Gaya Pemerintah Kampanyekan PLTN Dikritik
VIVA.co.id - Gagasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia yang digelorakan pemerintah mendapat sorotan. Pemerintah diminta mengonsultasikan PLTN kepada publik dengan proses yang tertata berjenjang, terencana dan transparan.
Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Teknik Energi Universitas Kristen Indonesia, Atmonobudi Soebagio, Senin 17 Agustus 2015.
Atmonobudi menyarankan agar pemerintah tidak menggunakan strategi public relation semata dengan menggunakan anggaran APBN, untuk memaksakan penerimaan PLTN oleh masyarakat.
"Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan yang faktual, akurat, dan berimbang tentang resiko-resiko teknologi PLTN, kesempatan untuk menyatakan pendapat dan pandangan terkait dengan penerimaan PLTN, dan dialog yang berbasis pada kaidah keilmuan (scientific) sebelum pemerintah memutuskan go or not go nuclear," ujar Atmonobudi dalam keterangan tertulisnya.
Ia mengkritik praktek-praktek Kementerian ESDM dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang mengedepankan cara-cara public relation, dengan menggunakan media massa untuk menyampaikan pesan kesiapan pemerintah membangun PLTN. Cara itu juga dilakukan untuk membentuk opini publik bahwa masyarakat telah setuju dengan pembangunan PLTN.
"Padahal, selama ini tidak ada proses yang terbuka dan transparan dalam menjaring pendapat dan pandangan publik tetapi pemerintah seakan-akan sudah membuat keputusan membangun teknologi yang beresiko besar ini," katanya.
Dia juga mengingatkan sesuai PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, PLTN merupakan pilihan terakhir. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa pemerintah harus mengerahkan seluruh upaya untuk memanfaatkan potensi energi fosil dan energi terbarukan yang pesat, sebelum memutuskan membangun PLTN.
"Perkembangan teknologi energi terbarukan yang pesat, khususnya teknologi solar cell, biofuel, dan teknologi berbasis energi laut, akan membuat teknologi PLTN yang saat ini ada menjadi pilihan yang semakin tidak kompetitif di masa depan," kata dia.