Logo BBC

Kisah Pelaut Ditolak Beberapa Pulau, Telantar 3 Bulan di Lautan

Impian seorang pria untuk menghabiskan tiga tahun berlayar sendirian di sekitar Pasifik hampir berubah menjadi bencana setelah perbatasan di sekitar wilayah itu mulai ditutup, membuatnya terombang-ambing sendirian di laut selama tiga bulan.

Ketika semua orang di seluruh dunia dalam kepanikan membeli dan menimbun persediaan, dia kehabisan makanan dan bahan bakar saat berlayar di antara pulau-pulau, mencoba mencari tempat berlabuh.

Wong – yang hanya mau menyebut nama keluarganya – berlayar dari negara asalnya, Singapura, pada 2 Februari.

Itu adalah pengembaraan yang telah direncanakan selama bertahun-tahun oleh pelaut berusia 59 tahun ini - mulai dari jumlah bahan bakar yang tepat yang ia perlukan, hingga kondisi cuaca di tempat-tempat yang ingin ia kunjungi.

Dia berencana berlayar dari Singapura ke Polinesia dengan yacht mewahnya, sebuah perjalanan yang akan menempuh waktu empat bulan.

Sesampainya di sana, dia akan menghabiskan waktu dengan menjelajahi wilayah itu melalui darat dan laut.

Tetapi dia akan segera mengetahui bahwa bahkan rencana terbaik sekalipun bisa serba salah - terutama di tengah pandemi global.

Pada awal mula perjalanannya, Wong ditemani oleh dua orang temannya yang ikut berlayar dengannya.

Pada akhir Februari, mereka berlabuh di Indonesia sesuai jadwal dan Wong sendirian menuju ke tujuannya di Papua Nugini (PNG), tempat dia berencana untuk mengisi bahan bakar dan membeli persediaan makanan.

Tetapi hanya beberapa hari sejak mulai berlayar, kemudi otomatisnya rusak.

"Saya masih berada di perairan Indonesia saat itu, sehingga saya ingin berlabuh dan beristirahat dan memperbaiki kapal saya. Tetapi saya diusir - mereka mengatakan karantina sudah dimulai," katanya kepada BBC.

"Jadi saya pikir baik-baik saja kalau saya melanjutkan perjalanan."

Pilot otomatis yang rusak berarti dia perlu mengatur kapal setiap saat.

Di malam hari, dia mengatur alarm agar berdering setiap jam sekali, sehingga dia bisa bangun untuk memeriksa pengaturan kemudi otomatis.

Sayangnya, keberuntungannya tidak membaik.

Ketika dia mendekati PNG, dia mengetahui dari keluarganya - yang dia hubungi melalui telepon satelit - bahwa negara itu juga telah menutup perbatasannya.

Alih-alih, dia memutuskan untuk berlabuh di sebuah pulau kecil tak jauh dari kapalnya berada.

"Itu pulau yang kecil, hanya ditinggali oleh sekitar 20 - 30 keluarga di sana. Tak ada telepon, tak ada televisi, tak ada apa-apa," tuturnya.

"Tetapi mereka mengetahui adanya pemberlakuan karantina, jadi mereka mengusir saya. Saya mendekati beberapa pulau lain, tapi mereka semua mengusir saya."

"Saat itulah saya mendapat kabar bahwa pulau-pulau Pasifik Selatan semuanya dikarantina, tetapi saya sudah berada di tengah jalan - saya tidak dapat benar-benar kembali. Jadi saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Tuvalu."

Perjalanan itu akan memakan waktu 13 hari ke depan.

Pada 21 April silam akhirnya dia mencapai Tuvalu. Pada saat ini, dia sudah menghabiskan berminggu-minggu sendirian di kapalnya, dan persediaannya hampir habis.

"Rencana awal saya, jika tidak ada virus, adalah bahwa saya akan berhenti di setiap negara untuk sementara waktu, membeli beberapa bahan bakar dan makanan," katanya.

"Pada saat ini, semua sayuran sudah busuk, tetapi saya masih bisa menyimpan bahan-bahan makanan lain, seperti daging dan kentang karena saya punya kulkas di dalam [kapal]."

Perjalanannya sampai ke Tuvalu tinggal dua jam lagi ketika petugas laut menemukannya - dan lagi-lagi, menyuruhnya pergi.

"Saya memohon kepada mereka dan berkata `Tolong, saya tidak punya lagi bahan bakar dan makanan. Saya tak akan berlabuh dan menginjakkan kaki di daratan, tapi biarkan saya tetap berada di perairan Anda," ujarnya.

Namun mereka tak menghiraukannya.

