Sebab, asap yang timbul mendapat tambahan uap air, udara dan debu.

Water bombing, kata Unggul, cocok dipakai untuk memadamkan area kebakaran pada lahan selain gambut. Misalnya pada kasus kebakaran hutan atau pegunungan tanpa lahan gambut.

Sementara kendala pemadaman dengan metode water bombing yaitu pekatnya asap yang melebihi api. Kondisi ini membuat pesawat yang beroperasi water bombing belum tentu bisa mendekat pada posisi titik api yang diinginkan.

"Karena pekat asap, enggak kelihatan, akhirnya (pesawat) balik lagi," tutur Unggul.

Sementara jika menggunakan metode kanalisasi, menurutnya juga tidak begitu efektif. Sebab, metode ini ditentukan oleh keberadaan pasokan air dari sungai maupun embung di sekitar lahan yang terbakar.

"Tidak semua lahan gambut yang terbakar itu ada di tepi jalan. Ada yang di tengah-tengah hutan. Itu jadi masalah," ujar dia.

Berdasarkan peta kondisi tersebut, kata Unggul, metode pemadaman yang paling memungkinkan yaitu hujan, baik itu hujan alami atau rekayasa hujan. Hujan buatan, kata dia, sebenarnya memacu untuk menambah curah hujan lebih besar yang pada akhirnya bisa mempercepat pemadaman titik api pada lahan gambut.

Terkait metode merekayasa hujan, BPPT memiliki beberapa skema yaitu penyemaian awan dengan garam tertentu melalui pesawat, roket atau tembakan (flare) dari lokasi tinggi. Namun, dari opsi itu, hanya menggunakan pesawat yang lebih dipilih karena lebih maksimal.

Skema menggunakan flare disebutnya terbatas pada ruang tembak dan cakupan awan yang mengguyur air hujan. Skema ini sudah diujikan BPPT dan hasilnya kurang efektif.

Skema menyemai awan dengan roket juga belum memungkinkan untuk dipilih. Sebab, kata Unggul, kemampuan roket dalam negeri masih terbatas dan biaya yang cukup mahal.

"Menembak melalui roket harus tepat (sasarannya). Kalau meleset nanti bisa nembak yang lain (bukan awan)," katanya.

Soal skema pesawat, BPPT kini menggunakan pesawat Hercules milik TNI yang punya kemampuan lebih dibandingkan daya jelajah pesawat jenis Cassa. Pesawat Hercules bisa memuat bahan penyemai awan hingga 4 ton, bisa terbang hingga 8 jam serta bisa menembak awan pada ketinggian 10 ribu kaki.

Sementara pesawat Cassa hanya mampu memuat bahan penyemai 1 ton, terbang hanya 1 jam dan tak bisa menyasar awan pada ketinggian 10 ribu kaki.

"Kalau Hercules, terbang dari Halim Perdanakusuma bisa terbang ke Banjarmasin, Palangkaraya, Jambi dan bisa muter-muter 8 jam," kata dia. (one)

Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?