Argumentasi PDI-P Tolak Kenaikan Harga BBM
- VIVAnews/Anhar Rizki
VIVAnews - Menjelang sidang paripurna tingkat II yang membahas dan mengesahkan APBN-Perubahan 2012, Fraksi PDI-P membagi-bagikan buku berjudul "Argumentasi PDI Perjuangan Menolak Kenaikan Harga BBM". Buku itu berisi bantahan tiga argumentasi pemerintah untuk menaikkan BBM.
Dalam buku itu disebutkan, argumentasi pertama, pemerintah menyatakan APBN akan jebol jika harga BBM tidak naik dibantah oleh PDI-P. Jumlah kenaikan subsidi BBM menurut perhitungan pemerintah adalah Rp55,1 triliun.
"Logikanya, jika ternyata pemerintah bisa menutupi kenaikan subsidi Rp55,1 triliun dari beberapa sumber penerimaan dan penghematan, harga BBM subsidi tidak perlu naik," tulis buku tersebut yang dikutip VIVAnews.com, Jumat 30 Maret 2012.
PDI-P menawarkan solusi untuk menutupi kebutuhan subsidi senilai Rp55,1 triliun itu, bisa didapat pemerintah dari berbagai sumber berupa tambahan penerimaan negara. Sumber itu seperti Sisa Anggaran Lebih (SAL) 2010 sebesar Rp51 triliun, Surat Berharga Negara (SBN) Rp25 triliun, Penerimaan Dalam Negeri dari Kenaikan Harga Migas (PDN) Rp46,8 triliun dan netto utang/non utang Rp11,2 triliun, sehingga total dana tersedia Rp134 triliun.
"Jika total dana tersedia Rp134 triliun tersebut hanya digunakan untuk menutupi kebutuhan kenaikan subsidi Rp55,1 triliun, sisanya Rp78,9 triliun. Artinya, kondisi fiskal kita pada 2012 masih sangat kredibel," katanya.
Argumentasi kedua adalah pemerintah hanya mendapatkan tambahan uang Rp12,49 triliun dari kenaikan harga BBM. Angka tersebut muncul dari potensi penerimaan jika harga BBM subsidi naik Rp43,09 triliun dikurangi program kompensasi pengurangan subsidi BBM sebesar Rp30,6 triliun. "Dana tambahan kenaikan BBM hanya sebesar 0,81 persen dari total APBN," tulis buku tersebut.
Selain itu, data survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah ke bawah. Hal itu termasuk di dalamnya, 29 persen dikonsumsi oleh kelompok miskin. Hanya 35 persen BBM bersubsidi dikonsumsi kelas menengah, menengah ke atas, dan kaya.
"Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa subsidi BBM ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah bawah. Sangat berbeda dengan klaim pemerintah bahwa 77 persen subsidi dinikmati oleh 25 persen kelompok rumah tangga tertinggi," paparnya.
Hasil survei bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran tidak benar. Dokumen Bank Dunia tentang skenario pengurangan BBM bersubsidi menunjukkan bahwa dari total premium yang dikonsumsi rumah tangga, 64 persennya dikonsumsi sepeda motor, dan 36 persen sisanya dikonsumsi mobil.
Sementara itu, argumentasi pemerintah bahwa jika harga BBM subsidi tidak dinaikkan, defisit anggaran dapat mencapai 3,1 persen juga dibantah PDI-P. Defisit anggaran hanya 2,25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), jika pemerintah mengurangi faktor kompensasi kenaikan BBM sebesar Rp30,6 triliun dan mengurangi faktor risiko volume konsumsi BBM yang sebesar Rp24,6 triliun.
"Maka besaran defisit APBN menjadi hanya 2,25 persen terhadap PDB. Asumsi pemerintah bahwa jika harga BBM subsidi tidak dinaikkan, defisit anggaran melebihi batas 3 persen adalah tidak benar," jelasnya.
Buku tersebut juga menuliskan dampak kenaikan harga BBM. Daya beli masyarakat yang sudah rendah menjadi semakin rendah. Hasil survei menunjukkan ada 39 persen masyarakat tidak mampu menyisihkan pendapatan untuk menabung setiap bulan jika BBM naik.
"Masyarakat yang mampu menyisihkan pendapatan untuk tabungan bulanan sebesar kurang dari Rp200.000 pun hanya 10,5 persen," katanya. (art)