Kisah Lima Perawat di Empat Benua Memerangi Corona
"Dia sedikit memberikan respon pada hari pertama, tetapi tidak melalui percakapan. Saya menjelaskan semua yang saya lakukan padanya, walau dia tidak dapat berbicara kembali kepada saya."
Keesokan harinya, pasien itu bahkan tidak membuka matanya.
Rumah sakit kemudian mengizinkan kunjungan dari kerabat dekatnya selama jam-jam terakhirnya. Sayangnya, dia tidak memiliki keluarga dekat dan teman-teman dekatnya memilih menjauh dari rumah sakit.
"Saya duduk di sisinya, memegang tangannya dan mengatakan kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saya ada di sana. Dia memiliki seseorang bersamanya," kata Gabriela.
"Saya tidak tahu apakah dia bisa mendengarku saat itu, tapi itulah hal terbaik yang bisa saya lakukan untuknya."
Kerja kerasnya tidak menyelamatkan pekerjaannya. Dia adalah perawat paruh waktu (travel nurse), yaitu mereka yang bekerja dalam jangka pendek.
Permintaan perawatan pasien secara umum menurun, karena warga takut tertular virus dan tidak sedikit yang memilih tinggal jauh dari rumah sakit untuk perawatan non-darurat, sehingga rumah sakit tempatnya bekerja memutuskan tidak memperpanjang kontraknya.
"Saya cukup optimis mendapatkan pekerjaan dalam sebulan ini. Saya akan mengambil apa yang bisa saya lakukan."
`Satu orang terinfeksi dapat mengancam seluruh populasi`
"Pada 24 Maret, kami memiliki kasus positif Covid-19 yang pertama. Saya sekonyong-konyong memikirkan dua pasien dari suku terasing di rumah sakit saya. Saya meminta mereka untuk pergi," kata Shanti Teresa lakra.
Shanti memilih menyediakan layanan kesehatan bagi kelompok suku terasing di kepulauan Andaman dan Nikobar di wilayah perairan India. Atas dedikasinya itu, dia telah menerima penghargaan Florence Nightingale, pengakuan profesional tertinggi untuk para perawat di India.