Kisah Pelaut India Diculik Bajak Laut di Perairan Nigeria
Mereka tertawa dalam momen-momen seperti ini, namun tetap sulit bagi mereka untuk tidak sedih dan menderita. Dalam jam-jam sunyi di mana mereka hanya berbaring di bawah terik matahari, Sudeep selalu memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk membebaskan rekan-rekannya, dan apa yang akan ia katakan ke Indian High Commission atau konsulat India di luar negeri, atau ke keluarganya jika ia bisa menelepon mereka. Di kepalanya, ia masih mencoba merencanakan pernikahannya.
Tebusan yang diminta penculik awalnya sebesar beberapa juta dolar. Itu jumlah yang sangat banyak dan penculik pasti tahu bahwa tebusan itu tidak mungkin sanggup dibayar. Namun penculikan untuk tebusan semacam ini biasanya melibatkan negosiasi yang rumit dan berlarut-larut. Namun di labirin bernama Delta Nigeria, waktu berpihak pada para penculik.
Sekitar 15 hari setelah serangan, para bajak laut membawa Sudeep ke bagian lainnya di hutan dengan kapal dan menyerahkan sebuah telepon satelit sehingga ia bisa berbicara langsung ke pemilik kapal, seorang pengusaha asal Yunani yang berbasis di pelabuhan Piraeus di perairan Mediterania bernama Kapten Christos Traios. Perusahaannya, Petrogress Inc, mengoperasikan beberapa tanker minyak di Afrika Barat dengan nama-nama bombastis seperti Optimus dan Invictus.
Sudeep tidak tahu banyak soal Kapt. Christos tapi dia dengar dia adalah orang yang agresif dan mudah marah. "Pak, ini buruk. Kondisi kami di sini sangat buruk. Saya ingin Anda bertindak sangat cepat karena kami mungkin mati di sini," kata Sudeep. Bosnya, marah karena situasi pembajakan ini, ternyata tidak tergerak. Para pembajak marah. "Kami hanya ingin uang," kata mereka berulang kali. "Tapi jika orang kalian tidak memberi kami uang, kami akan membunuh kalian."
Model bisnis pembajak tergantung pada ketaatan para pemilik kapal, yang biasanya terlindungi oleh asuransi, untuk membayar uang tebusan untuk membebaskan krunya setelah negosiasi berminggu-minggu. Namun kali ini mereka menghadapi pemilik kapal yang keras kepala. Untuk keluar dari situasi ini, para penculik tahu bahwa mereka harus menghubungi keluarga sandera.
Di India, orang tua Sudeep tidak bisa tidur. Mereka tidak tahu banyak tentang apa yang telah terjadi sehingga pikiran mereka mengarah ke skenario terburuk saat mereka terjaga di larut malam, ketika jalanan di Bhubaneswar sunyi. Mereka khawatir putra mereka tidak akan bisa keluar dari sarang pembajak laut.
Keluarga itu tidak mungkin membayar tebusan yang diminta pembajak dan hal itu tidak pernah dipertimbangkan dengan serius. Pemerintah India tidak membayar tebusan tapi mereka berharap bisa membantu dengan cara lain--dengan membantu angkatan laut Nigeria untuk menemukan markas pembajak laut, atau memaksa pemilik kapal membayar tebusan. Bhagyashree dan Swapna, sepupu Sudeep berusia 30-an tahun yang pemberani, memimpin upaya pembebasannya. Mereka mengumpulkan anggota keluarga para sandera dalam sebuah grup WhatsApp untuk mengoordinasi upaya-upaya pembebasan mereka.
Bhagyashree akhirnya paham bahwa para bajak laut itu akan pulang dengan tangan hampa jika mereka membunuh para sandera. Tapi ia gugup karena tidak tahu sampai kapan mereka akan bersabar. Menekan pemilik kapal untuk membayar tebusan, dengan berbagai cara, nampaknya satu-satunya cara untuk membebaskan tunangannya. Oleh karenanya, ia aktif berkampanye di media sosial, Twitter, dan mengirim surat elektronik ke siapapun yang bisa membebaskan mereka, di mobil, di kamar mandi di tempat kerjanya, atau saat ia berbaring di rumah.
Setelah tiga minggu dengan hampir tanpa kabar, pada hari ke-17, keluarga para sandera mendapat pencerahan. Seorang adik perempuan dari salah satu sandera, Avinash, menerima telepon dari kakaknya yang berada di hutan Nigeria. Ia mengatakan bahwa semua sandera masih hidup tapi mereka sangat membutuhkan pertolongan. Keluarga yang lainnya juga menerima telepon yang sama dalam beberapa hari ke depan, kecuali Bhagyashree dan keluarga Choudhury.
Hubungan yang aneh pun mulai terjalin. Seorang kerabat salah satu pelaut yang bekerja di industri perkapalan, bernama Kapten Nasib, mulai menelepon para pembajak laut dengan reguler lewat telepon satelit untuk mengecek kondisi para sandera. Tapi rekaman audio percakapan yang diunggahnya ke grup WhatsApp tidak bisa menenangkan para keluarga sandera. Pemilik kapal "tidak peduli" akan nasib krunya dan "main-main," kata seorang bajak laut kepada Kapten Nasib dengan nada marah dalam sebuah panggilan.
Pada 17 Mei 2019, hari ke-28, para bajak laut memberi Sudeep kesempatan untuk berbicara kepada Kapt. Nasib, yang meyakinkannya bahwa situasi ini hanya akan berlangsung selama beberapa hari ke depan. Namun Sudeep, sebagai pelaut dengan jabatan tertinggi, harus tetap menjaga moral teman-temannya sampai mereka bebas. "Saya berusaha," kata Sudeep dalam bahasa Hindi. "Katakan pada keluarga saya bahwa kamu telah menelepon saya."
Setiap beberapa minggu sekali para sandera dari India itu dipindahkan dari satu bagian hutan ke bagian lain. Saat negosiasi dengan Kapt Christos tampaknya kandas, Sang Raja sendiri yang mulai datang melihat sandera. Ia tidak berkata banyak, tapi bajak laut lainnya seperti takut berhadapan dengannya. Statusnya sebagai ketua sepertinya didapatnya dari ukuran tubuhnya yang besar. Bajak laut lainnya memang berotot dan seram, tapi Sang Raja lebih tinggi dan besar--tingginya setidaknya dua meter. Senapannya lebih besar ketimbang anak buahnya, dan ia selalu membawa ikat pinggang kulit berisi peluru.