Dua Warga Indonesia Ini Punya Belasan Gelar Sarjana
- abc
Memiliki gelar akademis mungkin bukan hal yang istimewa lagi untuk masyarakat Indonesia pada umumnya. Tapi bagaimana bila Anda bertemu dengan mereka yang memiliki bukan hanya satu atau dua, tapi lima belas gelar akademis?
Gelar Welin Kusuma:
Gelar S1
- 1999-2004 S1 Teknik Industri Universitas Surabaya (Sarjana Teknik / S.T.)
- 2001-2008 S1 Ekonomi Manajemen STIE Urip Sumoharjo (Sarjana Ekonomi / S.E.)
- 2002-2005 S1 FISIP Administrasi Niaga Universitas Terbuka (Sarjana Sosial / S.Sos.)
- 2002-2008 S1 Hukum Universitas Airlangga (Sarjana Hukum / S.H.)
- 2002-2012 S1 Teknik Informatika Sekolah Tinggi Teknik Surabaya (Sarjana Komputer / S.Kom.)
- 2003-2008 S1 Sastra Inggris Universitas Kristen Petra (Sarjana Sastra / S.S.)
- 2005-2007 S1 FISIP Administrasi Publik Universitas Terbuka (Sarjana Administrasi Publik / S.AP.)
- 2007-2011 S1 Statistika Universitas Terbuka (Sarjana Statistika / S.Stat.)
- 2012-2013 S1 Ekonomi Akuntansi Universitas Terbuka (Sarjana Akuntansi / S.Akt.)
- 2013-2015 S1 FISIP Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka (Sarjana Ilmu Komunikasi / S.I.Kom.)
- 2015-2017 S1 FISIP Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka (Sarjana Ilmu Pemerintahan / S.I.P.)
- 2017-2020 S1 FST Matematika Universitas Terbuka (Sarjana Matematika / S.Mat.)
Gelar S2
- 2004-2006 S2 Teknik Industri Insititut Teknologi Sepuluh Nopember (Magister Teknik / M.T.)
- 2006-2011 S2 Sains Manajemen Universitas Airlangga (Magister Sains Manajemen / M.SM.)
- 2008-2010 S2 Kenotariatan Universitas Airlangga (Magister Kenotariatan / M.Kn.)
Kesukaan Welin Kusuma untuk belajar tumbuh sejak duduk di bangku SD, dan masih terpelihara hingga 30 tahun kemudian, bahkan ketika ia sudah memiliki 15 gelar akademis.
Bila ditulis secara lengkap, pria kelahiran Makassar yang kini tinggal di Surabaya tersebut bernama Welin Kusuma S.T, S.E, S.Sos, S.H., S.Kom., S.S., S.AP., S.Stat., S.Akt., S.I.Kom, S.I.P., S.Mat., M.T., M.SM., M.Kn,.
Welin mendapatkan gelar-gelar tersebut mulai dari universitas negeri hingga universitas terbuka.
Dari 15 gelar akademis yang dimilikinya, tujuh di antaranya diperoleh dari universitas terbuka, mengingat biayanya yang terjangkau.
Kepada ABC, Welin yang juga memiliki 20 gelar profesi, mengatakan bahwa ilmu yang ia dapatkan dari delapan universitas tersebut tidak ada yang terbuang sia-sia.
"Saya rasa ilmu saya terpakai semua. Jadi selain saya [pakai] untuk kerja, saya pakai juga buat mengajar, walaupun tidak mengajar secara reguler, [misalnya ketika] saya diundang ke seminar atau membimbing mahasiswa yang kesulitan."
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2000, beban studi program sarjana meliputi sebanyak-banyaknya 160 sks yang dijadwalkan untuk delapan semester.
Namun, di tahun 2003, Welin pernah mengambil 111 sks dalam satu semester, ketika menyelesaikan lima jurusan S1, hingga memecahkan rekor MURI di tahun 2012 dengan predikat "Pengambilan sistem kredit semester (SKS) Terbanyak dalam 1 Semester".
Welin Kusuma sering diundang untuk berbicara di beberapa seminar. (Foto: Supplied)
Untuk mencapai hal tersebut, Welin terkadang harus mengorbankan waktu tidurnya hingga waktu luang di akhir pekannya.
