Sang Kapten dari Pinggir Lapangan
- BBC.co.uk
Pertengahan tahun ini, Piala Dunia kembali digelar, kali ini di Brasil. Hampir semua penggemar bola, tentu sudah tak sabar menunggu pesta empat tahun sekali itu digelar.
Penggemar bola? Sejak kapan kita menggemari bola? Kita? Baiklah, sejak kapan saya dan kalian mulai menggemari sepakbola. Sambil menunggu datangnya Piala Dunia, dimulai dari artikel ini, mari kita ingat-ingat dulu, kenangan paling jauh ke belakang dari hidup kita yang berhubungan dengan sepakbola.
Ingatan terjauh ke masa lalu yang berhubungan dengan sepakbola saya begini, saya masih ingat masa di mana saya tinggal di Medan, Bapak ditugaskan bekerja sebagai teknisi lokomotif pada bengkel kereta di kota itu. Pada suatu sore, tanggal dan tahunnya saya lupa, sepulang Bapak saya bekerja, Bapak mengajak saya dengan sepeda onthelnya, pergi ke stadion Teladan Medan.
Saat itu, kami duduk di tribun terbuka. Saya masih ingat, di balik pagar kawat di depan saya, saya melihat bangku cadangan Medan Jaya. Bapak membeli sebuah telur rebus, karena saya tak suka memakan telur kuningnya, saat itu saya berlari ke pagar kawat dan menyodorkan telur kuning pada salah satu pemain Medan Jaya. Saya ingat sekali, Bapak berkata; "Itu Iwan Karo-Karo".
Sejak itu, saya menyukai sepakbola. Bapak selalu mendengar laporan pandangan mata sebuah pertandingan bola lewat radio transistor milik keluarga kami. Di sekolah, SD 060863, saat itu saya kelas 1 SD, saat pelajaran olahraga, sekelas kami selalu bermain bola. Sampai suatu ketika, kelas kami diajak bertanding bola lawan anak-anak kelas 2. Hari itu sepulang sekolah, di lapangan sepakbola yang terletak persis di depan sekolah, kelas 1 berhadapan dengan kelas 2.
Saya masih ingat betul kisah itu, teman-teman sekelas saya mendapuk saya sebagai 'Kapten' kesebelasan. Saya berdiri di depan dan menggiring bola, mengumpan ke sana ke mari, dan berusaha membuat gol. Sampai kemudian, saya mendengar bek lawan meneriakkan nama bapak saya dengan nada meledek. Saya masih ingat siapa orangnya, namanya Jefri, ia bertubuh besar dan selalu berdiri di depan gawangnya sebagai bek.
Mulanya, saya tak mempedulikan ledekan-ledekan Jefri. Sampai kemudian saya mendapat operan bola, dan membawanya ke arah gawang lawan, lalu terdengarlah suara ledekan Jefri meneriakkan nama bapak saya. Kami berhadap-hadapan, dan seketika, saat Jefri meledek lagi, saya melupakan bola di kaki saya, namun menghantamkan kepalan tangan saya ke wajah Jefri. Anak itu tersungkur ke rumput lapangan, lalu menangis.
Dan saya kembali ke bola saya dan menendangnya ke arah gawang, gol!
Saya masih ingat betul, teman-teman sekelas berteriak ke arah saya "kapten! kapten! kapten!" Dan saya dirubung oleh mereka. Kelas saya menang hari itu.
Itu kenangan terjauh saya tentang sepakbola, kira-kira saat itu saya masih berusia tujuh tahun. Apakah saya sudah menjadi penggemar bola? Bisa jadi itu awalnya, saya sudah menggemari, namun belum pada klub tertentu. Klub sepakbola pertama yang saya tonton langsung di stadion mungkin Medan Jaya, tapi kenangan saya terlalu tipis pada klub itu.
Sampai kemudian, bapak dipindahtugaskan kembali ke kota kelahiran saya, Yogya. Saat itu, saya masih sekolah dasar, dan memasuki fase sunatan. Ibu saya kelahiran Yogya, Nenek saya juga menetap di Yogya. Tapi, dua orang anak tertua nenek saya, kakak ibu saya, laki-laki dua orang menetap di Kota Bandung. Sejarahnya cukup panjang jika diceritakan di sini, yang jelas keluarga nenek terpisah saat peristiwa Bandung Lautan Api.
