Obat Bisa Dicetak 3D? Ini Bahayanya
Sabtu, 22 Agustus 2015 - 03:40 WIB
Sumber :
- Reuters/Srdjan Zivulovic
VIVA.co.id
- Printer 3D merupakan buah hasil perkembangan teknologi terbaru. Perangkat tersebut memungkinkan dapat mencetak desain secara tiga dimensi, mulai dari menara, patung, mobil, hingga obat-obatan.
Meskipun sudah ada bukti bahwa obat-obatan bisa dicetak dengan printer 3D namun kualitasnya diragukan untuk bisa dikonsumsi oleh masyarakat umum. Padahal baru-baru ini Food and Drug Administration (FDA), yaitu badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, telah menyetujui perangkat medis, termasuk pil prosthetic yang dicetak 3D.
Baca Juga :
Bagian Tubuh yang Hilang Segera Bisa ‘Diganti’
Meskipun sudah ada bukti bahwa obat-obatan bisa dicetak dengan printer 3D namun kualitasnya diragukan untuk bisa dikonsumsi oleh masyarakat umum. Padahal baru-baru ini Food and Drug Administration (FDA), yaitu badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, telah menyetujui perangkat medis, termasuk pil prosthetic yang dicetak 3D.
Diketahui, obat baru tersebut dijuluki Spritam, yang dikembangkan oleh Aprecia Pharmaceuticals untuk mengontrol kejang yang disebabkan oleh epilepsi. Perusahaan itu mengatakan bahwa mereka berencana mengembangkan obat-obatan lain menggunakan teknologi 3D printing miliknya.
Menanggapi hal itu, Kaspersky melihat bahwa penggunaan printer 3D untuk kepentingan obat-obatan dirasa tak tepat. Seperti yang disampaikan oleh David Emm, Researcher - Global Research & Analysis Team, Kaspersky Lab.
Emm mengatakan, pemberitaan terbaru menyebutkan jika persetujuan FDA terhadap obat-obatan hasil cetak 3D itu akan memunculkan reaksi dan tanggapan yang berbeda.
"Di satu sisi, metode produksi terbaru ini memungkinkan pembuatan obat-obatan dengan dosis yang tepat serta kombinasi obat dapat diproduksi untuk kasus-kasus tertentu. Namun, seperti halnya teknologi baru, pastinya akan ada kemungkinan dampak negatif dari hal ini," ujar dia dalam keterangannya, Jumat, 21 Agustus 2015.
Emm menjelaskan, isu-isu seputar 3D printing mengundang banyak kontroversi. Seperti dketahui, teknologi ini semakin mudah didapatkan. Di satu sisi menawarkan banyak manfaat.
"Maka di sisi lain ada kemungkinan hal tersebut dapat dieksploitasi untuk membuat hal-hal yang berbahaya," tegas dia.
Emm menuturkan, mungkin hanya berlaku di industri obat-obatan. Teknologi 3D printing jelas dirancang untuk membantu menghasilkan dosis dan kombinasi obat tertentu. Namun seiring dengan itu juga memungkinkan teknologi ini tersedia bagi orang-orang dengan niat jahat.
Kemudian, ia menambahkan, saat ini obat-obatan diproduksi di lokasi yang dirancang khusus dengan kontrol dan peraturan yang ketat.
"Namun, jika perangkat yang digunakan untuk melakukan hal ini di masa depan memiliki konektivitas internet, itu meningkatkan kemungkinan penyerang mengubah formulasi obat yang dicetak untuk membahayakan orang-orang yang meminumnya," jelasnya.
Seperti era Internet of Things, atau yang saat ini cenderung kita sebut sebagai sejumlah perangkat terkoneksi internet, telah membuat hidup kita jauh lebih mudah dan lebih praktis.
"Namun hal ini bukan berarti tidak adanya potensi perangkap dan ini menyoroti bahwa di mana perangkat yang terkoneksi internet tentunya memiliki dampak langsung pada kesehatan dan keselamatan kita, kontrol yang ketat dan pemeriksaan harus diterapkan, untuk mencegah gangguan berbahaya atau tidak disengaja," paparnya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Diketahui, obat baru tersebut dijuluki Spritam, yang dikembangkan oleh Aprecia Pharmaceuticals untuk mengontrol kejang yang disebabkan oleh epilepsi. Perusahaan itu mengatakan bahwa mereka berencana mengembangkan obat-obatan lain menggunakan teknologi 3D printing miliknya.