Menilik Tradisi Unik Megibung di Bali
Jumat, 11 September 2015 - 05:23 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id -
Masyarakat Karangasem, Bali, mempunyai tradisi unik yang biasa dilakukan setelah usai upacara adat. Budaya ini disebut megibung, yakni beberapa kelompok orang duduk bersila dan membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran terhidang gundukan nasi beserta lauk pauk di atas nampan.
Namun tradisi ini tak hanya dilakoni warga Karangasem yang memeluk agama Hindu. Umat muslim pada beberapa daerah di Karangasem ternyata juga menggelar kegiatan serupa. Tradisi makan bersama dengan menu tradisional ini diselenggarakan di masjid setempat bertepatan dengan perayaan Hari Raya Lebaran.
Konon asal mula tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Saat itu salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ketut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak, Lombok.
Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok, dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat.
“Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama Hindu, seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura,” ujar Wayan Siwi, warga Desa Ababi, Karangasem, kepada VIVA.co.id, belum lama ini.
Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang, yakni alas makan dari tanah liat atau kayu, yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa). Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi.
Aturan tidak tertulis
Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada zaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.
Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap.
Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urap.
Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur.
Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang.
Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, alias air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi. Untuk kepraktisan, kini air kendi diganti dengan air mineral kemasan. Di beberapa tempat, selesai megibung biasanya dilanjutkan dengan acara minum tuak.
“Saat megibung tidak boleh bicara dan ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat,” katanya.
Ketika semua orang atau sela telah menyelesaikan makannya, maka pepara mempersilakan orang-orang meninggalkan tempat. Makan bersama ini harus diakhiri secara bersama-sama juga.
Baca Juga :
Jemput Wisatawan, Pemalang Akan Bangun Bandara
Konon asal mula tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Saat itu salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ketut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak, Lombok.
Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok, dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat.
“Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama Hindu, seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura,” ujar Wayan Siwi, warga Desa Ababi, Karangasem, kepada VIVA.co.id, belum lama ini.
Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang, yakni alas makan dari tanah liat atau kayu, yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa). Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi.
Aturan tidak tertulis
Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada zaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.
Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap.
Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urap.
Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur.
Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang.
Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, alias air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi. Untuk kepraktisan, kini air kendi diganti dengan air mineral kemasan. Di beberapa tempat, selesai megibung biasanya dilanjutkan dengan acara minum tuak.
“Saat megibung tidak boleh bicara dan ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat,” katanya.
Ketika semua orang atau sela telah menyelesaikan makannya, maka pepara mempersilakan orang-orang meninggalkan tempat. Makan bersama ini harus diakhiri secara bersama-sama juga.
Baca Juga :
Pemalang Siap Tawarkan Desa Wisata Cikendung
Rencananya ada rumah pohon di desa wisata tersebut.
VIVA.co.id
10 April 2016
Baca Juga :