"Saya berkata saya tak punya tujuan lain dan mereka menyuruh saya untuk kembali ke perairan lepas. Akhirnya saya mengiyakannya, tapi memohon mereka agar mengizinkan saya membeli makanan dan bahan bakar."

Dia memberi hampir US$1.400, atau sekitar Rp21 juta rupiah kepada petugas tersebut sebagai imbalan atas 1.000 liter diesel dan persediaan makan selama satu bulan ke depan.

Sebuah kapal yang membawa apa yang dibutuhkan Wong akhirnya tiba, namun tak bisa mendekatinya karena ketentuan jaga jarak sosial.

"Saya mengeluarkan kapal karet kecil dan mendorongnya ke arah mereka. Mereka kemudian meletakkan barang-barang itu di sana dan aku menariknya kembali. Kami membutuhkan banyak waktu untuk menarik dan mendorongnya."

Dia kemudian kembali berlayar menuju Fiji. Pada masa tersebut, keluarganya di Singapura menghubungi Kementerian Luar Negeri untuk memastikan agar dia bisa dengan aman berlabuh di negara itu.

Dia hanya bisa menunggu dan berharap yang terbaik.

Pilihan yang dia miliki tinggal sedikit, namun dia berada di titik terendah ketika kapalnya menabrak karang.

"Itu terjadi sekitar April, ketika baling-balik saya rusak. Saya ingat hari itu, angin kencang mulai berhembus - itu sangat kuat," tuturnya mengenang saat itu.

Baru kemudian dia menyadari bahwa dia berada sekitar 926 km dari Badai Harold - badai yang meluluh-lantakkan kepulauan Pasifik dan menyebabkan belasan orang meninggal dunia.

"Itu sangat jauh, tapi saya masih bisa merasakannya. Angin menium kapal saya dan membuanya menabrak sesuatu, menyebabkan baling-balin saya rusak." ujarnya.

`Saya akan melanjutkan pelayaran saya`

Tapi untungnya, dia segera menerima kabar bahwa pemerintah Fiji telah setuju untuk menerimanya.

"Saya sangat senang dan lega ketika Fiji mengizinkan saya masuk, saya benar-benar berterima kasih kepada pemerintah Fiji dan Kementerian Luar Negeri Singapura yang sudah koordinasi," katanya.

Sebuah kapal angkatan laut dikirim untuk menarik kapalnya dan dia akhirnya berlabuh di Fiji pada tanggal 29 April - setelah hampir tiga bulan berkeliaran di laut.

"Wong lelah setelah mengalami kapalnya mengalami kerusakan dan waktu istirahatnya sangat minim, serta kehabisan persediaan makanan,:" ujar Komandan Tim Natuva dari Angkatan Laut Fiji kepada BBC News.

Natuva mengatakan upaya penyelamatan membutuhkan koordinasi dari Singapura dan beberapa kementerian di Fiji termasuk bea cukai, imigrasi, angkatan laut, dan kementerian kesehatan.

Fiji, yang dihuni sekitar 880.000 orang, saat ini mencatat 18 kasus virus corona - salah satu dari sedikit negara di Pasifik Selatan yang melaporkan kasus Covid-19.

Natuva menyebut, penyelamatan itu sendiri "cukup sederhana" tetapi "perlu beberapa penyesuaian" karena pembatasan akibat virus corona.

Namun itu berhasil, Wong akhirnya berhasil berlabuh. Dia dibawa ke rumah sakit di mana dia harus menjalani tes swab. Hasil tes itu, tentu saja, negatif.

"Kalau hasilnya positif - saya benar-benar tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi! Saya belum melihat siapa pun selama berbulan-bulan pada saat itu!" dia bercanda.

Ketika ditanya bagaimana perasaannya ditolak oleh setiap negara, nadanya tetap optimis, mengatakan: "Negara-negara itu melakukan apa yang harus mereka lakukan. Jika mereka membiarkan saya masuk dan seseorang mendapatkan virus dari saya, bagaimana mereka bisa menjelaskan kejadian itu kepada warga negara mereka?

"Satu hal yang mengejutkan saya adalah bahwa bahkan pulau-pulau kecil tanpa wifi dan televisi, bahkan mereka merasakan efek virus itu dengan sangat kuat. Saya benar-benar merasakannya."

Sejak itu Wong menghabiskan waktunya di Fiji untuk memperbaiki kapalnya, sambil menunggu kesempatan untuk melanjutkan perjalanannya.

"Saya harap ini wabah adalah sesuatu yang kita semua bisa lewati," katanya.

"Dan setelah ini semua berakhir, saya akan melanjutkan pelayaran saya ."