6 Kunci Indonesia Dongkrak Daya Saing Versi Gita Wirjawan

VIVA – Indonesia saat ini dinilai masih tertinggal dari negara-negara tetangganya, baik di Asia Tenggara maupun di Asia dalam hal daya saing, apalagi pandemi virus corona (Covid-19) menimbulkan kendala yang lebih besar. Namun ketertinggalan itu masih bisa dikejar Indonesia dengan melihat sejumlah potensi yang ada dan beberapa kebijakan yang sudah dijalankan. 

Sedikitnya ada 6 kunci yang bisa dimainkan Indonesia memperbaiki daya saing di tingkat global. Demikian menurut Wakil Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia, Gita Wirjawan. Dalam analisisnya, Gita melihat ketertinggalan RI itu pada dua sisi, yaitu produktivitas marjinal (marginal productivity) dan pada paritas daya beli (purchasing power parity / PPP). 

"Marginal Productivity Indonesia, berdasarkan perhitungan PPP yang telah disesuaikan, berada di angka US$23.541. Angka ini lebih rendah dibandingkan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang," ungkap Gita dalam analisisnya - yang berjudul "Dapatkah Indonesia Bersaing?"- yang diterbitkan SGPP Indonesia.

Negara-negara tersebut, ungkap Gita, telah mampu fokus pada bagaimana memproduksi barang dan jasa yang berada di rantai nilai (value chain) yang tinggi, yang biasanya memiliki nilai marjinal (tambahan) ekonomi yang lebih tinggi.

>

Apalagi pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung telah meningkatkan keprihatinan Indonesia terkait
produktivitas marjinal yang dimiliki. "Runtuhnya permintaan agregat global akan mengakibatkan dinamika pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah di waktu mendatang. Ditambah dengan disrupsi dan usaha-usaha untuk melakukan desentralisasi dari rantai pasokan akan mengakibatkan produktivitas yang semakin rendah," ungkap Gita.

Kendati demikian, mantan Menteri Perdagangan perioden2011–2014 itu menyatakan bahwa Indonesia memiliki alasan untuk terus positif dan optimistis. Dia melihat sedikitnya ada enam potensi yang bisa dioptimalkan Indonesia dalam mengatasi ketertinggalan daya saing. 

Pertama, melihat 25 tahun dari sekarang (hingga tahun 2045), akumulasi dana yang digelontorkan Pemerintah untuk bidang pendidikan akan mencapai Rp64.000 triliun (atau USD4 triliun menggunakan kurs saat ini). Jumlah ini didapatkan dengan berasumsi bahwa pemerintah akan tetap mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan, dan pemerintah dapat mempertahankan rasio pajak sebesar 11% hingga tahun 2045.

Pengakuan Raffi Ahmad Tidak Pernah Pecat Karyawan: Biasanya Keluar Sendiri

"Dengan meningkatnya pengaruh digitalisasi, yang diprediksi akan semakin mempermudah penarikan pajak dan kesadaran/keinginan politik untuk mengurangi rasio pajak, Indonesia dapat meningkatkan rasio pajak dari 11% menjadi 20% di dalam kurun waktu 25 tahun. Hal ini akan membantu kualitas dan kuantitas pendidikan, dan akan berimbas positif kepada peningkatan kesejahteraan pada umumnya," demikian menurut Gita. 

Kedua, Indonesia seharusnya dapat membangun narasi pendidikannya dengan menggunakan bidang ilmu yang lebih luas, dengan penekanan kepada STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), kemampuan-kemampuan vokasi, riset dan pengembangan, kemampuan untuk berkomunikasi dengan masyarakat global, dan akuntabilitas/ keterukuran pengeluaran untuk pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah. 

Gita Wirjawan 'Pede' Brand Lokal Bisa Sebesar Nike dan Adidas

"Covid-19 telah mengajarkan kepada kita bahwa umat manusia sedang bertransisi ke mode hidup yang sama sekali berbeda - di mana kontak fisik dan berkumpul akan lebih dibatasi, dan akan lebih bersifat digital atau virtual di waktu mendatang. Walaupun belum tentu menjadi gaya hidup kita seterusnya, Indonesia perlu mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk menghadapi dunia digital, bukan saja sebagai konsumen, namun juga sebagai pengembang dan pemilik," demikian saran Gita.

Demografi Muda

Kereta Cepat Dinilai Bakal Dongkrak Daya Saing RI, Ini Penjelasannya

Potensi yang ketiga adalah Indonesia memiliki demografi yang muda (50% dari populasi berumur lebih rendah dari 29 tahun) dan akan seperti itu hingga 20 tahun ke depan. Menurut Gita, dengan investasi yang tepat sasaran untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, demografi yang muda dapat membantu meningkatkan daya saing Indonesia jangka menengah dan panjang.

"Tenaga kerja di Indonesia berjumlah sekitar 130 juta jiwa, dan sekitar 95% berada di industri mikro, kecil, dan menengah, yang masuk ke dalam kategori demografi muda. Fokus untuk mendidik seluruh demografi tidak hanya akan membantu memperbanyak jumlah tenaga kerja secara domestik, namun membantu mereka melakukan ekspansi ke luar negeri dan secara ekonomi," lanjut Gita.

Faktor keempat, Gita melihat, dibandingkan Indonesia, profil demografi dunia justru menjadi semakin tua. Dengan demikian, jumlah simpanan akan meningkat secara global. Dengan meningkatnya jumlah simpanan di seluruh dunia, sedangkan jumlah kelas aset yang dapat dinvestasi akan cenderung konstan, nilai mata uang atau modal akan berkurang.

Menurutnya, ini akan menguntungkan beberapa pihak, khususnya para pengusaha, yang membutuhkan modal – tentu dengan mempertimbangkan kemungkinan meningkatnya produktivitas marjinal.  

Faktor kelima, yaitu selain penambahan alokasi dana yang cukup signifikan untuk pendidikan, Indonesia akan mengalokasikan jumlah yang signifikan terhadap pembangunan infrastruktur (rata-rata 15–20% APBN telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pada beberapa tahun terakhir).

"Indonesia diestimasikan akan menggelontorkan Rp32.000– 48.000 triliun (atau USD2–3 triliun dengan kurs saat ini) untuk pembangunan infrastruktur di dalam 25 tahun ke depan. Hal ini diperkirakan dapat meningkatkan konektivitas, yang akan berimbas kepada produktivitas," ujar Gita.

Keenam, Gita yakin Indonesia tidak pernah kekurangan narasi yang layak, namun yang dibutuhkan untuk maju adalah seseorang atau kelompok yang dapat mengartikulasikan narasi tersebut kepada dunia. Hal ini sangat penting di dalam beberapa faktor.

"Sebuah narasi yang baik di dalam menceritakan masa depan Indonesia akan mengakibatkan peningkatan aliran 
modal (keuangan, teknologi, dan manusia) untuk membangun kemampuan industri manufaktur dan jasa Indonesia untuk dapat menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan, baik di dalam maupun luar negeri," demikian menurut Gita, yang juga Ketua Dewan Penasihat di Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (SGPP Indonesia).
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya