Ketika Prabowo Bikin Takut Australia
Kamis, 22 Mei 2014 - 07:54 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews
– Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menganggap tenggat waktu penyelesaian kode tata kelakuan baik (
Code of Conduct
) sebagai syarat pulihnya hubungan RI-Australia merupakan sesuatu yang terburu-buru.
Untuk diketahui, dalam pembicaraan telepon dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott pada awal Mei, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono berharap COC sudah rampung bulan Agustus.
Akar masalah
Baca Juga :
Soal Kasus Ibu dan Anak Jadi Korban Pinjol, Menteri PPA Lakukan Koordinasi dengan Kemenkomdigi
Baca Juga :
Beruntungnya Pengguna Telkomsel, Cuma dengan Nomor HP dapat Diskon Hotel dan Tiket Pesawat
Untuk diketahui, dalam pembicaraan telepon dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott pada awal Mei, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono berharap COC sudah rampung bulan Agustus.
Menurut Hikmahanto, proses pemulihan hubungan yang demikian hanya menunjukkan kasus kisruh hubungan RI-Australia menyangkut ego pribadi Presiden SBY, bukan masalah negara.
“Saya melihat hubungan kedua negara harus membaik semata-mata karena tenggat waktu kepemimpinan Presiden SBY yang sebentar lagi akan berakhir,” ujar Hikmahanto, 22 Mei 2014. Masa jabatan SBY sebagai Presiden RI akan berakhir pada bulan Oktober.
Hikmahanto khawatir COC akan diselesaikan seadanya. “Saya prediksi COC tidak akan sampai detail. Pembuatan COC kan membutuhkan negosiasi, sementara negosiasi membutuhkan waktu yang mungkin sampai lewat Agustus. Yang terpenting ketika ditanya dan ditagih rakyat (di akhir periode SBY menjabat), COC-nya sudah ada,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UI itu.
Dalam hal ini, ujar Hikmahanto, terlihat seolah-olah RI tidak tegas dalam menyikapi kasus penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Australia. Dia berpendapat, seharusnya setelah penarikan Duta Besar RI untuk Australia Nadjip Riphat Kesoema, pemerintah RI turut mengusir Dubes Australia Greg Moriarty.
“Dengan begitu saat memulai kembali proses pemulihan hubungan bisa lebih baik. Tidak seperti sekarang yang seolah-olah tanggung. Dalam kasus ini, rakyat melihat SBY yang memulai tetapi dia juga yang meminta untuk diakhiri,” kata Hikmahanto.
Dia menilai seharusnya Indonesia bisa lebih tegas di masa mendatang di bawah kepemimpinan baru. “Apabila tampuk kekuasaan dipegang oleh Pak Jokowi dan JK, maka mereka akan melihat kondisi yang terjadi saat ini dan belajar dari pengalaman rezim SBY. Sementara apabila Prabowo dan Hatta Rajasa yang terpilih, maka kebijakan yang diambil akan lebih mementingkan Indonesia,” kata Hikmahanto.
Apabila Prabowo yang naik jadi presiden, ujar Hikmahanto, tidak bakal ada kompromi. Itu sebabnya, menurut Hikmahanto, Australia cukup khawatir bila Prabowo berkuasa.
Hikmahanto mengingatkan agar sikap tegas yang ditunjukkan oleh masing-masing calon presiden tidak hanya terjadi saat masa kampanye saja. “Mereka harus merealisasikan janji-janji ketika masa kampanye, khususnya yang menyangkut kebijakan luar negeri. Jangan nanti setelah duduk di kursi kekuasaan, lalu lupa,” kata dia.
Akar masalah
Hubungan RI-Australia memanas setelah skandal penyadapan terhadap Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono berserta sejumlah pejabat tinggi RI lainnya terungkap di media Australia, November 2013. Presiden SBY lantas menarik Dubes Nadjip dari Canberra ke Jakarta untuk berkonsultasi.
Sebagai syarat untuk pemulihan hubungan, Presiden SBY mengajukan enam langkah yang akhirnya dibuat tata kode kelakuan baik atau COC pada 26 November 2013. Keenam langkah itu yakni pertama, Menteri Luar Negeri kedua negara membicarakan secara mendalam dan serius isu-isu sensitif berkaitan dengan hubungan bilateral kedua negara paska terbongkarnya penyadapan.
Kedua, setelah ada kesepakatan, maka akan ditindaklanjuti dengan pembahasan protokol dan kode etik secara lengkap dan mendalam. Ketiga, SBY akan memeriksa konsep protokol dan kode etik itu. Keempat, pengesahan kode etik akan dilakukan di hadapan Presiden SBY dan PM Tony Abbott.
Kelima, kedua negara harus membuktikan kode etik itu dipenuhi dan dijalankan. Keenam, setelah kode etik dijalankan, maka kepercayaan terhadap Australia diharapkan muncul kembali.
Namun penyelesaian COC ini berpotensi terhambat dengan kebijakan Angkatan Laut Australia yang mendorong perahu pencari suaka ke perairan Indonesia. (adi)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Menurut Hikmahanto, proses pemulihan hubungan yang demikian hanya menunjukkan kasus kisruh hubungan RI-Australia menyangkut ego pribadi Presiden SBY, bukan masalah negara.