"Kebetulan waktu saya awal kuliah, fisiknya lumayan kuat. Jadi kalau pun begadang lalu besoknya harus bangun pagi untuk kuliah lagi, tidak ada masalah, fisiknya masih kuat," kata Welin kepada Natasya Salim dari ABC News.
"Kalau saya bosan, saya istirahat. Jadi kadang-kadang kalau kuliahnya melelahkan sekali, saya bisa dalam sehari hanya tidur, istirahat, nonton, setelah itu langsung [kembali] bergerak lagi, mengerjakan tugas-tugas dan kembali ke aktivitas."
Masih "single" karena sibuk kuliah
Kepadatan jam kuliah juga sempat dialami Yenita, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara di Jakarta yang menerima penghargaan dari Museum Rekor Muri Indonesia tahun lalu, atas keberhasilannya meraih 13 gelar akademis.
Bila ditulis secara lengkap, perempuan yang membayar sendiri sebagian besar biaya kuliahnya ini bernama Dr. Dr. Yenita, S.E., M.M., M.B.A., M.Si., M.T., M.H., M.Pd., M.Ak., M.E., M.I.Kom., M.M.S.I.
"Saya masih "single" sampai saat ini karena sibuk kerja dan kuliah, jadinya tidak sempat mencari pasangan," kata Yenita ketika dihubungi Natasya Salim dari ABC News hari Rabu (20/05).
"Dulu mau nonton sama teman saja saya harus pikir-pikir dulu, karena banyak waktu yang dihabiskan untuk makan, nonton, ngobrol, dan belum lagi macet di jalan."
"Nah, saya lebih baik membereskan tugas kuliah, membuat makalah, riset atau menyiapkan presentasi kuliah," tambahnya.
Orangtua Yenita sempat bingung melihat hobinya untuk belajar, namun pada akhirnya mendukung. (Foto: Supplied)
Sama dengan Welin, untuk mencapai target, Yenita mengatakan juga harus belajar di beberapa universitas berbeda dalam waktu yang bersamaan.
"Saya banyak kuliah paralel [atau] dalam waktu bersamaan. Kuliah "double" atau "triple" supaya tidak membuang waktu," kata Yenita.
"Jadi kadang ketika sudah memasuki semester akhir, saya mengambil lagi jurusan lain di universitas yang berbeda untuk menghemat waktu kuliah. Karena sudah terbiasa, jadi tidak ada kesulitan dalam mengatur waktu."
Stress dan bosan tidak dapat dihindari Yenita yang kadang dikejar 20 tugas dalam seminggu dan masih harus bekerja sembari kuliah. Untuk mengatasi kedua tantangan tersebut, ia beralih kepada hobi.
"Saya suka "travelling". Jadi, jika ada waktu luang beberapa hari, untuk mengatasi rasa jenuh, saya "refreshing" sebentar. Memasak dan bermain musik adalah hobi lain yang dapat menenangkan pikiran di saat stress mengerjakan "deadline" yang menumpuk."
Kenapa mengejar pendidikan tinggi?
Ketika ditanya mengapa memilih untuk menghabiskan waktu kurang lebih 20 tahun untuk kuliah, Yenita menuturkan pentingnya pendidikan bagi dirinya.
"Saya menyadari pendidikan merupakan kunci untuk mengubah masa depan kita. Itu merupakan paspor kita untuk mencapai cita-cita," kata Yenita.
"Pendidikan bagi saya itu bukan hanya fokus kepada satu bidang ilmu saja. Namun, dengan kita belajar dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, kita dapat memperluas pengetahuan kita supaya dapat menyerap ilmu kehidupan ini."
Yenita yang memiliki 13 gelar akademis mengatakan pendidikan merupakan kunci untuk mengubah masa depan. (Foto: Supplied)
Bagi Welin, yang kini sedang mengembangkan perusahaan konsultan pajaknya sembari bekerja sebagai analis di PT HM Sampoerna, pendidikan formal adalah bekal dasar untuk mempelajari banyak hal.
"Kalau saya memahaminya sebaiknya kita kuliah. Jadi, apapun yang terjadi, kita kuliah, dan harus menamatkan kuliah kita. Itu yang selalu saya kemukakan pada waktu datang ke kampus untuk memberi motivasi pada mahasiswa," kata Welin.