Nah, saat saya sunatan itulah, kelas 3 sekolah dasar, dua orang kakak ibu saya datang dengan kereta api Mutiara Selatan dari Bandung. Sebagai orang Jawa, dua kakak ibu saya itu biasa saya panggil 'pakde'. Maka, dua 'pakde' saya itulah yang merawat saya selama masa sunatan itu. Suatu sore, saat pakde saya itu sedang mengganti perban yang membungkus 'burung' saya, ia berkata; "Sekarang kamu sudah resmi jadi laki-laki,"
katanya seraya membuka perban, kemudian ia melanjutkan kata-katanya yang tak akan saya lupa, "Satu hal lagi yang akan membuat kamu resmi jadi laki-laki adalah tiap laki-laki harus memiliki tim sepakbola favorit," ujarnya lagi.
Kemudian ia membuka sebuah bungkusan koran, "Ini oleh-oleh dari pakde, tim terhebat di dunia," berkata begitu, pakde membentangkan sebuah kaos berwarna biru dengan lengan putih. Pada dada kaos biru itu tertera tulisan dengan huruf putih; PERSIB.
Sejak hari itu, saya menyukai Persib Bandung.
Menanamkan sesuatu memang sebaiknya dilakukan sejak dini. Di era modern saat ini, bahkan brand-brand besar mulai memasukkan produk-produk mereka dalam buku cerita yang ditujukan untuk anak kecil. Salah satu majalah anak-anak di Indonesia pernah diprotes karena memuat satu merek mobil sebagai mobil tokoh kartun idola anak-anak di dalamnya. Ingatan-ingatan yang ditanamkan di masa kecil itu, akan berkesan sampai si anak dewasa.
Mungkin ingatan masa kecil pula yang membawa David Joseph Beckham mencintai klub Manchester United. Ayah Beckham, Ted Beckham, seorang tukang ledeng selalu membawa Beckham kecil jauh-jauh dari tempat tinggal mereka di London untuk menonton Manchester United bertanding di Old Trafford setiap pekan. Mungkin pada masa Beckham kecil itu, ayahnya selalu berkata; "Inilah klub terhebat di dunia", hingga hal itu tertanam di benak Beckham kecil. Sampai suatu ketika, saat Beckham ditanya gurunya di sekolah "Apa cita-citamu?" Beckham kecil menjawab; "Menjadi pemain bola." Gurunya bertanya lagi karena kurang yakin, "Apa cita-citamu sebenarnya?" Beckham mengulang jawabannya, "Pemain sepakbola."
Maka, ketika David Beckham ternyata memiliki bakat sebagai pemain bola, hingga ia diterima bergabung bersama Totenham Hotspur, klub papan atas yang notabene berasal dari kota kelahirannya, London. Ketika Sir Alex Ferguson datang kepadanya di usia 16 tahum, Beckham tetap pindah ke
Manchester United, klub yang disukai ayahnya, dan selalu ia tonton pertandingannya setiap akhir pekan.
Lima tahun kemudian, 17 Agustus 1996, saat itu usia David Beckham 21 tahun. Ia turun memperkuat Manchester United saat klub itu bertandang
ke Selhurst Park, kandang Wimbledon. Pada menit ke-90, di Selhurst Park saat itu, United sudah unggul 2-0, dan Beckham mendapat bola tepat di
garis tengah lapangan, ia segera melepaskan tendangan jarak jauh itu, dan kiper Neil Sullivan gagal menangkapnya.
Saat bersamaan, saat itu saya duduk di kelas 1 SMA, jauh dari Inggris. Saya sedang menghadiri pengajian memperingati hari kemerdekaan di kantor RW di kampung saya. Ketika di bagian lain ruangan, saya mendengar suara orang-orang riuh. Ketika saya mengintip, orang-orang ternyata sedang menonton siaran langsung sepakbola dari tv cembung berukuran kecil, saya melihat sosok yang memakai jersey merah bernomor punggung 10 dengan celana putih menerima bola dan menendangnya ke arah gawang, dan satu ruangan berteriak. Itulah aksi pertama David
Beckham yang saya lihat pertama kali, juga saya kenang hingga kini.
"Itu siapa yang main, kok bajunya merah putih? Indonesia ya?" begitu tanya saya. Orang-orang di ruangan itu tertawa, dan begitulah pertamakali saya mengenal Manchester United.
Dari David Beckham, saya mulai mengenal Sir Alex Ferguson, saya mulai mengenal Eric Cantona. Dan mulai mengenal Manchester United dan pemain-pemain hebatnya, serta kandang tempatnya bermain, Theatre of Dreams. Old Trafford.
Tapi, di masa itu, saya juga mulai sadar bahwa saya tak berbakat sama sekali untuk bermain bola. Tapi, sepakbola sudah menjadi olahraga kesukaan saya. Masa SMA itu, saya sudah mempunyai dua klub favorit yang berada jauh dari tempat saya tinggal di Yogya, pertama tentu Persib Bandung, kedua adalah Manchester United.
