Komisi X Serap Masukan RUU Kebudayaan di Sumut
Kamis, 10 September 2015 - 12:11 WIB
Sumber :
VIVA.co.id
- Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang sedang dirumuskan oleh Komisi X DPR RI, terus memperkaya masukan dan aspirasi dari para tokoh adat dan akademisi di daerah. Kali ini, Komisi X menyerap masukan berharga dari tokoh dan akademisi di Sumatera Utara (Sumut).
RUU Kebudayaan yang merupakan insiatif DPR ini, terus dimatangkan pembahasaannya setelah tiga periode keanggotaan DPR (15 tahun) tak kunjung bisa diundangkan. Bertempat di Kantor Gubernur Sumut, Rabu 9 September 2015, tim kunjungan kerja (kunker) Komisi X mendapat masukan penting di Sumut yang sangat kaya dengan keragaman budayanya. Hadir dalam pertemuan tersebut Sekda Sumut, para kepala dinas, dosen, dan tokoh adat.
Baca Juga :
Banggar DPR: Target Tax Amnesty Terlalu Ambisius
Baca Juga :
Komisi XI: Postur APBN-P 2016 Tidak Kredibel
Para budayawan di Sumut sangat mendukung lahirnya UU yang mengatur tentang kebudayaan ini untuk melindungi warisan kebudayaan nasional. Dengan UU ini ada payung hukum bagi pemerintah untuk bertindak menyelamatkan kearifan lokal. Ada sedikit masukan soal istilah dari tokoh dan budayawan Melayu. Kata ‘kebudayaan daerah’ dan ‘bahasa daerah’ dalam RUU ini mestinya diganti menjadi ‘kebudayaan etnik’ dan ‘bahasa etnik’.
Tim kunker Komisi X yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut adalah Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS), Sofyan Tan (F-PDI Perjuangan), Mujib Rohmat (F-PG), Sutan Adil Hendra (F-Gerindra), Ida Bagus Putu Sukarta (F-Gerindra), Jamal Mirdad (F-Gerindra), Lathifah Shohib (F-PKB), dan Reni Marlinawati (F-PPP). (www.dpr.go.id)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Para budayawan di Sumut sangat mendukung lahirnya UU yang mengatur tentang kebudayaan ini untuk melindungi warisan kebudayaan nasional. Dengan UU ini ada payung hukum bagi pemerintah untuk bertindak menyelamatkan kearifan lokal. Ada sedikit masukan soal istilah dari tokoh dan budayawan Melayu. Kata ‘kebudayaan daerah’ dan ‘bahasa daerah’ dalam RUU ini mestinya diganti menjadi ‘kebudayaan etnik’ dan ‘bahasa etnik’.