Logo BBC

Virus Corona: Ada Orang Tidak Suka Cuci Tangan, Ternyata ini Sebabnya

Temuan yang menyelamatkan nyawa

Statistik ini mengherankan bila Anda mempertimbangkan bahwa mencuci tangan dianggap sebagai salah satu temuan yang menyelamatkan paling banyak nyawa dalam sejarah umat manusia, berkontribusi pada lonjakan besar dalam harapan hidup global sejak dipopulerkan sekitar tahun 1850.

Kalau kita butuh lebih banyak insentif, kebiasaan bersih-bersih ini juga bisa mencegah kuman kebal antibiotik atau superbug dan pandemi.

Seorang perempuan mencuci tangan.
Getty Images
Mencuci tangan kita secara rutin bisa secara signifikan mengurangi risiko tertular infeksi saluran pernapasan seperti Covid-19.

Sebuah kajian ilmiah pada tahun 2006 mendapati bahwa mencuci tangan secara rutin bisa memangkas risiko infeksi saluran pernapasan sebesar antara 6 dan 44%.

Sejak kemunculan pandemi Covid-19, para ilmuwan menemukan bahwa budaya mencuci tangan di suatu negara adalah predikto yang "sangat baik" akan tingkat penyebaran penyakit.

Mengapa sebagian dari kita begitu semangat mencuci tangan hingga rela membayar ratusan ribu rupiah untuk cairan penyanitasi tangan di saat kelangkaan, sementara yang lain begitu keras kepala sampai menyentuh sabun saja tidak mau?

Dan jika virus baru yang misterius dan cerita horor tentang tinja di remot televisi hotel tidak bisa membujuk orang-orang untuk mengubah kebiasaan mereka, apa yang bisa?

Ternyata kegagalan singgah di wastafel dalam perjalanan keluar dari kamar kecil tidak hanya disebabkan rasa malas.

Ada sejumlah faktor psikologis yang secara halus membuat orang-orang enggan mencuci tangan, mulai dari cara berpikir seseorang hingga tingkat optimisme delusi, kebutuhan untuk merasa "normal", dan seberapa kuat perasaan jijik mereka.

Anggota staf kesehatan sedang mencuci tangan.
Getty Images
Penelitian menemukan bahkan staf rumah sakit bisa lalai mencuci tangan.

`Satu masalah dengan mencuci tangan ialah, terutama di negara maju, Anda bisa lalai mencuci tangan berkali-kali dan tidak menjadi sakit," kata Aunger.

Hati-hati dengan optimisme

Salah satu faktor yang diduga berpengaruh adalah optimisme. "Bias optimisme" adalah keyakinan bahwa hal-hal buruk lebih kecil kemungkinannya terjadi pada diri kita daripada orang lain.

Pandangan positif yang irasional ini bersifat universal - ditemukan di beragam kebudayaan manusia dan lintas demografi seperti gender dan usia.

Ia membuat kita keliru dalam menghitung peluang kita dalam berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan, mulai dari terkena kanker sampai bercerai.