Minimnya bakat sepakbola yang ada dalam diri saya, membuat saya mulai berada di pinggir lapangan. Dimulai sejak saya lebih memilih bermain game komputer Championship Manager (kini Football Manager) yang lebih mengedepankan strategi ketimbang PlayStation yang lebih mengandalkan skill. Di dunia nyata, saya lebih suka mengurusi tim sepakbola dan kompetisinya.
Maka dimulailah saya mengurus tim sepakbola, diawali dengan tim kampung saya yang bernama Mutiara FC. Mutiara dari nama jalan di kampung saya, Mutiara Selatan, juga nama kereta api yang terkenal itu karena kampung saya adalah kompleks perumahan kereta api. Saya mulai menikmati mengurus tim, mendesain kostum tim, mengurus sewa lapangan dan lain-lain. Pengalaman di kampung saya bawa ke sekolah. Di SMA, saya mengurusi tim saya ikut kompetisi liga sekolah, kompetisi antarkelas yang diberi nama Kambing Cup.
Dan ketika kuliah, saya kembali mengurusi tim sepakbola. Dimulai dengan tim sepakbola angkatan, yang sepakat diberi nama Soccerrecht, paduan kata soccer dan recht yang artinya hukum. Ya, saya kuliah di fakultas Hukum kala itu. Soccerecht saya dapat inspirasinya dari Timnas Australia yang disebut Socceroos.
Karir saya sebagai pengurus tim sepakbola masih berlanjut. Sukses memegang tim angkatan di Fakultas Hukum, saya dipercaya mengurusi Tim Fakultas, hingga akhirnya saya ikut berpartisipasi mendirikan Liga Super Universitas Islam Indonesia pada tahun yang sama dengan kepindahan Gabriel Batistuta dari Fiorentina ke AS Roma.
Saya adalah Sekretaris Jenderal Liga Sepakbola UII pada musim pertama dan keduanya. Hingga kini, kompetisi itu masih ada, hasil didikannya menjadi sebuah tim yang diberi nama Timnas UII, kini Timnas UII kini menjelma menjadi PS UII dan bertanding di kompetisi Divisi Utama PSS Sleman.
Setelah klub lokal Indonesia, klub luar negeri, ingatan saya pun memasuki fase tim nasional. Saya berada di dalam bus pariwisata yang membawa
saya dan teman-teman satu kelas di SMP menuju tempat wisata saat libur sekolah. Kala tv dalam bus menyiarkan siaran langsung Piala Dunia, masa
itu Piala Dunia digelar di Amerika, jadi jam tayang di Indonesia adalah pagi jelang siang. Saya ingat betul kala tendangan Roberto Baggio melesat
tinggi di atas gawang siapa saya lupa. Mungkin kalian ingat momen itu?
Tapi, Italia bukanlah Tim Nasional idola saya. Karena David Beckham-lah saya mendukung The Three Lions, tim nasional Inggris. Kenangan terkuat
pada The Three Lions adalah saat saya baru lulus SMA. Malam itu adalah malam perpisahan dengan teman-teman SMA usai kelulusan. Acara yang
digelar di sebuah vila di kawasan wisata Sarangan, Jawa Timur, itu menjadi kelabu bagi saya karena David Beckham di kartu merah.
Saat itu, seingat saya, saya menangis dan wali kelas saya datang menghampiri dan membesarkan hati saya. Sejak peristiwa Beckham dikartu merah itu, hingga kini, saya tetap tak mendoakan Atletico Madrid menjadi jawara Liga Spanyol.
Itulah kenangan-kenangan terjauh saya tentang sepakbola. Sejak pertama kali mengenal pertandingan si kulit bundar, hingga saya mengidolai klub-klub sepakbolanya. Tentu kalian semua punya kisah-kisah dan kenangan-kenangan yang membuat kalian mendukung sebuah klub bola, seperti dukungan saya pada Persib Bandung dan Manchester United, dari dulu hingga kini. Eduardo Galeano pernah berpendapat; "In his life, a man can change wives, political parties or religions but he cannot change his favourite football team."
Coba diingat-ingat lagi, kenangan-kenangan kalian semua tentang awal-awal jatuh cinta pada sepakbola, hingga klub-klub yang sekarang kalian dukung sepenuh hati, seiring perjalanan kita menuju Piala Dunia 2014 di Brasil nanti. Saya, Sang Kapten dari Pinggir Lapangan, akan menemani bersama kisah-kisah saya dan sepakbola berikutnya, pekan depan. (Fajar Nugros)
Fajar Nugros adalah sutradara film Cinta Di Saku Celana, Cinta Brontosaurus, Refrain dan Adriana. Ia menulis skenario film Tendangan Dari Langit, dan menyutradarai film independen tentang sepakbola berjudul Sangat Laki-Laki, di tahun David Beckham pindah dari Manchester United ke Real Madrid.