DPR: Negara Seharusnya Tak Hanya Minta Maaf ke Soekarno
Selasa, 6 Oktober 2015 - 00:56 WIB
Sumber :
- Dok. Istimewa
VIVA.co.id
- Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengusulkan agar Presiden mengidentifikasi persoalan masa lalu yang belum dituntaskan. Hal ini menanggapi adanya wacana negara meminta maaf kepada Presiden pertama RI, Soekarno.
Baca Juga :
Kasus Tragedi 1965 Harus Diselesaikan
Fahri mengatakan, bukan hanya sejarah mengenai Soekarno saja yang perlu ditempatkan secara proporsional, tapi juga sejarah tokoh-tokoh lain.
"Saya mengusulkan harusnya Presiden yang bisa membuka persoalan identifikasi beban masa lalu yang belum kita tuntaskan. Karena bukan hanya Soekarno yang harus kembali ditempatkan dalam sejarah sebagai baik dan proporsional, tapi ada banyak tokoh lain," kata Fahri, di Jakarta, Senin 5 Oktober 2015.
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, hanya Presiden yang bisa ambil inisiatif untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara komprehensif.
"Tentu, Presiden harusnya ambil inisiatif. Kalau dari DPR akan sulit, karena di DPR banyak beda pendapat, 560 orang berpendapat," Fahri menjelaskan.
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di MPR, Ahmad Basarah, menilai negara seharusnya meminta maaf kepada Soekarno dan keluarganya. Alasannya, TAP MPRS XXXIII/1967 dicabut.
Menurut Basarah, Soekarno adalah korban peristiwa G30S. Akibat dari peristiwa tersebut, kekuasaannya dicabut melalui TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967 dengan tuduhan bahwa Soekarno telah mendukung G30S yang juga dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia.
Namun, cucu proklamator Soekarno, Puan Maharani, mengatakan, pernyataan Ahmad Basarah adalah opini pribadi. Menurut perempuan yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), mengaku permintaan maaf resmi negara bisa dilakukan dengan mencabut TAP MPRS itu.
"Masih ada TAP-TAP yang sampai saat ini mengganjal, itu memang diinginkan oleh keluarga untuk diselesaikan," kata Puan di sela rapat kabinet terbatas di kantor Kepresidenan, Jakarta, pada Senin, 5 Oktober 2015.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, hanya Presiden yang bisa ambil inisiatif untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara komprehensif.