Hutama Karya Garap Tol Trans Sumatera Langgar UU?
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews - Rencana pemerintah menunjuk langsung kepada PT Hutama Karya (persero) untuk membangun dan mengelola jalan tol Trans Sumatera serta ruas tol lainnya yang layak ekonomi tapi tak layak secara finansial mendapat kritikan dan tentangan masyarakat.Â
Penunjukkan langsung pemerintah yang disertai dengan penggelontoran besar-besaran uang negara sebesar Rp5 triliun, selain melanggar undang- undang yang ada, dapat dikategorikan melakukan tindakan korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
"Rencana pemerintah yang akan menunjuk Hutama Karya bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, sekaligus melanggar tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan," kata Direktur Pengembangan Centre for Information Development Studies (CIDES) Hilmi R Ibrahim, dalam diskusi publik 'Pro Kontra Penunjukkan Langsung Hutama Karya Sebagai Pembangun dan Pengelola Jalan Tol' di Jakarta, Rabu 13 Maret 2013.
Pengamat kebijakan publik ini mengungkapkan, undang–undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, pasal 50 mengamanatkan bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan oleh badan usaha (BUMN, BUMND, maupun badan usaha milik swasta).
Tentunya, bila pengusahaan jalan tol tidak dapat dillakukan oleh badan usaha, pemerintah dapat mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya.
Sementara, pasal 51 ayat 1 menyebutan,pengusahaan jalan tol yang diberikan pemerintah kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 (4) dilakukan melalui pelelangan secara transfaran dan terbuka.
Ayat 3 (tiga), badan usaha yang mendapatkan hak pengusahaan jalan tol berdasarkan hasil pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengadakan perjanjian pengusahaan jalan tol dengan pemerintah.
"Jelas, undang-undang yang sudah disusun oleh pemerintah bersama para wakil rakyat atau anggota DPR dengan biaya mahal ini, mengharuskan pemerintah melakukan pelelangan secara transparan dan terbuka terlebih dahulu," ujarnya.
"Jadi, bukan lewat penunjukkan langsung. Nah, apakah pemerintah sudah melakukan pelelangan secara terbuka dan transparan atau belum untuk melakukan pembangunan secara fisiknya? Nyatanya belum," tambah Dosen Universitas Nasional ini.
Menurut Hilmi, kewenangan pemerintah untuk ruas ruas tol yang hanya layak secara ekonomi, namun secara keseluruhan belum layak secara finansial adalah pemerintah melakukan pendanaan, perencanaan teknis, dan melaksanakan konstruksi. Sedangkan operasional dan pemeliharaan dilakukan oleh badan usaha yang pemilihannya dilakukan melalui lelang bukan penunjukkan langsung.
"Dengan demikian, peraturan Presiden yang akan dikeluarkan berkaitan dengan penunjukkan Hutama Karya untuk pengusahaan jalan tol tidak boleh diterbitkan karena bertentangan dengan UU Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan dan peraturan pemerintah nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan," tuturnya.
Selain melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada, jika penunjukkan langsung tetap dipaksakan pemerintah, hal tersebut melanggar prinsip-prinsip efisiensi.Â
Apabila pemerintah menggelontorkan uang APBN sebesar Rp5 triliun, kemudian melakukan penunjukkan langsung kepada Hutama Karya, pemerintah hanya akan mendapatkan jalan tol dengan panjang tertentu dengan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dan Hutama Karya.
"Jika pemerintah tetap akan memaksakan penunjukkan langsung, hal ini akan menutup kesempatan BUMN lainnya atau konsorsium badan usaha lainnya yang sudah berpengalaman dalam membangun dan mengelola jalan tol. Dengan dana sebesar Rp5 triliun, pemerintah dan masyarakat bisa mendapatkan jalan tol yang lebih panjang dan berkualitas dibandingkan hanya lewat penunjukkan langsung," jelas Hilmy.
Century Jilid II
Sementara itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Eman Sulaeman Nasim berpendapat, segala hal yang bersifat penunjukkan langsung disertai rekayasa perubahan peraturan dan perundang- undangan yang ada seperti yang akan dilakukan dengan pembangunan jalan tol, rawan dengan penyelewengan. Apalagi dana yang akan dgelontorkan sangat besar, Rp5 triliun. Apabila hal ini tetap dilakukan pemerintah, akan muncul kasus Century jilid II.
"Apalagi, saat ini mendekati pemilihan umum dan pemilihan Presiden. Partai politik maupun orang-orang yang akan berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilpres membutuhkan dana yang amat besar. Bila penujukkan langsung disertai penggelontoran dana APBN sebesar Rp5 triliun tetap dipaksakan, wajar jika masyarakat menduga dananya nanti akan digunakan untuk mensukseskan salah satu parpol maupun tokoh yang berminat menjadi capres," katanya.
Untuk menghindari dugaan dan praduga masyarakat tersebut, Eman menyarankan agar pemerintah bekerja sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Selain itu, jika ingin membangun, termasuk pembangunan jalan tol, lakukan secara tarnsparan, efisien dan terbuka. "Bukan dengan cara penunjukkan langsung," tegasnya. (asp)