Masyarakat Gemar Borong Baju Bekas karena Salah Kaprah
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA.co.id - Ketua Bidang Ritel Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Eddy Hartono, Senin, 16 Februari 2015, menyatakan bahwa perdagangan produk impor baju bekas yang marak di Tanah Air dipengaruhi stigma masyarakat yang salah kaprah terhadap barang bermerek luar negeri.
Menurut Eddy, faktor gengsi ini yang telah banyak mendorong masyarakat membeli pakaian bekas yang bermerek. Alasannya, tentu saja karena harganya sudah jauh lebih murah.
Kalau membeli produk dengan merek luar negeri dalam kondisi baru, terntunya harganya tinggi, mencapai jutaan rupiah. Bandingkan dengan yang dijual di pasar pakaian bekas, hanya berkisar Rp200 ribu hingga Rp500.000 per potong.
"Yang membeli tidak hanya masyarakat yang berpenghasilan rendah, tapi juga yang punya uang," kata Eddy.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita, menyatakan hal senada dengan Eddy. menurut Suryadi, masyarakat lebih senang membeli pakaian bekas yang 'branded' karena jauh lebih murah daripada pakaian baru yang mereknya tak populer.
"Murah banget, dari harganya jutaan rupiah untuk yang baru menjadi ratusan ribu rupiah untuk yang bekas," kata Suryadi.
Oleh karena itu, menurut Eddy, cara pandang masyarakat dalam memilih dan membeli produk harus diubah. Sebab, kualitas produk garmen lokal sebenarnya tak kalah dibandingkan produk impor.
"Produk kita ini tidak kalah dengan brand-brand top dunia," kata Suryadi.
Ia menyebutkan bahwa pada era Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto, garmen Indonesia mencapai keemasan. Indonesia bahkan sampai menjadi pengekspor produk tekstil terbesar di dunia.
Namun, kondisinya berbalik. Ekspor produk garmen amat lesu.
"Kita perlu menteri perdagangan dan menteri perindustrian untuk membenahi kesalahan ini untuk menuju masa emas kembali," kata Suryadi.
Baca juga: