Tifatul: Salahkah Kita Minta Jatah ke RIM?
- Antara/ Widodo S Jusuf
VIVAnews - Pro dan kontra tentang rencana pemblokiran layanan BlackBerry oleh pemerintah ternyata masih terus memanas.
Tuntutan awal pemerintah kepada Research In Motion (RIM) yang meminta agar mereka memblokir situs porno di layanan BlackBerry, juga semakin melebar.
Melalui akun Twitter pribadinya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, kembali membeberkan alasan-alasan di balik tuntutannya kepada Research In Motion, perusahaan Kanada pembuat ponsel dan penyedia layanan BlackBerry.
"Salahkah kita meminta "JATAH" buat NKRI spt (seperti - red) Tenaga Kerja, konten lokal, hormati dan patuhi ketentuan Hukum dan UU di RI yang berdaulat ini?" kata Tifatul melalui tweet di Twitter.
Menurut Tifatul, dari data-data pakar teknologi informasi yang ia dapatkan, melalui layanan BlackBerry yang memiliki sekitar 3 juta pelanggan di Indonesia, RIM berhasil menangguk pemasukan bersih di Indonesia sebesar Rp189 miliar per bulan atau Rp2,26 triliun per tahun.
"CATAT: RIM Tanpa bayar pajak sepeser pun kepada RI, tanpa bangun infrastruktur jaringan apa pun di RI. Seluruh jaringan adalah milik 6 operator di INA (Indonesia)," ujar Tifatul.
Padahal, Tifatul melanjutkan, semua operator lain sudah menjalankan dan mematuhi undang-undang dan peraturan, seperti membayar biaya hak pakai (BHP) frekuensi, pajak, merekrut tenaga kerja lokal, menjalankan program CSR, bahkan membantu korban-korban bencana. Â Â
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia, Mas Wigrantoro Setiyadi, menganggap pendapat Menteri Tifatul bisa membingungkan pelaku industri di bidang telematika dan kemudian bisa mempengaruhi iklim investasi.
"Pendapat seorang menteri semestinya bersifat normatif dan berdasarkan pada hukum positif yang berlaku," kata Maswig (panggilan Mas Wigrantoro) kepada VIVAnews.com, Selasa, 11 Januari 2011.Â
Adalah wajar dan sah-sah saja, bila RIM bisa menangguk keuntungan, sepanjang ia telah memenuhi kewajibannya seperti yang telah ditetapkan regulasi yang berlaku.
Selain itu, Maswig meminta agar pemerintah memperjelas dulu posisi RIM di Indonesia. "Semestinya pemerintah menetapkan dulu posisi RIM di sini sebagai operator atau bukan," kata dia.
Sebab, bila RIM harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh operator, seperti membayar BHP frekuensi, membayar pajak, merekrut orang lokal, semestinya RIM pun selama ini harus memiliki izin operasi seperti layaknya operator.
"Kenapa ini baru dipermasalahkan sekarang, saat RIM sudah bertahun-tahun beroperasi di Indonesia," kata Maswig.Â
Oleh karena itu, posisi RIM pun harus dipertegas, apakah ia sebagai penyedia layanan internet (ISP), ataukah sekadar vendor ponsel seperti halnya Nokia, atau juga penyedia layanan value added service seperti Google atau Yahoo.
Bila posisinya sudah jelas, perusahaan-perusahan lain yang sejenis, kata Waswig, juga harus diterapkan aturan yang sama. "Sebuah regulasi harus diterapkan secara adil," tuturnya. (art)