"Dan jangan mencontoh, misalnya ada orang-orang tertentu yang kemudian beruntung, misalnya ada Bill Gates atau tokoh-tokoh lain lagi, pendiri Facebook yang drop out tapi berhasil. Nah, itu adalah kecenderungan kejadian yang jarang," katanya lagi.
"Mereka orang-orang hebat yang kalaupun tidak lulus pun bisa berhasil, sedangkan kita orang biasa yang perlu dukungan bantuan dari pendidikan formal."
Gelar Yenita:
Gelar S1
- 1998-2002 S1- Ekonomi Manajemen Universitas Tarumanagara (Sarjana Ekonomi / S.E.)
Gelar S2
- 2003-2004 S2 - Magister Manajemen Universitas Tarumanagara (Magister Manajemen / M.M)
- 2004-2005 S2 - Master of Business Administration University of Western Australia (Master of Business Administration / M.B.A)
- 2004-2005 S2- Magister Sains Psikologi Universitas Tarumanagara (Magister Sains/ M.Si)
- 2008-2009 S2 - Magister Teknik Industri Universitas Pelita Harapan (Magister Teknik / M.T.)
- 2010-2011 S2 - Magister Hukum Universitas Pelita Harapan (Magister Hukum / M.H)
- 2011-2012 S2 - Magister Pendidikan Universitas Pelita Harapan (Magister Pendidikan / M.Pd.)
- 2013-2014 S2- Magister Akuntansi Universitas Tarumanagara (Magister Akuntansi / M.Ak.)
- 2014-2015 S2 - Magister Ekonomi Universitas Trisakti (Magister Ekonomi / M.E.)
- 2014-2015 S2 - Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana (Magister Ilmu Komunikasi / M.I.Kom.)
- 2015-2016 S2 - Magister Manajemen Sistem Informasi Universitas Bina Nusantara (M.M.S.I)
Gelar S3
- 2016-2019 S3 - Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti (Doktor/Dr.)
- 2015-2019 S3 - Doktor Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan (Doktor/Dr.)
Budaya Indonesia masih menjunjung tinggi gelar akademis
Menurut psikolog Kasandra Putranto, keinginan mengejar gelar akademis adalah fenomena di tengah masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi dan mudah terkesan oleh hal tersebut.
"Orang-orang yang punya gelar dianggap punya kelas tertentu di masyarakat dan dirasakan lebih kredibel dan bonafide," kata Kasandra kepada Hellena Souisa dari ABC News.
Kasandra menambahkan bahwa pengejaran gelar akademis terkadang juga didasarkan pada motif pribadi yang bervariasi, mulai dari ekonomi, sosial, maupun emosional.
"Misalnya kepentingan politik. Dengan memasukkan gelar-gelar yang banyak, mereka [yang ingin masuk dunia politik] berharap bisa mendapat peluang yang lebih baik dan kepercayaan masyarakat," kata dia.
"Motifnya memang banyak dan berbeda-beda, tetapi pada dasarnya ingin menampilkan kualitas intelegensi, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial."
Tetapi, terhadap mereka yang memiliki gelar akademis lebih dari normal, Kasandra mengaku tidak dapat secara spesifik menganalisa apakah ada aspek karakter unik yang menjadi pendorongnya.
"Saya sangat tertarik untuk memeriksa yang bersangkutan. Yang jelas, kita harus melihat gelar-gelar tersebut dari mana saja?"
"Apakah dari perguruan yang terakreditasi atau tidak? Atau jangan-jangan dari gelar yang didapatkan dari kursus, misalnya?," kata Kasandra yang juga tidak bisa memastikan apakah faktor kepribadian seperti introvert atau ekstrovert juga berpengaruh.
"Ini kembali lagi dari orangnya. Makanya saya ingin sekali mengetahui dan memeriksa orang tersebut."
Kasandra lebih lanjut juga mengingatkan untuk berhati-hati ketika mencantumkan gelar, karena diatur Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dari pasal 26 sampai 28.
Menurutnya, peraturan ini harus diperhatikan terutama ketika hendak mencantumkan gelar dari institusi yang tidak terakreditasi atau tanpa hak.
"Konsekuensinya juga sangat jelas. Menurut pasal 93 dari Undang-Undang tersebut, mereka yang melanggar [aturan pencantuman gelar] dikenai ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar."