Gudeg Khas Yogya Kini Ada yang Dikalengkan
Sabtu, 6 Desember 2014 - 07:34 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Daru Waskita
VIVAnews
- Yogyakarta memiliki makanan yang sangat khas dan populer, yaitu gedug. Hampir di berbagi ruas jalan yang di Yogyakarta pasti ditemui pedagang yang menjajakan gudeg, apalagi saat malam hari.
Sentra makanan gudeg paling terkenal dan rasanya sangat nikmat berada di kawasan Wijilan atau selatan Plengkung Mijilan.
Makanan yang diolah dengan cara tradisional ini dalam perkembangannya tidak lagi diolah secara tradisional.
Saat ini, gudeg sudah diolah secara pabrikan dan kemasannya menggunakan kaleng sehingga praktis dibawa kemana-mana, bahkan dalam jarak jauh. Gudeg dalam kaleng pun dapat tahan hingga satu tahun tanpa bahan pengawet.
Candra Setiawan Kusuma, salah pengusaha dan pemilik rumah makan di kawasan Wijilan ini mengatakan, meski sudah praktis dibawa dengan kendil sebagai hadiah atau oleh-oleh, namun masih terbentur makanan tersebut cepat basi sehingga sudah tidak layak untuk dimakan.
Kondisi ini mendorong Candra untuk mencari cara agar gudeg tersebut tetap tahan lama, namun tanpa bahan pengawet yang mengancam kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.
"Terbesit dalam pikiran saya makanan gudeg dikalengkan, sehingga tahan lama dan tidak menggunakan bahan pengawet. Banyak makanan siap saji yang juga dikemas dalam kaleng dan tahan lama," katanya kepada VIVAnews, Sabtu 6 November 2014.
Pada tahun 2011 pemikirannya pun terealisasi dengan membangun pabrik pengolahan gudeg di Kawasan Sorosutan. Dia mengaku, dalam satu hari mampu menghasilkan minimal 500 kaleng gudeg dengan berbagai rasa mulai dari gudeg pedas, super pedas, sedikit manis, dan rasa lainnya.
"Saat ini gudeg bukan lagi oleh-oleh tradisional, namun sudah modern dan mampu bersaing dengan produk makanan hasil olahan pabrikan yang lainnya," jelas pria tamatan ITS ini.
Pemilik usaha Gudeg Bu Lies mengatakan, setiap satu kaleng gudeg dijualnya dengan harga Rp30.000 dan cukup laris karena praktis dan tahan lama.
"Dari sejumlah rumah makan gudeg di kawasan Mijilan ini, baru kami yang mengolah gudeg dan kemasannya kaleng," bebernya.
Dua ton nangka per hari
Candra mengaku, dalam sehari dia membutuhkan berbagai bahan untuk produksi gudeg, di antaranya buah nangka mencapai dua ton per hari.
Bahan lainnya juga membutuhkan dalam jumlah besar, seperti gula merah, tempe, tahu, daging ayam dan aneka bahan bumbu lain.
"Untuk buah nangka kami datangkan dari wilayah Kabupaten Bantul dan sekitarnya yang masih banyak pohon nangka yang ditanam oleh masyarakat," ungkapnya.
Menurut dia, tantangan yang dihadapi produsen gudeg, yakni soal cita rasa gudeg. Sejalan dengan meningkatnya permintaan gudeg oleh konsumen dan tipe selera yang makin beragam, maka gudeg manis terus direkayasa dalam aneka rasa.
Soal bahan baku, ada sejumlah terobosan bahan utama, selain nangka muda juga manggar dan rebung.
"Chef di hotel tertentu berhasil mengembangkan sembilan varian bahan baku utama gudeg selain nangka muda," sebut Ketua Paguyuban Gudeg Wijilan ini.
Candra menjelaskan, bahan baku non nangka muda bisa mengatasi masalah kelangkaan bahan baku nangka.
Dia menyatakan, popularitas makanan khas Yogyakarta itu harus digalakkan, meski setiap orang telah mengenal gudeg.
“Cita-cita para produsen gudeg, bagaimana gudeg bisa menasional dan bahkan mendunia,” katanya, sehubungan bakal digelarnya Festival Gudeg Wijilan pada 23 Desember mendatang.
Dalam festival nantinya, 15 pemilik usaha gudeg di Wijilan akan memasak gudeg secara bersama-sama, termasuk dua pengusaha gudeg Yogyakarta, Juminten dan Slamet Dua perempuan ini disebutnya sebagai perintis masakan gudeg sejak 1950-an. Nantinya, hasil masakan gudeg akan dibagikan pada seribu pengunjung. (ren)
Baca Juga :
Targetkan 425 ribu Orang Bekerja di Luar Negeri, Menteri P2MI: Gaji Jabatan Terendah Bisa Rp 15 Juta
Saat ini, gudeg sudah diolah secara pabrikan dan kemasannya menggunakan kaleng sehingga praktis dibawa kemana-mana, bahkan dalam jarak jauh. Gudeg dalam kaleng pun dapat tahan hingga satu tahun tanpa bahan pengawet.
Candra Setiawan Kusuma, salah pengusaha dan pemilik rumah makan di kawasan Wijilan ini mengatakan, meski sudah praktis dibawa dengan kendil sebagai hadiah atau oleh-oleh, namun masih terbentur makanan tersebut cepat basi sehingga sudah tidak layak untuk dimakan.
Kondisi ini mendorong Candra untuk mencari cara agar gudeg tersebut tetap tahan lama, namun tanpa bahan pengawet yang mengancam kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.
"Terbesit dalam pikiran saya makanan gudeg dikalengkan, sehingga tahan lama dan tidak menggunakan bahan pengawet. Banyak makanan siap saji yang juga dikemas dalam kaleng dan tahan lama," katanya kepada VIVAnews, Sabtu 6 November 2014.
Pada tahun 2011 pemikirannya pun terealisasi dengan membangun pabrik pengolahan gudeg di Kawasan Sorosutan. Dia mengaku, dalam satu hari mampu menghasilkan minimal 500 kaleng gudeg dengan berbagai rasa mulai dari gudeg pedas, super pedas, sedikit manis, dan rasa lainnya.
"Saat ini gudeg bukan lagi oleh-oleh tradisional, namun sudah modern dan mampu bersaing dengan produk makanan hasil olahan pabrikan yang lainnya," jelas pria tamatan ITS ini.
Pemilik usaha Gudeg Bu Lies mengatakan, setiap satu kaleng gudeg dijualnya dengan harga Rp30.000 dan cukup laris karena praktis dan tahan lama.
"Dari sejumlah rumah makan gudeg di kawasan Mijilan ini, baru kami yang mengolah gudeg dan kemasannya kaleng," bebernya.
Dua ton nangka per hari
Candra mengaku, dalam sehari dia membutuhkan berbagai bahan untuk produksi gudeg, di antaranya buah nangka mencapai dua ton per hari.
Bahan lainnya juga membutuhkan dalam jumlah besar, seperti gula merah, tempe, tahu, daging ayam dan aneka bahan bumbu lain.
"Untuk buah nangka kami datangkan dari wilayah Kabupaten Bantul dan sekitarnya yang masih banyak pohon nangka yang ditanam oleh masyarakat," ungkapnya.
Menurut dia, tantangan yang dihadapi produsen gudeg, yakni soal cita rasa gudeg. Sejalan dengan meningkatnya permintaan gudeg oleh konsumen dan tipe selera yang makin beragam, maka gudeg manis terus direkayasa dalam aneka rasa.
Soal bahan baku, ada sejumlah terobosan bahan utama, selain nangka muda juga manggar dan rebung.
"Chef di hotel tertentu berhasil mengembangkan sembilan varian bahan baku utama gudeg selain nangka muda," sebut Ketua Paguyuban Gudeg Wijilan ini.
Candra menjelaskan, bahan baku non nangka muda bisa mengatasi masalah kelangkaan bahan baku nangka.
Dia menyatakan, popularitas makanan khas Yogyakarta itu harus digalakkan, meski setiap orang telah mengenal gudeg.
“Cita-cita para produsen gudeg, bagaimana gudeg bisa menasional dan bahkan mendunia,” katanya, sehubungan bakal digelarnya Festival Gudeg Wijilan pada 23 Desember mendatang.
Dalam festival nantinya, 15 pemilik usaha gudeg di Wijilan akan memasak gudeg secara bersama-sama, termasuk dua pengusaha gudeg Yogyakarta, Juminten dan Slamet Dua perempuan ini disebutnya sebagai perintis masakan gudeg sejak 1950-an. Nantinya, hasil masakan gudeg akan dibagikan pada seribu pengunjung. (ren)
Sandy Permana, Artis Sinetron 'Mak Lampir' Tewas Diduga Dibunuh di Bekasi
Artis Sandy Permana pemain sinetron 'mak lampir', tewas di pinggiran jalan Cibarusah, Kabupaten Bekasi.
VIVA.co.id
12 Januari 2025
Baca Juga :