Kisah Trump Tinju Guru Musik Hingga Curi Buku Adiknya
Rabu, 7 Oktober 2015 - 10:28 WIB
Sumber :
- Gaga Skidmore/Wikimedia
VIVA.co.id
- Sejak mengumumkan kampanye pencalonannya sebagai presiden Amerika Serikat pada pertengahan Juni lalu, maestro real estate, Donald Trump selalu mengutip buku terlarisnya yang dirilis pada 1987, yaitu "
The Art of the Deal
" di hampir setiap pidato yang dilakukannya.
Dilansir dari Business Insider, Rabu 7 Oktober 2015, dan telah diringkas, dalam salah satu bab awal buku tersebut, Trump yang kini berusia 69 tahun, membeberkan beberapa momentum penting dalam masa kecilnya yang dianggapnya tanda-tanda bahwa dia akan menjadi pria sukses di masa depan.
Saat Trump meninju wajah gurunya
"Saat di kelas dua, saya benar-benar membuat lebam kehitaman mata guru saya. Saya meninju guru musik, karena saya pikir dia tidak tahu apa-apa soal musik, saat itu saya hampir diusir," ujarnya.
Baca Juga :
Trump: Tak Bakal Ada Lagi Si Orang 'Baik'
"Saya tidak bangga dengan itu, tetapi jelas itu bukti, bahkan sejak kecil saya memiliki kecenderungan untuk berpegang teguh dengan pendapat saya dan terkenal meskipun dengan cara yang keras. Perbedaannya sekarang, saya menggunakan otak, bukan tinju," kata Trump.
Baca Juga :
Rayakan Paskah, Warga Meksiko Bakar Patung Trump
Saat Trump mencuri buku saudara laki-lakinya untuk membuat miniatur gedung yang indah, dia menulis bahwa adiknya, Robert sering menceritakan kepada orang-orang bahwa sudah menjadi takdir sejak dini bahwa ia akan menjadi pengembang real estate yang kejam.
"Saya akhirnya menggunakan semua blok buku tersebut dan ketika selesai, saya sadar telah menciptakan bangunan yang indah," tulis Trump. "Aku menyukainnya dan bersama Robert terpaku bersama-sama, dan itulah akhir dari blok buku Robert," tambahnya.
Seni dari sebuah kesepakatan "The Art of Deal"
Melihat sang ayah menghancurkan para pesaing, Trump junior saat itu menggambarkan, Fred, ayahnya, sebagai orang yang keras, agresif, dan praktis sifat itu juga secara alami menurun kepadanya. Fred adalah seorang pengembang di Queens yang fokus pada perumahan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Ayah saya akan memulai sebuah bangunan di, katakanlah, Flatbush [Queens]. Pada saat yang sama bahwa dua pesaing mulai memasang bangunan mereka sendiri di dekatnya. Selalu, ayah saya akan menyelesaikan bangunan itu tiga, atau empat bulan sebelum pesaingnya lakukan," tulisnya.
"Bangunannya akan selalu menjadi sedikit lebih indah daripada dua kompetitornya, dengan lebih bagus. Lobi lebih luas dan kamar yang lebih besar di apartemen sendiri dan sang penyewa begitu cepat datang. Akhirnya, salah satu, atau kedua pesaingnya akan bangkrut sebelum mereka akan menyelesaikan bangunan mereka, dan ayah saya akan masuk dan membeli mereka," dia menambahkan.
Bergaul dengan guru militer yang kiler
Ketika itu, ayah Trump mengirimnya ke akademi militer di New York, untuk membuatnya disiplin dan menghindarinya dari masalah yang sering dilakukannya ketika masih kecil. Dia bergabung pada umur 13 tahun dan belajar dari kelas delapan hingga mengakhiri masa sekolah menengah atas dan lulus sebagai kapten taruna.
Dalam hal ini, dia berterima kasih atas pelajaran yang didapatkan dalam akademi. Di mana, dia dapat belajar menyalurkan agresifitasnya menjadi sebuah prestasi.
Seorang guru bisbol, Theodore Dobias menuliskan menjadi salah satu motivatornya kala itu. Dobias yang sempat bertugas di Angkatan Darat dalam Perang Dunia II, tidak mentolelir rasa ketidakhormatan dari setiap muridnya.
Trump mengatakan, jika membantah, tamparan keras yang akan diterima muridnya, dan banyak murud yang ketika marah menjadi menciut di hadapan Dobias.
Meskipun demikian, Trump mencoba belajar bagaimana bergaul dengan Dobias. " Apa yang saya lakukan pada dasarnya adalah menyampaikan bahwa saya menghormati otoritas dengan tulus, tanpa tekanan dari Dobias," tulisnya.
Menyadari bahwa pendidikan di universitas tidak meningkatkan kopetensinya, Trump menulis, karena ayahnya tidak mampu untuk membayar biaya kuliah.
Tetapi, ketika dia masuk ke Universitas Pennsylvania Sharton dan menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang tinggi, dia menyadari bahwa pandangan ayahnya mengenai kuliah adalah idealisme semata.
Dia mengaku merasa senang memperoleh gelar dari sekolah elit, tetapi ia juga menyadari bahwa itu jauh dari jaminan keberhasilan di masa depan.
"Tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa tidak ada yang sangat mengagumkan, atau luar biasa tentang teman sekelas saya, dan bahwa saya bisa bersaing dengan mereka baik-baik saja," tulisnya.
Menonton penobatan Ratu Elizabeth dengan ibunya
Ketika Trump berusia enam tahun pada 1953, ia melihat ibunya, seorang ibu rumah tangga imigran dari Skotlandia, terpesona oleh kemegahan penobatan Ratu Elizabeth II. Ayahnya membenci keluarga kerajaan dan merasa terganggu dengan cara istrinya, saat menceritakan kisah mengenai keluarga kerajaan. Tetapi, Trump mengaku bisa mengidentifikasi apa yang dirasakan ibunya.
"Melihat ke belakang, saya menyadari sekarang bahwa saya mewarisi beberapa sifat dari ibu saya," tulisnya. "Dia selalu memiliki bakat untuk dramatis dan pemurah. Dia adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat tradisional, tetapi dia juga memiliki rasa dunia di luar dirinya," ceritanya. (asp)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Melihat sang ayah menghancurkan para pesaing, Trump junior saat itu menggambarkan, Fred, ayahnya, sebagai orang yang keras, agresif, dan praktis sifat itu juga secara alami menurun kepadanya. Fred adalah seorang pengembang di Queens yang fokus pada perumahan masyarakat berpenghasilan rendah.