Kisah Pak Raden, Sebatang Kara yang Disengsarakan Negara

Pak Raden Jual Lukisan
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Kumis tebal, suara parau, setelan khas Jawa dengan belangkon, menjadi ciri khas salah satu pendongeng termasyur tanah air, Drs Suyadi atau yang dikenal dengan nama Pak Raden. Di balik sosoknya itu ternyata ada kisah sedih nan memilukan.

Pak Raden mungkin dikenal oleh anak-anak yang besar di generasi 1980-1990 karena karyanya bertajuk 'Si Unyil' yang tayang di Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Selama 12 tahun, sosok Pak Raden muncul di Minggu pagi memberikan tawa, canda, atau mungkin kesan seram karena suara parau-nya yang terkesan galak.

Sosok Pak Raden ternyata jauh dari kata galak atau menyeramkan. Senyum riang dan ramah membuat anak-anak tidak segan untuk berfoto atau sekedar ingin memegang kumis tebalnya. Tak heran, Pak Raden menjadi salah satu ikon anak-anak sampai saat ini.

Namun ada kisah miris terkuak di balik kehidupan Pak Raden. Selama ini, Drs Suyadi, yang hidup membujang, menghabiskan masa tuanya sebatang kara dengan kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan. Tak ada rumah bagus dengan taman luas, hanya rumah sederhana di antara gang-gang sempit ibu kota.

Perjalanan melewati gang sempit harus dilalui untuk mencapai rumahnya yang terdapat di Jalan Petamburan III, Slipi, Jakarta Barat. Sesampainya di sana, terlihat puluhan kucing kesayangan Pak Raden menjadi teman pria tua tersebut.

"Kondisi rumahnya memprihatinkan. Sedih sekali waktu datang ke sana. Masih terpajang lukisan dan boneka-boneka Si Unyil. Memang tidak terurus," ujar Kennieta, salah satu rekan kerja yang pernah membantu Pak Raden dalam sebuah penggalangan dana, pada VIVA.co.id.

Asyik, Unyil Reborn Akan Tayang Juli 2016

Selanjutnya Kisah Miris...

Kisah Miris Disengsarakan Negara

Mungkin menjadi sesuatu yang janggal melihat kondisi hidup Pak Raden, seseorang yang menciptakan karya sebesar dan setenar 'Si Unyil' yang sampai sekarang masih jadi tontonan di televisi.

Kenapa bisa seorang maestro dan pendongeng andal sekarang harus tinggal sebatang kara dan banting tulang di usia tuanya hanya demi pengobatan. Lukisan-lukisan karyanya sampai dijual, begitu juga boneka-boneka tangan 'Si Unyil' yang dilepas ke berbagai kolektor yang masih peduli.

Ternyata selama ini hak cipta 'Si Unyil', yang merupakan karya dari tangan Suyadi menjadi milik Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN). Ini membuat Pak Raden tidak mendapatkan royalti apa pun dari buah kerja kerasnya di masa lampau.

Pak Raden sempat membuat kesepakatan penyerahan hak cipta atas nama Suyadi kepada PPFN. Pada Pasal 7 surat perjanjian itu tertulis, kesepakatan kedua belah pihak berlaku selama lima tahun terhitung sejak perjanjian tersebut ditandatangani.

Akan tetapi, PPFN menganggap bahwa perjanjian penyerahan hak cipta tersebut tetap pada PPFN untuk selamanya. Pak Raden tidak tinggal diam dan sempat berjuang selama dua tahun untuk mendapatkan haknya.

Setelah perjuangan panjang, Pak Raden akhirnya mencapai kesepakatan dengan PFN pada 15 April 2014. “Jangan bilang berdamai. Saya tidak bermusuhan dengan PPFN. Biarlah ini jadi kenangan terindah buat saya,” kata pria kelahiran 28 November 1932 ketika perjuangannya berbuah manis.

Namun semua itu tampak sudah terlambat. Kondisi kesehatannya terus dirongrong penyakit yang diidapnya. Meski begitu, perjuangan dan keramahan terus ditunjukkan oleh Pak Raden, yang belakangan tak bisa lepas dari kursi roda untuk aktivitas sehari-hari.

Bahkan Pak Raden sempat dijadwalkan mengisi Festival Dongeng Indonesia pada akhir Oktober 2015 nanti di Museum Nasional, Jakarta. Sayang, ajal lebih dulu memanggil sang maestro.

Sekarang, Pak Raden telah tiada namun karya-karyanya masih akan terus dikenang sepanjang masa. Selamat jalan Pak Raden, semoga amal dan ibadahmu mendapatkan tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa.

Semoga ke depannya, perusahaan milik negara bisa lebih memperhatikan dan menghargai karya-karya yang dibuat para senimannya. Jangan sampai ada Pak Raden lain yang harus menderita padahal karyanya menjadi fenomena.